22 Des 2011

SAYA TAKUT HUTANG

Memang susah untuk mengatakan kata 'tidak', apalagi jika orang tersebut adalah sahabat, teman dekat, keluarga atau orang-orang yang kita segani. Meskipun merasa berat, merasa terbebani tapi tetap saja kita meng-iyakan permintaan mereka, perasaan tidak enakan akan selalu menjadi pemenang dari sekian rasa yang muncul. Meskipun ada kesadaran bahwa apapun yang kita lakukan bila tidak dilandasi dengan keikhlasan niat maka tidak akan ada nilainya di sisi Allah, tapi tetap saja ada setitik rasa gondok di dalam hati. Manusiawi memang, hanya saja jadinya rugi dua kali, udah capek-capek tapi tidak dapat pengakuan dari Allah..

Tapi kali ini rasanya berbeda, baru kali ini dalam hidupku ada yang memintaku melakukan sesuatu hal yang sangat kuhindari bahkan cukup kutakuti. Saya dimintai tolong oleh seorang teman untuk mengambil kredit di Bank demi membantunya mewujudkan mimpi besar Ibunya.

Oh, ini bukan hal kecil. Jika sejuta atau 2 juta rupiah saja, mungkin saya akan mengusahakan memberikan cash, tapi ini urusan uang yang nilainya besar. Kredit, kredit = UTANG. Bagiku, utang adalah hal yang paling kutakuti setelah Allah, lebih baik menghindari utang daripada menghindari ketemu hantu. Bebannya sangat besar, rasanya saya tidak sanggup. Saya tidak ingin menghabiskan sisa hidupku yang tidak tahu berapa lama lagi hanya untuk menyelesaikan urusan kredit Bank. Saya hanya ingin tidur tenang tanpa harus memikirkan besok bagaimana caranya dapat duit sebanyak-banyaknya tuk bayar utang.

Yah, kita tidak akan mungkin bisa terhindar dari urusan utang-piutang. Tapi ada namanya menghindari semampu mungkin, dan selama ini saya selalu berusaha menghindarinya.

Maaf banget sobat, bukannya saya tidak ingin membantu, tapi untuk hal satu ini saya harus berani mengatakan 'tidak'. Besar rasa hatiku untuk membantumu melebarkan senyum Ibumu dengan memberikan beliau tempat bernaung yang aman dan nyaman di sisa akhir waktunya. Saya cukup memahami keinginanmu itu, jika saya berada di posisimu, hal yang sama juga akan saya lakukan bahkan mungkin lebih dari yang kamu lakukan itu. Apa lagi sih yang kita inginkan dalam hidup jika bukan tuk melihat orang yang kita sayangi hidup dalam limpahan kebahagiaan?

Saya hanya bisa berharap dan berdoa, semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik buat kamu, sobat. Jika doa telah dilangitkan dan usaha sudah dibumikan, maka bertawakkallah, insya Allah pasti ada jalan. “Sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan”.

21 Des 2011

SURAT CINTA UNTUK IBU

 “Aku mencintaimu Ibu, karena Allah”. Dari dulu kata-kata ini ingin kusampaikan langsung padamu, Ibu. Dengan lisanku, dengan hatiku, dan dengan deraian tangisku dalam hangatnya pelukanmu. Maafkan aku jika hingga detik ini, kata-kata itu masih terkunci rapat di bibirku. Kau tahu, ibu... Sesak dadaku menyimpannya, pekak kerongkonganku menahannya, namun apalah dayaku, bagaimanapun aku adalah tetap seorang anak bagimu, anak yang dipenuhi ke-egoisan di dalam rongga dada.
Aku akui ke-egoisanku itu, Ibu. Aku pun tak mengerti, mengapa begitu sulit mengungkapkan perasaanku padamu. Aku selalu bersedih, sedih yang bertambah-tambah jika terkadang kau meragukan rasaku padamu. Kau tahu, Ibu... Puncak kesedihanku adalah ketika menyaksikan kesedihanmu karenaku.
Ibu, kau adalah pahlawanku. Diam-diam aku mengagumimu, sangat mengagumimu melebihi kekagumanku pada bunda Khadija, Aisyah, Fatimah atau seorang Hawa yang menjadi awal dari kehidupan kita. Aku tak tahu, apakah kau menyadari kekagumanku itu, dan bagiku itu tidaklah penting untuk kau ketahui, tapi yang terpenting bagiku adalah mengetahui bahwa kau tidak pernah dan tidak akan pernah menyesal memilikiku sebagai anakmu.
Dulu, kau yang mengajariku mengenal huruf A – Z, mengajariku menulis angka 1 – 10, mengenalkanku pada Al-Qur’an, dan...Oh, ibu...aku tak mampu lagi mengurainya, bukankah aku memulai segalanya sejak bertumbuh dalam rahimmu. Tak akan habis kata untuk mengeja kebaikanmu ibu, tak akan cukup kertas tuk melukiskan indahmu, tak akan kering tinta tuk menuliskan arti hidupmu untukku, Ibu.
Maafkan kebodohanku sebelumnya yang tidak bisa memaknai setiap tutur kata yang terucap dari bibir muliamu, maafkan kelemahanku yang tidak mampu merasakan kelembutan setiap belaian dari tangan sucimu. Maaf telah pernah menantang matamu dengan kemarahanku, maaf telah membentakmu dalam keangkuhanku, maaf telah menjejakkan luka di hatimu karena khilafku. Semua itu kulakukan karena aku belum bisa sepenuhnya mengartikan kasih sayangmu, Ibu.
Cintaku padamu begitu tinggi, Ibu. Hanya Allah yang mengalahkanmu di hatiku. Kau tahu ibu, dalam hidupku, hingga detik ini, aku tak pernah membagi hatiku pada manusia manapun di dunia ini meskipun terkadang besar hasratku tuk membaginya. Akan tetapi, sungguh, aku tak akan pernah rela jika ada satu makhlukpun selain dirimu yang menjadi penyemangatku untuk apa yang kuraih hingga saat ini. Yah, aku sadar, bahwa suatu saat nanti aku akan memiliki hidup lain yang di dalamnya akan kuisi dengan belahan jiwaku dan darah dagingku sendiri. Tapi bagiku, tempatmu tak akan pernah tergantikan dan cintaku tak akan berkurang sedikitpun padamu.
Ibu, jika kelak ternyata aku yang lebih dulu menghadap pada Sang Penggenggam Hidup dan tetap saja lidahku masih kelu mengungkapkan rasaku padamu, ketahuilah, jika kata syukur lebih mulia derajatnya dari kata cinta, maka kukatakan padamu Ibu, demi Allah yang nyawaku ada dalam genggaman-Nya, aku bersyukur memilikimu sebagai Ibuku.

Batam, 111221

THE BEST IS YET TO COME

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca sebuah artikel lepas tentang wanita karir dan pernikahan. Di sana, penulis membahas secara singkat mengenai alasan mengapa para wanita karir yang masih berstatus single kebanyakan menunda pernikahannya, pun bagi ibu rumah tangga yang juga seorang wanita karir yang terkesan lebih mendahulukan karirnya daripada keluarganya. Saya membacanya pelan, biar lebih bisa dicerna dan difahami, yah, lumayan tuk dijadikan nasehat buat diri sendiri, fikirku.

Dari situ, saya kemudian banyak berfikir, sedikit merenung dan mengajukan beberapa pertanyaan ke diri sendiri. Apa benar saya telah menunda pernikahan karena sibuk mengejar karir? Apa benar saya telah menomor bontotkan urusan pernikahan karena lebih fokus pada karir? Atau, adakah alasan lain mengapa sampai saat ini saya belum menikah?

Ketakutan akan kehilangan karir yang saya bangun dengan berdarah-darah harus berakhir begitu saja karena pernikahan pastinya memang ada, resiko. Bagitu banyak mimpi yang akan terenggut, mungkin tak akan terhitung jumlahnya. Harapan-harapan orang tua juga akan hilang tak membekas seiring keihklasannya melihat anak perempuannya hidup bahagia. Kadang saya berfikir, dengan nominal yang saya dapatkan sebulannya sekarang ini, mungkin suami saya kelak tidak akan mampu memberikannya padaku diawal-awal pernikahan. Tapi bukankah pernikahan bukan masalah sense of price? Tapi lebih pada sense of value, respect and peacefull. Subtansinya bukanlah pada pencapaian materi, tapi yang paling utama adalah adanya kesamaan visi misi dalam membangun sebuah ikatan keterikatan yang saling mengikat, saling menumbuhkan dan saling membaikkan untuk kemudian memuliakan satu sama lain.

Saya rasa, kita tidak boleh serta merta menganggap perempuan yang telah cukup umur atau malah telah lanjut usia namun belum menikah itu menunda pernikahannya. Karena di sini, ada kerja-kerja takdir terkait di dalamnya, ada ruang dimana kita diberikan kesempatan oleh Allah untuk bermain teka-teki. Yah, takdir itu bisa kita ciptakan sendiri, tapi ianya itu akan terjadi bila takdir tersebut bersesuaian dengan takdir yang telah ditetapkan Allah.

Kemudian, pernah ada yang mengatakan bahwa jodoh itu adalah sebuah keputusan. Memutuskan apakah ingin berjodoh atau tidak dengan seseorang yang meminangnya. Akan tetapi, kembali kerja takdir berpengaruh di sini. Bagaimana hati dan akal mampu menuntun jiwa untuk mengambil sebuah keputusan.

Kesempatan dan pilihan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebenarnya Allah telah memberikan kita kesempatan untuk memilih, tapi mungkin juga ada yang sama sekali belum mempunyai kesempatan. Kesempatan itu bisa datangnya berkali-kali, akan tetapi terkadang kesempatan itu juga datangnya hanya sekali. Namun, dalam kerangka berfikir dan pembiasaan hati berada pada tatanan persangkaan yang baik pada ketetapan Allah, maka sebenarnya tak ada kesempatan yang datangnya hanya sekali. Kesempatan itu selalu ada, tinggal kita memutuskan untuk memilih atau memutuskan untuk tidak memilih.

Katanya, cinta adalah argumentasi yang sahih untuk menolak atau menerima seseorang untuk menjadi pendamping hidup kita. Berarti, biarkanlah cinta yang melakukan pekerjaannya, hingga takdir mempertemukannya dalam keridhoan Tuhannya. Jadi, bukan berarti menunda apalagi bermaksud tuk menunda, tapi lebih pada proses pencarian pribadi terbaik untuk mendampingi pribadi kita. Karena belum tentu pribadi sebaik Aa Gym itu baik buat kita. Dan dalam konteks prasangka baik pada Allah, seharusnya dimaknai sebagai bonus, bonus waktu yang diberikan oleh kepada kita untuk semakin membaikkan diri dan memaksimalkan potensi diri.

Saya bukannya melakukan pembenaran untuk setiap sikap memilih untuk tidak memilih sebelumnya. Akan tetapi, saya selalu yakin bahwa Allah pasti akan menuntun setiap hati & jiwa pada jiwa yang telah dijanjikan-Nya sejak ruh itu ditiupkan. Jadi, apabila hati belum klop 100% pada satu jiwa, anggap saja bahwa yang terbaik belum datang. Sederhana saja bukan? *Smile..

 

15 Des 2011

DALAM DIAM AKU MENUNGGUMU

Cerpen :

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur, tengkurap. Kubenamkan wajahku sedalam mungkin, menjeda napas panjang dengan kedua tangan menindih di atas kepala, menggaruk-garuknya meskipun tidak gatal. Aku membalikkan badan, menengadah melempar pandangan ke langit lepas lewat jendela kamar yang sedari tadi pagi kubuka demi menyambut hari. Bintang gemintang begitu cerah menemani bulan, seakan tak peduli dengan keanggunan bulan yang siap mengambil habis perhatian dari para pencari cahaya. Sudah terlalu larut tuk memanjakan mata dengan pemandangan ini.

Kucoba memejamkan mata, kutarik sebuah bantal menutupi wajahku, tapi semakin aku berusaha melawan rasa kantukku, semakin mata ini tak mau terpejam. Seperti binatang peliharaan yang tak mau tunduk dan mulai berontak pada majikannya. Bukan, bukan mataku yg memberontak. Pemberontak itu adanya di dada. Di sana ada seonggok daging yang sedang menyimpan kegelisahan. Kegelisahan yang sulit tuk diartikan oleh akal.

Rinai hujan bernyanyi pelan di atas genteng, desah angin membelai mesra dalam keagungan subuh-Nya. Semilir suara Adzan lirih pelan, samar-samar terdengar dari kejauhan. Berat mataku melebihi berat dua buah kakiku melangkah menuju kamar mandi. Kuambil air wudhu, kuresapi setiap tetesannya. Biar sejuknya sampai menusuk kalbu. Dalam sholat aku mengadu pada Sang Maha Pendengar. Mengadukan rasa hatiku yang tak bisa kukendalikan lagi. Sebuah rasa muncul begitu saja, bersemi bermekaran bak sekuntum bunga yang menyeruput embun di kala pagi. Ingin kuhentikan penumbuhan itu, ingin segera kukembalikan pada pemiliknya. Selama ini, dalam prinsip hidup yang kubangun, rasa itu belum saatnya tuk kumiliki dan kemudian sepenuhnya kuberikan pada satu jiwa, belahan jiwaku.

***

"Rani, telah lama kupendam rasa ini padamu. Sejak dulu, sejak kamu masih di kampus. Senyummu selalu menyejukkan, seperti oase di tengah gurun pasir. Namun, bukanlah karena senyuman itu. Ini adalah tentang sebuah keyakinan akan kedalaman rasa di palung jiwaku. Sebuah rasa yang dititipkan Allah pada sepotong hatiku. Ia kini masih terbingkai rapih di satu sudut hatiku, untuk sepenuhnya menjadi milikmu kelak. Akan tetapi, kini kamu begitu jauh. Rasanya sulit bagiku tuk meraihmu. Engkau begitu tinggi, seperti aku yang hanya bisa mendongakkan kepala pada sebuah puncak gunung tertinggi. Kamu tahu, kamu memang tinggi, karena kamu telah berada di puncak hatiku setelah Tuhanku. Lalu, katakanlah padaku. Apakah salah bagiku jika berharap penuh suatu saat nanti kamulah perempuanku? Aku harap tidak. Sebenarnya, tak ingin kuusik sepotong hati ini hingga datang waktu yang tepat, karena aku sadar, sayapku belum mampu membawaku datang padamu apalagi mengajakmu ikut terbang bersamaku mengarungi samudera langit kehidupan. Tapi, bolehkah kutitipkan satu rasa ini padamu untuk kamu jaga sementara waktu? Kupastikan, suatu saat nanti aku akan datang mengambilnya dengan ijin Allah. Maaf, siapalah aku yang begitu lancang ingin mengikat harimu dengan janji, siapalah aku yang dengan beraninya membuatmu menali waktu dalam penantian untukku? Tapi, gunungan hatiku meminta setitik kesabaran dalam samudera hatimu. Hari ini, kuserahkan hatiku padamu. Jika kamu bersedia, diam-mu adalah jawaban pasti bagiku
Salam, Radika Yudha Rahman."

Sudah seminggu email itu aku terima dari Dik, namun entah mengapa aku selalu kehabisan kata ketika ingin membalasnya, jariku terasa kelu. Maju mundur keinginanku, bolak balik keteguhan hatiku, perasaan tak pasti menguasai akal sehatku. Oh..kesadaranku membuncah pada satu tanya, bagaimana jika aku benar-benar mencintainya, sanggupkah aku bertahan dalam satu penantian yang tiada pernah kuketahui ujungnya?
***
Awan hitam menggantung di atas langit negara yang di juluki Abode of Peace, seakan masih malu-malu menyeruakkan kristal putih dari pelukannya. Setahun yang lalu aku memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari salah satu perusahaan Oil & Gas di Brunei Darussalam ini. Aku memilih tinggal di Kampong Ayer, letaknya tidak jauh dari tempat aku bekerja sekarang. Sebuah kota kecil yang sangat indah, dimana sungai Brunei mengalir di sini. Menurut cerita, pemukiman ini telah dihuni lebih dari 1300 tahun dan tidaklah berlebihan bila  Antonio Pigafetta  menamakan tempat in sebagai Venizia dari timur pada sekitar awal abad ke 16.
Menikmati secangkir Capucino hangat di teras Apartemenku di lantai 3. Di sini aku bisa memandang lepas sejauh mataku bisa memandang. Sebuah kursi malas dan meja berbentuk kotak melengkapinya. Jejeran buku-buku memenuhi hampir keseluruhan bagian bawah meja tersebut. Teras yang di design bak Aquarium, kaca putih mengelilinya dan dilengkapi dengan tirai di sekelilingnya. Jadi, aku bisa tetap merasa nyaman di sini tanpa harus khawatir dilihat orang jika diriku tidak mengenakan jilbab. Ini adalah tempat favoritku ketika menghabiskan waktu libur kerja di apartemen. Membaca buku, dan sesekali melayangkan pandangan ke sekitar.
Tiba-tiba saja aku teringat akan Dik. Sudah setahun lebih aku tak mendengar kabar darinya. Aku pun tak tahu, apakah dia tahu akan keberadaanku sekarang atau tidak. Dan lebih lagi, aku tak tahu apakah dia masih memegang janjinya atau mungkin dia sudah melupakannya.
Kadang, bejibun pertanyaan menghantam otakku, resah dan gelisah menggelayuti dadaku, keinginan tuk mengakhiri penantian ini pun semakin nyata di pelupuk mata. Ah, apa yang harus kuakhiri? Bukankah aku tidak pernah memulainya? Betapa bodohnya aku membiarkan hatiku mempercayai isi email tersebut. Mengapa aku baru sadar sekarang? Namun, setitik kesadaran selalu saja membangkitkan prasangka baikku pada Dik, entahlah, aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku begitu mempercayainya. Aku tak begitu mengenalnya, yang aku tahu kami pernah 4 tahun bersama menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Tak pernah terjadi tegur sapa yang cukup berarti. Hanya beberapa kali saja, seingatku dan tak satupun yang berkesan menurutku. Kami hanya berinteraksi untuk satu kegiatan kampus yang masing-masing kami terlibat di dalamnya. Aku tak pernah tahu tentang asal usul keluarganya, bagaimana ia menjalani harinya atau apapun tentangnya. Aku hanya tahu wajah dan namanya. Lalu, bagaimana mungkin aku begitu mempercayainya?
***
Libur akhir tahun telah tiba, setidaknya aku bisa mengambil satu bulan cuti untuk kembali ke Indonesia. Aku begitu merindukan kedua orang tuaku. Tapi, dibalik kerinduan itu, aku ingin menjalankan sebuah misi. Yah, aku sudah memantapkan hati untuk mencari tau keberadaan Dik. Setidaknya, setelah menjalankan misi ini, aku akan menemukan titik terang dari penantian panjangku selama ini. Aku sudah berusaha mempersiapkan diri untuk semua kenyataan yang akan kutemui nantinya. Aku harus siap, begitulah aku meyakinkan diriku.
Pesawat mendarat di Bandara Hasanudin Makassar. Jantungku berdetak kencang tak beraturan. Aku menyewa sebuah taxi menuju sebuah penginapan, setelah registrasinya selesai, aku hanya meninggalkan barang-barangku di sana dan kemudian menuju terminal Bus Makassar. Aku tak langsung ke rumah orang tuaku, yang ada difikiranku sekarang adalah menemui Dik. Bagaimanapun aku harus mendapatkan jawabannya secepat mungkin.
Aku mendapatkan alamat Dik dari Adam teman kampus kami dulu. Adam pun tak tahu kabar terakhir dari Dik, bukan hanya aku dan Adam yang kehilangan kontak dengannya, tapi semua teman-temannya pun demikian. Namun Adam hanya yakin, bahwa Dik pasti masih di kota asalnya. Dik tidak mungkin pergi jauh dari tanah kelahirannya. Berbekal alamat tersebut, aku pun menuju kota di mana Dik tinggal.
Irama detak jantungku semakin tak beraturan, ia berdenyut lebih cepat dari sebelumnya. Kakiku kaku tak bisa bergerak. Tubuhku bergetar, nanar mataku memandang Dik yang berdiri sekitar 5 meter di depanku. Dik menggendong seorang bayi mungil di teras rumahnya, di sisinya duduk seorang perempuan cantik yang bermain manja menggoda sang bayi di tangan Dik. Air mataku tumpah seiring mata Dik bersitatap dengan mataku.
Aku menghamburkan tubuhku, berlari. “Ra, Rani... Tunggu”. Wajah Dik panik melihatku, dia mencoba menahanku dan ikut berlari di belakangku. Aku terus mengayuh langkahku, sekencang mungkin, semampu yang kubisa. Perlahan, Dik semakin dekat menghampiri langkahku yang kian melemah. Dia berlari mendahuluiku dan berusaha menghentikanku. “Ra, dengerin dulu penjelasanku. Please, Ra!”. Aku berhenti, mematung di hadapannya dengan napas terengah. Aku tertunduk dalam tangisku. Tubuhnya yang jangkung berusaha menatap wajahku dengan sedikit menunduk. “Bisa kita bicara di rumah saja?”. Tanyanya kemudian dengan wajah yang masih lekat menatapku.


***
Aku terdiam mengikuti langkahnya, perasaanku berkecamuk. Rasa malu dan kecewa menggantung di wajahku. Penantianku selama ini, untuk apa? Aku membatin, jika saja hatiku tak menyimpan sedikit iman, ingin rasanya kucabik-cabik tubuh Dik dengan kedua tanganku. Ternyata, aku sakit dengan kenyataan ini.
“Duduklah”. Suara Dik, memecah lamunanku yang membuatku tersadar bahwa aku telah sampai di beranda rumah Dik. Aku mengikut saja kata Dik, aku duduk di atas kursi yang paling dekat denganku. Perempuan tadi dengan bayi di pangkuannya tersenyum ramah padaku. Aku getir memaksakan sebuah senyum untuknya. “Kak Mila, ini Rani, perempuan yang sering kuceritakan selama ini”. Wajahku terangkat memandang wajah Dik, kemudian mataku menuju perempuan yang dipanggil Kak Mila oleh Dik. “Ra, kenalkan, ini kak Mila, kakak kandungku, dan yang dipangkuannya itu adalah Azzam anak pertama kak Mila, ponakanku”. Dik berusaha menjelaskan sedetail mungkin tentang hubungannya dengan perempuan dan bayi itu. Seakan dia paham betul dengan isi kepalaku saat ini. Lagi-lagi aku hanya tertunduk, aku merasa malu dan tidak tahu harus berkata apa.
“Maafkan aku, Ra! Setelah mengetahui kepergianmu ke Brunei, hatiku hancur. Kupikir kamu pergi menghindariku. Sempat goyah perasaanku padamu”. Dik menghela napas panjang kemudian melanjutkannya lagi, “Namun, satu keyakinan muncul dalam hatiku untuk sikap diam-mu. Aku merasa cukup memahami karakter dan prisip hidupmu dari setiap tulisanmu di Blog. Kadang aku mencari makna dari tulisan-tulisan itu, apakah di sana ada sedikit kata untukku, tapi ternyata tidak ada.” Senyum Dik memekar seakan menertawai dirinya sendiri. “Kemudian aku berpikir, biarlah Allah yang menentukan skenario akhir dari perasaanku padamu. Bukannya aku pasrah begitu saja. Di sini, aku selalu menjaga hati untukmu, berusaha siang dan malam demi memantaskan diriku menjadi lelaki belahan jiwamu. Kamu tahu, Ra... Diam-diam aku menjalin kerjasama bisnis dengan ayahmu, demi mengetahui kabarmu dari negeri seberang.” Hening.
Aku termangu mendengarkan penjelasan Dik, kulihat ada aliran bening membasahi wajahnya yang tirus. Azzam menggeliat dari pangkuan kak Mila memecah keheningan yang sempat terjeda oleh sikap diam kami. “Klo begitu, aku pamit pulang.” Aku seperti kehabisan kata, kebingungan. Sekilat Dik dan kak Mila melayangkan pandangannya padaku. “Lo, mau pulang kemana dek? Ini sudah hampir maghrib”. Sela kak Mila menahanku yang sudah mulai bangkit berdiri. “Kamu nginap saja di rumah malam ini. Besok aku dan keluarga akan mengantar kamu pulang, sekalian melamar kamu”. Dengan entengnya Dik mengeluarkan kata-kata tersebut dari bibirnya, memandangku penuh makna, sementara aku, aku seperti orang yang baru bangun tidur, pangling, berjuang menahan luapan bahagia di hatiku.
Sesungging senyum dari wajah Dik membuatku salah tingkah. “Hei, sebentar lagi aku akan menjadi suamimu”. Sedikit berbisik suara Dik sambil berlalu dari hadapanku. “Dik, aku ingin sekarang”. Suaraku lantang hingga menahan langkah Dik dan kemudian dia membalikkan tubuhnya. “Bersabarlah, Adinda. Kamu tidak ingin menikah tanpa wali kan?”. Dik tersenyum dan pergi begitu saja. Perasaan bahagia terpancar dari gerak tubuhnya yang menghilang di balik pintu. Ah, ingin rasanya aku berlari dan memeluknya erat, sangat erat hingga hilang semua penat di dada selama penantian panjang ini. Tapi benar kata Dik, aku harus bersabar. Bukankah setelah dia menikahiku semua sentuhan adalah halal, semua pelukan adalah ibadah dan yang paling pasti aku bisa melihat senyumnya di setiap aku membuka mata di pagi hari dan memeluknya sepanjang usiaku.


***


The End

7 Des 2011

Anak Lampu Merah

Pernah suatu ketika, aku pengen banget ke Masjid Raya Batam merasakan atmosfer sholat jum’at di sana. Tanpa fikir panjang, segera setelah dari kantor aku langsung menuju ke sana. Sebenarnya sih, godaan perut sangat hebat kala itu karena memang sudah waktunya makan siang. Tapi, setelah kufikir-fikir, sekali-kali telat makan siang tak masalah, toh hanya sekali ini saja. Dan Alhamdulillah, pertarungan antara cacing di perutku melawan milyaran sel yang ada di otakku dimenangkan oleh sel-sel otakku tersebut.
Tiba di Masjid Raya, suasana keramaian sangat terasa. Ada ragu menghampiri hatiku untuk berbelok arah, tapi kuurungkan perasaan tersebut. Aku terus melaju memasuki lapangan parkir. Kudapati banyak jama’ah yang sudah memenuhi sekitaran Masjid dan semuanya laki-laki. Aku masih terus berusaha tidak peduli dengan suasana tersebut dan langsung menuju tempat wudhu wanita. Tapi, saat menyusuri jalan menuju tempat wudhu, aku mulai merasa tidak nyaman, tak satupun kudapati jama’ah perempuan, semuanya laki-laki yang jumlahnya sangat banyak. Entah karena waktu itu memang lagi ada demo kecil-kecilan di depan kantor Walikota Batam atau memang jumlah jama’ah di Masjid tersebut selalu sebanyak ini setiap jum’atnya, entahlah.
Aku merasa tidak tahan berada dalam kumpulan jama’ah tersebut, akhirnya kuputuskan segera meninggalkan Masjid yang sebenarnya aku baru berada di tempat wudhunya. Aku keluar dari lapangan parkir dan menuju Mega Mall. Pas di lampu merah, aku memanggil salah seorang anak yang sering mangkal jualan koran di simpang tersebut. Usia anak perempuan tersebut mungkin sekitar 6 - 7 tahun. Keberi dia sejumlah uang tetapi tidak mengambil korannya (maaf; diriku tidak begitu suka baca koran yang ada di Batam, beritanya aneh-aneh). Tapi diluar dugaanku, anak tersebut masih maksa aku untuk mengambil korannya. Entahlah, apa dia ingin aku membelinya lagi atau dia tidak mengerti bahwa dengan diriku tidak mengambil koran yang dia jual tersebut, dia akan mendapatkan keuntungan dari situ. Wallahu’alam.
Malam minggu kemaren, tepatnya di lapangan parkir Mega Mall, anak tersebut kembali mendatangiku. Kembali kuberi dia uang dan tidak mengambil korannya. Tapi kali ini dia tidak memaksa diriku tuk mengambil korannya. Kulihat temanku mengajak anak tersebut bicara, aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku malah sibuk dengan fikiranku, “sepertinya anak itu sudah mulai faham yah?”, fikirku.
Cerita ini mungkin biasa saja, toh hampir tiap saat kita melihatnya atau mengalaminya sendiri. Tapi bagiku, ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berarti dalam hidupku. Aku memaknainya sebagai pengingat, pengasah kepekaan hati dan fikiranku terhadap lingkungan yang ada di sekitar. Dunia ini sudah terlalu semrawut dengan segala hingar bingarnya, namun di banyak sudut kehidupan, tetap saja ada sebagian besar penduduk bumi yang masih memerlukan uluran tangan kita. Tidak hanya sekedar rupiah kita, tapi lebih dari itu. Pendidikanlah yang sangat diperlukan oleh Indonesiaku ini, pendidikan yang layak jauh lebih berharga daripada penghidupan yang layak. Bantuan terhadap pemahaman yang baik, melihat kehidupan dari sisi pandang mereka, mungkin akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih bijak. Sehingga, kita mampu menjadi pribadi yang senantiasa menebar kemanfaatan di bumi Allah ini. Yah, aku selalu berdoa kepada Allah yang Maha Kaya, untuk selalu memperkaya hatiku dengan kebaikan dan kebeningan fikiran, memperindah wajah-wajah yang ada di sekitarku dengan kemuliaan akhlak untukku menjadikan sebuah cerminan hidup, untuk kemuliaan hidup di sisi Tuhan-ku. Aamiin..

3 Des 2011

Mulia Putri..

Hilang tak berjejak, haruskah itu yang kukatakan pada setiap orang yang menanyakan dirimu, saudariku? Sudah berbulan-bulan kamu tak menghubungiku, tak pernah lagi terdengar kabar tentangmu. Tak satupun nomor HPmu yang aktif, akun Facebook-mu pun sudah tidak aktif lagi. Yang aku tahu kamu kin di Jakarta bersama suamimu, tapi, Jakarta itu luas saudariku. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa melihatmu lagi, atau sekedar say hello di telpon, atau bisa melihat senyummu di wall Facebook-mu.
Saudariku, bagaimana hidupmu di sana sekarang? Hidup dengan laki-laki yang baru kamu kenal dengan baik setelah menjadi suamimu. Bahagiakah kamu? Sungguh aku ingin mendengar ceritamu akan kegagahan suamimu menjagamu, menyayangimu dan memuliakanmu seperti namamu, Mulia Putri. Aku yakin, kamu pasti bahagia di sana, bersamanya. Mungkin sekarang kamu sedang mengandung anak pertamamu, ah...aku selalu penasaran ingin mengetahuinya, Put.
Aku tak ingin berfikiran macam-macam tentang kehidupanmu saat ini. Terlepas dari adanya sedikit kejanggalan dan kecurigaanku saat terakhir kamu bercerita padaku. Kamu hanya perlu beradaptasi, fikirku. Aku tetap menyimpan prasangka baik pada keluarga barumu, seperti prasangka baikku pada Allah.
Put, aku rindu padamu. Ada banyak lembaran ceritaku yang belum kamu baca, belum kamu dengar secara langsung dari bibirku. Aku kangen melihat senyummu. Kamu tahu, aku selalu senyum-senyum sendiri jika membayangkan kamu menatapku yang sedang curhat padamu. Kamu selalu ingin aku curhat padamu kan, tapi aku selalu menutup diri. Kali ini, aku hanya mau kamu yang mendengarkan curhatanku. Aku tahu, kamu akan menertawakanku, tapi aku tidak peduli jika orangnya adalah dirimu. Aku ingin kamu yang menertawakan semua kebodohanku, Put.
Put, kamu dimana sekarang? Tak bisakah kamu kirimkan aku penanda lewat doa Robithohmu? Agar aku bisa merasakan keberadaanmu, saudariku. Aku ingin, kelak kita masih punya waktu, menghabiskan malam di Pantai Losari. Aku suka membayangkan, di waktu itu kita akan duduk bersama lelaki kita masing-masing, ditemani suara lengkingan anak-anak kita.
Put, ingatlah selalu. Ada aku, saudarimu yang selalu menunggu ceritamu.

Salam kangend buatmu selalu saudariku..
Kiki

Batam

1 Des 2011

Kau Perempuan

Banyak perempuan yang lebih memilih menumpahkan isi hatinya atau curhat kepada laki-laki dengan alasan merasa lebih nyaman. Namun, dia tidak berhenti di situ saja. Dia kembali membangun opini bahwa perempuan itu adalah salah satu makhluk yang tidak asyik, mungkin dia lupa klo dirinya berasal dari jenis yang sama.

Apa dia tidak sadar bahwa di saat yang sama dia telah merendahkan dirinya sendiri, membuka aibnya di hadapan laki-laki yang tidak tepat. Sungguh sebuah proses pembunuhan karakter diri yang sangat memalukan. Setan-setan tertawa histeris dibalik tatapan mata iba para lelaki yang dirasuki nafsu hewani. Kemudian sang Iblis memberikan petuah pada hati sang lelaki, katakanlah, “ceritakanlah semua kesedihanmu, tumpahkanlah perasaanmu, menangislah. Bersandarlah di bahuku, aku selalu punya tangan lembut tuk menghapus air matamu, aku mempunyai jiwa yang hebat untuk memelukmu rapat dalam dekapanku”. Sedang di sisi lain langit dan bumi turut menangis, menangis karena harus menanggung beban manusia-manusia penuh lalai.

Wahai, perempuanku. Ketahuilah, tak ada yang bisa memahami sebesar yang bisa dipahami oleh perempuan lainnya. Jika kamu merasa tak ada yang menerimamu, maka lihatlah dirimu secara menyeluruh. Adakah kamu mampu menerima perempuan lain dalam hidupmu? Pernahkah kamu meluangkan waktu tuk sekedar merasai kehadiran perempuan lain di sekitarmu? Pahamilah mereka sebelum kamu meminta tuk dipahami, ketahuilah bahwa bukan hanya kamu seorang perempuan di dunia ini. Maka luaskanlah hatimu, wawasanmu dan penerimaanmu.

Instropeksi diri adalah pilihan yang bijak, jangan terlalu terbawa perasaan sendiri yang malah semakin menyempitkan hati. Laki-laki tidak akan tahan mendengar celotehmu, laki-laki tidak akan sabar menahan kebosanannya dengan keluh kesahmu, karena dia bukan Ayahmu, bukan Suamimu dan bukan Anakmu, dia hanyalah laki-laki yang menganggapmu lemah. Maka berhati-hatilah dengan kebaikan penuh pamrih yang ada di sekitarmu.

29 Nov 2011

ALLAH TIDAK PERNAH SALAH

Aku sering berfikir, kemudian merenung, menghadirkan setiap kepingan-kepingan ingatan yang masih tersusun rapi dalam memori, ada banyak hal yang sulit kupahami, sulit untuk kuikhlaskan. Namun, di saat sejenak kuberikan ruang pada hatiku untuk meraba perasaanku, kutemukan ada gunungan kesyukuran yang kian menanjak tinggi, perasaan yang mampu menghapus semua perih luka yang kualami selama menjalani hidup, dan aku tenang dengannya.
Cita-cita masa kecilku bukanlah menjadi seorang Engineer, bahkan sekalipun tak pernah terlintas di benakku. Aku sangat ingin menjadi seorang Sarjana Hukum, menjadi Pengacara untuk orang tuaku sendiri. Namun, belakangan aku menyadari. Itu bukanlah cita-citaku, melainkan tak lebih dari obsesi pribadi. Yah, aku memang sangat terobsesi menjadi seorang Pengacara, mengingat latar belakang keluargaku yang tidak pernah berhenti bersentuhan dengan masalah hukum.
Aku menemui kebimbangan yang hebat ketika hendak menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, tiba-tiba saja aku tak tahu kemana harus melabuhkan cita setelah kesadaranku muncul akan obsesiku menjadi seorang Pengacara. Aku bingung dengan masa depanku sendiri. Semua terlihat gelap, tak ada bayangan cerah dalam hatiku. Namun, hidup harus memilih. Jika tidak, aku akan ditinggalkan waktu dan aku tidak menginginkan hal tersebut terjadi dalam hidupku.
Aku memilih Teknik Kelautan pada formulir pendaftaran JPPB yang disodorkan oleh Guru sekolah. Sesaat beliau menatapku ragu, aku pun menatapnya, dalam diam beliaupun mengerti keputusanku. Ketika dinyatakan lulus, hatiku kembali dihinggapi keraguan. Ada dorongan perasaan untuk berhenti, mencari cita-cita dan mimpi baru. Namun, seorang teman mengingatkan dan menguatkan pilihanku kala itu, “jangan mundur, mungkin itu adalah yang terbaik untukmu”.
Setelah menjadi mahasiswa Teknik, aku harus menerima kenyataan untuk bertemu dengan salah satu hal yang paling kubenci, Matematika/Kalkulus. Maka wajar saja, jika semua nilai Kalkulusku berujung pada nilai C. Dan di Teknik pulalah aku memantapkan diri tuk berhijab. Aku memang sudah lama menginginkannya, tapi bagaimanapun aku pernah membenci jilbab. Bahkan aku pernah bersumpah, meski duniaku terbalik, aku tidak akan pernah mengenakan jilbab. Alhamdulillah, duniaku memang sudah kebalik sejak memutuskan berjilbab. Aku berjilbab dan memilih hidup yang tidak seperti kebanyakan perempuan lajang pada umumnya.
Menyelesaikan kuliah dan segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat adalah mimpi setiap mahasiswa, sayangnya, lagi-lagi aku harus menelan pil pahit untuk takdirku. Hanya Perusahaan Galangan Kapal yang mau menampung diriku. Padahal, semasa kuliah dulu, aku tidak pernah ingin tahu tentang Kapal dan segala yang berhubungan dengan konstruksi Kapal. Dan sebagai resikonya, aku harus memberikan sebagian besar waktu, tenaga dan fikiranku untuk belajar semua aspek tentang Perkapalan.
2 tahun sudah meniti karir sebagai Engineer di Shipyard (Galangan Kapal), perasaan jenuh pun mulai menyelimuti fikiran. Dan pindah perusahaan adalah solusi terbaik untuk menghilangkan rasa jenuhku. Yip..yip.., aku pun mendapatkan pekerjaan baru di Perusahaan lain. Dan ajaibnya, Perusahaan baruku tersebut bergerak di bidang yang sangat kuhindari semasa kuliah, dunia Offshore. Ketika pembagian konsentrasi jurusan di kampus, aku tidak mau memilih bidang offshore, aku lebih tertarik dengan Teknik Pantai. Semua tugas-tugas yang berhubungan dengan Konstruksi Bangunan Lepas Pantai (offshore), asli hanya rekayasa semata. Tak ada yang kukerjakan secara profesional ala mahasiswa (semoga dosenku gak ada yang baca. Hehehe).
Saat kita mau sedikit memberi ruang pada diri untuk sejenak berfikir akan jalan yang telah tertempuh selama hidup, akan banyak hal yang membuat kita menertawakan dan mengejek diri sendiri, meskipun akan ada air mata, tapi itu bukanlah air mata untuk meratapi nasib, tapi itu adalah air mata kesyukuran. Bersyukur dengan segala kasih sayang Allah yang melimpah ruah di sekitar kita, yah, betapa Allah begitu mencintai kita sehingga diberikan kesempatan untuk melalui setiap bagian-bagian hidup yang kita miliki, meskipun itu kita benci. Sederhana saja mungkin bagi orang lain, tapi mereka adalah orang lain, bukan mereka yang rasa, tapi kita, karena itu adalah hidup kita.
Dari sini, banyak hal yang menimbulkan kesadaranku akan Kekuasaan Allah sebagai Sang Penggenggam hidup. Terlalu banyak yang kuhindari dalam hidupku, terlalu banyak hal yang kubenci dalam hidupku, namun dari semua yang kuhindari dan kubenci itu, kebanyakan itu jugalah yang menjadi jalan hidupku. Karena itulah, kesadaran bahwa, akan ada hikmah dari setiap peristiwa dalam hidup, membuatku selalu berusaha untuk menikmati tiap bagian-bagian hidup yang kulewati. Toh, setiap cobaan dan ujian yang pernah diberikan Allah padaku masih bisa membuat diriku tetap berdiri seperti saat ini.
Allah memang tidak pernah salah dan tidak akan pernah salah dalam menempatkan kita pada suatu kondisi. Tinggal bagaimana kita bisa merangkai hati untuk tetap memelihara prasangka baik pada-Nya. Jika hari ini tangis, bukankah tangis itu tidak selamanya? Bukankah hidup telah kita lalui lebih banyak dalam tawa daripada air mata? Lalu mengapa menumbuhkan keraguan pada-Nya? Jika hari ini kita hanya mempunyai sepotong roti, bukankah kita pernah memiliki semangkuk nasi di rumah?
Sekarang ini, aku hanya mencoba menjalani rangkuman dari mimpi-mimpi yang pernah kubangun, rangkuman dari kata yang pernah terucap dan rangkuman dari lintasan fikiran yang pernah melintas. Entah itu adalah hal yang kubenci atau itu adalah sesuatu yang sangat kuidamkan. Allah Sang Maha Tahu, Dia lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Jika harus tetatih menjalani takdir-Nya di hari ini, bukankah sesudah gelap matahari tidak pernah mengingkari janjinya untuk menemani pagi menerangi dunia?
Allah, syukurku tak akan pernah cukup atas segala karunia yang Kau beri, namun ijinkanlah setiap tarikan nafas ini adalah tahmid dan degupan jantung ini adalah takbir, agar aku selalu mampu merasai kehadiran-Mu sebagai sandaran hidupku yang Agung.

24 Nov 2011

Kesempatan & Pilihan

Ketika engkau bertemu orang yang tepat untuk dicintai,
Ketika engkau berada di tempat dan waktu yang tepat,
Itulah kesempatan.

Ketika engkau bertemu dengan seseorang yang membuatmu tertarik,
Itu bukanlah pilihan, itu adalah kesempatan.

Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan,
Itupun adalah kesempatan.

Bila engkau memutuskan untuk mencintai orang tersebut,
Bahkan dengan segala kekurangannya, itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan.

Ketika engkau memilih bersama dengan seseorang walaupun apapun yang terjadi, itu adalah pilihan.
Bahkan ketika engkau menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, pandai, dan kaya daripada pasanganmu dan engkau tetap memilih untuk mencintainya, Itulah pilihan.

Perasaan cinta, simpatik, tertarik, datang bagai kesempatan pada kita.
Tetapi cinta sejati yang abadi adalah pilihan.
Pilihan yang kita lakukan.

Nasib membawa kita bersama.
Tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuatnya berhasil.

Ingatlah! Bagaimanapun, takdir takkan pernah tertukar. Percayalah kepada-Nya.


Batam, 111124

Sudahlah...

Kita memang berbeda, Dik! Seperti langit dan bumi, seperti timur dan barat.

Setidaknya, seperti itu yang kurasakan dari tatapan matamu.

Sudahlah, tak baik memaksakan hati.

Meskipun mimpi kita bersesuaian, namun apalah guna jika waktunya tak beririsan?

Kita sama-sama sadar, bahwa kita berdiri pada 2 kutub yang berbeda yang telah kehilangan magnetnya.

Lalu, untuk apa menyiksa hati? Toh semuanya sudah jelas, ada tembok kokoh yang menghalangi.

Kamu ingin menghancurkan tembok itu, dan aku , semakin mengokohkannya.

Berhentilah, aku tidak ingin lelahmu semakin terlukis di wajahmu.

Jangan usik hatiku dengan kerasnya perjuanganmu.

Aku takut tak mampu bertahan, kemudian goyah dan menghancurkan tembok itu.

Jadi, kumohon! Cukuplah sampai hari ini saja.

23 Nov 2011

Lepaskan Aku!

Kamu egois, Dik! Kamu hanya memikirkan perasaanmu sendiri. Pernahkah kamu berfikir akan apa yang kurasakan saat ini setelah semua yang kamu lakukan padaku? Kamu datang dalam hidupku, membawa sepotong hatimu. Tapi kini, kamu tiba-tiba ragu. Jika kamu memang tidak pernah siap, lalu mengapa kamu membebani jiwaku dengan hatimu? Aku tidak pernah memintamu untuk datang, aku tidak pernah meminta hatimu untuk menyimpan namaku, tidak pernah. Kamu bilang tak bisa UNTUK SAAT INI, lalu mengapa kamu tidak menghilang saja dari duniaku?

Pergilah, Dik! Lepaskan aku! Jangan memaksaku menunggumu. Biarkan aku terbang bebas bersama mimpi-mimpiku. Karena di sini, tak akan ada lagi tempat untukmu. Selamanya!!!

19 Nov 2011

Secret Admire

CERPEN: Secret Admire (Bagian 2)



Sebelumnya, aku tidak pernah mengijinkan hati dan perasaanku terpaut pada satu sosok. Meskipun sering kali rasa kagum terlintas dalam benakku pada beberapa orang yang kutemui dalam hidupku, namun selama ini aku selalu berhasil mengelola hatiku. Inginku masih tak mampu mengalahkan idealismeku, tak ada cinta sebelum ada ijab kabul terucap. Tapi kali ini, kurasakan ada yang berbeda. Aku yakin bahwa rasa ini bukan perasaan cinta, hanya saja aku merasa ada sesuatu darinya yang membuatku mau memberikan sedikit waktu untuk berfikir. Bahkan, akhirnya aku menyerah hingga melakukan sholat istikharoh pertamaku.

Lagi-lagi, aku merasa ini bukan perasaan istimewa yang telah lama kusimpan rapih dalam hidupku. Hanya saja, dia datang di saat hatiku mulai memberi ruang bagi diriku untuk memikirkan pernikahan. Jika dulu, setiap cinta yang datang, kupastikan akan kutolak, siapa pun dia. Entah mereka yang aku kenal atau sama sekali belum aku kenal, aku selalu menolak. Dan kali ini, dia datang dengan membawa harapan untukku. Aku bingung, rasaku ingin menolak, namun aku tak mengerti, mengapa mulut ini susah untuk mengatakan tidak.

Aku mulai memikirkan nasehat teman-teman yang selalu menyalahkan sikapku. Aku memang terlalu egois karena tidak pernah memberi kesempatan kepada orang lain dan diriku sendiri untuk sedikit saja maju melangkah satu atau dua langkah untuk mengenal orang lain lebih dalam. Toh kata mereka belum tentu harus berujung dengan pernikahan, jika memang tidak cocok. Namun, bagiku, aku tidak menginginkan banyak proses ta’arruf dalam hidupku. Jika bisa, aku hanya ingin sekali saja melakukannya dalam hidupku dan berharap itu pulalah yang terakhir. Namun, itu memang hanyalah inginku semata. Bagaimanapun semuanya telah ditentukn oleh Allah dalam takdir-Nya.

Muhammad Aslan, dulu ia selalu dipanggil Aan oleh teman-teman angkatannya. Dia setahun dibawahku, intensitas pertemuan kami memang cukup banyak dalam beberapa syuro’ (rapat, red) dan karena memang kami satu jurusan di kampus. Dari syuro tersebut, aku cukup mengenalnya, tahu sedikit karakternya dan pola fikirnya. Dan saya yakin begitupun sebaliknya. Meskipun kebanyakan pembicaraan diantara kami selalu di balik hijab bersama dengan ikhwan akhwat lainnya dan kami tidak pernah membahas masalah pribadi di sana.

***

Tak ingin larut dalam perasaan dan beberapa fikiran yang cukup mengganggu, akhirnya kuputuskan menulis surat melalui inbox facebooknya. Sebenarnya kami sudah sepakat menunjuk satu orang sebagai perantara kami, namun aku tetap berinisiatif untuk mengungkapkannya melalui tulisan. Aku tak bisa mengungkapkan lewat kata untuk hal yang satu ini, aku telah terbiasa dengan hatiku perasaanku sendiri. Perasaan yang tak pernah kubagi dengan siapapun, bahkan itu adalah ibu kandungku sendiri. Sungguh, aku tidak mampu mengungkapkan perasaanku dengan kata.

Dalam surat tersebut, aku hanya mengisyaratkan tentang bagaimana kondisiku saat ini, tentang beberapa mimpi yang ingin kuraih di masa depan dan termasuk masalah jarak yang terbentang begitu jauh diantara kami. Aku memberinya 2 opsi, jika ingin menikah denganku maka pilihannya adalah Long Distance atau dia yang harus ikut aku ke Batam.

Tak lama kemudian dia pun membalas suratku. Tiba giliran dia meminta waktu untuk berfikir. Aku pun mengiyakannya. Sebelumnya aku memang memintanya untuk banyak-banyak mendirikan sholat istikharoh dan memikirkan setiap pertimbangan-pertimbangan akan kondisiku yang sudah kejelaskan padanya. Akupun melakukan hal yang sama, aku berfikir dan dalam doa aku selalu bermohon pada-Nya untuk diberi ketetapan hati dalam mengambil keputusan.

***

Aku memandangi sebuah masjid di hadapanku, masjid ini pernah menjadi tempatku melabuhkan kegelisahan dan kepenatannku kala masih memulai karir di Batam. Selepas sholat maghrib berjamaah, aku mendirikan sholat Istikharoh. Suara tangisku tenggelam dalam derasnya hujan yang membahasahi bumi. Aku memohon pada-Nya untuk keputusan yang terbaik. Aku bangkit dari sujud terakhirku yang panjang, hatiku tersentak dengan satu lintasan dalam hatiku. “Tidak Ra, bukan dia”. Namun, aku masih berusaha melawan kata hatiku tersebut. Mungkin aku masih butuh waktu berfikir dan beberapa kali lagi untuk istikharoh.


Semakin aku memikirkannya, justru semakin aku ragu untuk melanjutkan proses ini. Aku merasa ada benteng yang kokoh memisahkan kami, ada jarak yang tidak bisa disatukan. Rencana masa depan yang kususun rapih tak bersesuaian dengan mimpi-mimpinya. Dan aku belum siap untuk kehilangan mimpi-mimpiku, begitupun dengan dirinya. Hampir saja aku memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini, tapi aku tak ingin menyakiti perasaannya. Aku tidak ingin dia berfikir bahwa aku tidak bisa melanjutkan proses ini karena masalah duniawi semata. Bukan itu, aku sungguh tidak mempermasalahkan akan usianya, sifatnya, fisiknya ataupun pekerjaannya saat ini. Ini hanya masalah mimpi yang sulit disatukan.

***

Beberapa hari kemudian, dia mengirim sms memberitahuku untuk segera membaca inbox facebook-ku. Ada ketakutan menyelimuti hatiku, aku takut dia tetap bersikeras melanjutkan proses ini. Kubuka pelan-pelan facebook-ku dan membaca suratnya dengan seksama.



“Bismillahirrahmaanirrahiim.


Assalamu’alaikukum warahmatullaahi wabarokaatuh.

Alhamdulillah saya suduh berdiskusi dengan keluarga tentang masalah ini (maaf kak saya tidak bisa tanya pendapat almh.mama karena beliau sudah berpulang 2 tahun lalu)..mereka banyak memberi masukan, pengertian dan bahan pertimbangan lainnya, tapa intinya bagi mereka semua ini keputusannya kembali pada saya.

Kak... Mungkin baiknya klo saya juga menceritakan kondisi saya saat ini dan rencana-rencana saya ke depanya, semoga ini dapat menjedi sesuatu yang dapat memperjelas semuanya...

Sekarang ini saya sedang mendapat amanah dari keluarga untuk memegang dan melanjutkan beberapa usaha mereka. Karena usahanya masih kecil-kecilan, saya mempunyai banyak rencana untuk mengembangkannya serta mengelolanya secara profesional. Untuk memulai semua itu tentunya saya membutuhkan banyak dana dan alokasi waktu serta tenaga di sana. Kerena kebutuhan tersebut, saya harus meminjam dana dan menyediakan fasilitas yang menunjang berjalannya usaha tersebut. Lagi-lagi saya membutuhkan dana besar untuk itu. Saya ingin kelak, jika usaha ini berhasil maka kemudian saya bisa menembus pasar internasional dan memajukan para petani di daerah saya. Itulah mimpi-mimpi besar saya saat ini kak...lucu dan aneh memang, seorang engineer bercita-cita ingin menjadi pengusaha pertanian. Hehehe...

Kak...kemarin saya banyak berfikir, membuka kembali rancangan impian saya ini dalam pikiran saya, kemudian saya sadar bahwa saya telah melakukan kesalahan...bukan kak..perasaan ini tidak pernah salah...yang salah adalah betapa bodohnya saya telah terbawa oleh perasaan ini sampai tidak berpikir panjang tetang konsekwensinya..betapa bodohnya saya yang berpikir cinta hanya sebuah pengungkapan, saya tidak menyadari bahwa setelah itu cinta akan menuntut sesuatu yg lebih serius dan saya ternyata belum siap. Apa sebenarnya yg membuat saya belum siap??? Kakak lihat saja kondisi saya diatas..saya sementara mau merintis usaha, membangun pondasi kehidupan saya, disana ada rencana meminjam modal untuk biaya operasional dan kebutuhan lainnya...klo saya tetap ngotot untuk menikah..rencana itu jelas batal...kak..klo pun saya memksakan ini semua, saya tidak hanya mendzalimi diri sendiri tapi juga mendzalimi kakak,keluargaku,keluaarga kakak, dan banyak lagi orang yang akan terdzalimi.

Kak, dari sini bagi saya masalahnya bukan lagi dua pilihan yang kakak berikan...masalahnya adalah saya yang tidak mampu UNTUK SAAT INI..walaupun saya juga sadar di satu sisi semampu apapun saya, dua pilihan yang kakak berikan sejujurnya masih tetap terasa berat untuk saya.

Terakhir satu hal yang perlu kakak ketahui, bahwa perasaan ini sungguh benar adanya..kekaguman ini sudah ada sejak kebersamaan di kampus, dirapat-rapat dulu..kakak yang selalu memberi solusi di setiap rapat, kakak yang klo saja adalah seorang ikhwan bahkan lebih pantas menjadi mas'ul dibandingkan saya.. Kakak adalah gambaran sosok akhwat yg paling komplit di mata saya.. terlepas dari kekurangan-kekurangan yang kakak miliki, karena bukankah tak ada yang sempurna di dunia ini? Itulah sebabnya perbedaan itu diciptakan, untuk saling menutupi dan mengisi kekurangan masing-masing.

Kak...saya sungguh mohon maaf atas kebodohan ini..saya mohon maaf telah membuat kakak terganggu beberapa hari belakangan ini hanya untuk memikirkan ini semua..saya mohon maaf atas kebodohan saya kak..tapi yang pasti saya tidak pernah merasa bodoh dengan perasaan yang saya miliki terhadap kakak..

Afwan, jika ada kata yang kurang berkenan..

Wassalam...”


Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar. Takbir bergemuruh dalam hatiku, tak terasa ada bulir panas yang membasahi pipiku. Seperti air yang membasuh jiwa pelepas dahaga, Allah menjawab keraguanku kepadanya. Yah, inilah jawaban dari istikharohku kepada-Nya. Ada kelegaan yang tak terkira dalam hati dan fikiranku. Aku mengingatkan diriku pada sebuah hadits Rasulullah SAW, “Jiwa-jiwa itu bagaikan tentara-tentara berbaris rapi; Jika saling mengetahui (mempercayai) mereka akan bersatu, dan jika saling mengingkari, mereka akan berpisah.” (HR. Bukhari).

Yah, mungkin keraguan inilah yang mengingkarinya dan Allah mengirimkan pesan pada hatinya yang baik untuk melakukan hal lain daripada memaksakan kehendaknya padaku. Kuraih HP-ku dan mengirim sebuah sms padanya, “Aku sudah baca suratnya, terima kasih karena kau mencintaiku”.

“Iya kak, saya berharap suatu saat nanti saya masih mempunyai kesempatan untuk itu”. Balasnya kemudian.

“Kita tidak pernah tahu akan rahasia yang tersembunyi di hari esok, bukankah takdir tidak akan pernah tertukar?”. Balasku padanya.

“Iya kak, i’ll put it in my mind. Forever!”.

Langit begitu cerah dengan senja memerah di ufuk barat. Akhirnya aku bisa tersenyum lepas tanpa beban di hari ini. Rabbi, terimalah rasa syukurku yang menyamudera dan menggunung pada-Mu. Aku hanyalah hamba-Mu yang kecil lagi hina yang selalu mencari keridhoan-Mu dalam setiap langkahku. Aku akan tetap menunggu sang Imam yang telah Engkau takdirkan untukku. Siapa pun dia, karena dari dulu, hari ini dan selamanya, hati ini telah menjadi miliknya. Rabbi, sampaikanlah salamku padanya, bahwa di sini ada gelombang kerinduan yang menanti untuk disandarkan dalam dermaga jiwanya yang mulia. Aku tak peduli, berapa lama lagi penantian ini, karena hatiku telah yakin dengan setiap janji-Mu.

***
Bersambung...

Secret Admire

CERPEN: Secret Admire (Bagian 1)

Sejak sore tadi hujan terus mengguyur kota Batam, habis liqo’ (pengajian, red) aku sengaja berlama-lama tinggal di rumah murobbiyahku (guru ngaji, red), bercerita dengan teman-teman sambil menunggu hujan mereda. Kulihat jam di HP-ku menunjukkan angka 07.15, tapi rintik hujan masih setia mengantar malam. Akhirnya kuputuskan menembus hujan, jarak rumahku cukup jauh dari sini, aku takut kemaleman dan kebetulan kali ini tidak ingin melewatkan pertandingan Manchester United Vs Sunderland.
Di tengah perjalanan, fikiranku melayang tak menentu. Tak bisa kupungkiri, sebuah sms mampu mengusik ketenanganku. Namun aku tidak mengetahui siapa pemilik sms tersebut. Aku berusaha menghadirkan wajah-wajah yang menjadi tersangka dalam fikirku, namun aku juga tidak bisa memastikannya. Banyak tanya hadir dalam benakku, mungkin melebihi setiap rintik hujan yang menyapa tubuhku. Tapi, tetap saja tak kutemui jawaban pasti.
***
Aku masih sibuk dengan beberapa kerjaan di kantor, kulihat ada panggilan dari nomor yang tidak kuketahui di layar HP-ku. Aku membiarkannya saja tanpa ada fikiran tuk menerima telpon tersebut. Saat mulai senggang, aku berinisiatif mengirim sms ke nomor tak dikenal tersebut.
“Siapa ini?”, tanyaku.
“Secret Admire”, balasnya.
“Yaahhh.. Sudahlah”. Jawabku.
“Loh, gak penasaran mau tau siapa aku?”, kembali dia membalas dengan harapan aku penasaran padanya.
“Klo gitu, siapa?”
“Bukan rahasia lagi dong klo kamu tau siapa aku. Oh yah, aku pengen nanya. Misalnya, ada seorang laki-laki yang ingin mengungkapkan perasaannya terhadap wanita yang dikaguminya, bagaimana Islam memandangnya dan menurut kamu sendiri gimana?”
Kubaca baik-baik smsnya sambil berusaha mencari beberapa referensi di mbah google, tapi tak lama kemudia Managerku datang menghampiri sehingga kami terlibat dalam sebuah meeting yang cukup lama.
Kulihat ada sms yang masuk lagi. “Just one aswer, please”. Pintanya padaku yang sepertinya menunggu jawaban sms-ku.
“Tunggu yah, aku lagi ada meeting. Memangnya siapa wanita yang kamu kagumi itu? Klo kamu butuh bantuan, biar nanti aku yang fasilitasi deh”, jawabku sambil tersenyum.
“Kamu”. Jawabnya. Aku tak bisa menahan perasaanku, sesungging senyum kuhamparkan melihat balasan sms-nya, sampai-sampai Managerku berdehem memintaku serius mendengarkan arahan-arahannya.
“Dalam Islam, ketertarikan terhadap lawan jenis adalah fitrah, jadi sah-sah saja jika kamu menyukai seseorang. Yang penting, kecintaanmu itu tidak membuatmu lalai pada Allah dan rasul-Nya. Ada hadits yang mengatakan bahwa, ‘Jika seorang diantara kamu mencintai saudaranya karena Allah, maka kabarkanlah kepadanya, karena hal itu akan mengekalkan keakraban dan memantapkan cinta’. Bagaimana klo menyatakan langsung? Seingat aku dalam setiap referensi yang pernah aku baca, semuanya memakai perantara atau langsung menuju wali si perempuan tersebut. Contohnya, Khadijah kepada Muhammad yang diperantarai oleh seseorang yang dipercaya atau seperti Ali Bin Abi Tholib yang langsung mendatangi Rasulullah untuk Fatimah”. Jawabku panjang lebar.
“Bagaimana aku bisa tahu bahwa wanita tersebut telah siap untuk dipersunting? Kan malu kalau ditolak”. Balasnya kemudian.
“Yeee... Itulah pemikiran yang salah dari kebanyakan laki-laki. Bagaimana mau tahu kalau belum pernah mencoba? Lagian, klo kamu belum siap menemuai wali si perempuan tersebut, kamu kan bisa minta tolong sama orang yang cukup kamu percaya untuk menanyakan kesiapan perempuan tersebut.Klopun kamu ditolak, tak akan berkurang sehelai rambutmu. Abu Bakar pernah ditolak sama Rasulullah, Umar Bin Khattab juga mengalami nasib yang sama. Apalagi kamu, peluang ditolaknya lebih besar lagi. Hehehe.. Maaf, bercanda”.
“Jadi, klo aku mau menyatakan perasaanku sama kamu, apa harus mengikuti standar tadi yah?”.
“hehehe.. Iya dong, kalau kamu atau siapapun yang mau menyatakan perasaannya terhadapku, yah..idealnya harus seperti itu prosedurnya”.
“Jadi, ilustrasinya seperti ini.
Aku                     : Tok..tok..tok.. Assalamu’alaikum.
Bapak kamu       : Wa’alaikum salam.
Aku                     : Pak, aku mencintai anak bapak.
Bapak kamu       : Maaf nak, anakku tidak mencintaimu.
Aku                     : Gubrakkkk...”.
“Hahaha.. Kasihan”, jawabku sekenanya.
“Jadi kapan rencana kamu mau nikah? Atau jangan-jangan kamu sudah lupa nikah yah karena karir di Batam sudah sangat menjanjikan”.
Sms tersebut masih kubiarkan begitu saja, tak kubalas. Aku segera bergegas pulang ke rumah. Di rumah, aku belum berminat tuk membalas smsnya. Hingga adzan maghrib pun berkumandang. Setelah sholat maghrib dan melakukan agenda-agenda yang biasanya aku lakukan selepas maghrib, kuraih HP-ku kemudian membalas sms-nya lagi.
“Tidak mungkin ada orang yang lupa untuk menikah, aku pastinya punya rencana menikah, hanya saja yah, mungkin, the best is yet to come”. Balasku.
“Satu lagi pertanyaan terakhir, apakah bagi setiap perempuan, kemapanan (dalam hal pekerjaan dan harta) adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang pria ketika hendak menikah? Tolong dijawab dengan jujur”.
“Harta itu bisa dicari dengan usaha. Yang masalah itu seberapa besar kemauan dan etos kerjanya. Klo orangnya pemalas, berapapun harta yang dimiliki, yah pastinya bakal habis. Intinya, harta itu penting, karena bagaimana kamu bisa memberi jika kamu sendiri tidak memiliki apa-apa untuk diberi. Muslim itu harus kaya, ingat yah, 10 sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga hampir semuanya kaya-kaya loh”.
“Oke, jazakillah khair untuk waktunya. Yang jelasnya aku memang adalah pengagum rahasiamu. Dengan sedikit usaha kamu pasti tau siapa aku (itu pun klo kamu mau berusaha). Assalamu’alaikum”.
***
Sehari setelah percakapan tersebut, dia kembali mengirim sms yang mengatakan bahwa dia menemui kesulitan untuk mencari orang yang bisa dia jadikan “kurir” untuk memperantarai dia untukku. Aku sangat kaget, awalnya aku berfikir bahwa dia hanya meminta pendapat dariku sebagaimana teman-teman laki-laki lainnya biasa lakukan. Boleh dibilang aku memang sering menjadi tempat sampah buat teman cewek maupun cowok dalam hal memilih pasangan. Dan kebetulan, aku memang bukan tipe cewek yang cepat gEeR dengan perlakuan baik setiap laki-laki yang hadir di hidupku. Saking terlalu cueknya, aku tidak pernah menyadari bahwa ada beberapa hati yang manaruh harap padaku. Terkadang aku hanya tau dari teman lainnya atau dari pengakuannya sendiri itupun setelah dia menikah. Sikap cuek ini memang sudah menjadi pilihanku, aku tidak ingin memberikan terlalu banyak waktu dan energi untuk memikirkan sesuatu yang tidak penting untuk orang yang tidak penting pula dalam hidupku. Yah, bagiku, laki-laki yang terpenting dalam hidupku hanya tiga. Ayahku, suamiku (kelak) dan anak laki-lakiku (jika Allah menghendaki). Teman memang penting, tapi sudah sunnatullah, ada yang pergi dan ada yang datang. Aku tetap yakin, meskipun dengan sikap tidak peduliku dalam hal sensifitas terhadap ‘rasa’ terhadap lawan jenis, itu tidak menghalangiku mendapatkan banyak teman dan bergaul dengan lawan jenisku. Dan Alhamdulillah, sampai sekarang, aku merasa tak ada teman yang meninggalkanku.
***
Aku tiba di rumah dengan basah kuyup, nampak aku sangat kedinginan. Perjalanan menembus hujan dengan jarak yang cukup jauh membuatku begitu kelelahan. Aku langsung menuju kamar dan beristirahat. Ada sms yang masuk ke HP-ku dari seorang seniorku yang sudah aku tunjuk untuk menjadi perantara kami, “Orangnya adalah Muhammad Aslan, angkatan 2004. Kamu masih kenal kan?”.
Aku melongo menatap HP-ku, kubaca baik-baik sms tersebut. Aku merasa tak percaya, tapi nama itulah yang tertulis dalam sms yang aku terima. Aku sangat kaget mengetahuinya, bagaimana mungkin secret admire itu adalah dia. Dia yang dulu kukenal sebagai ikhwan yang tidak terlalu banyak bicara, dia tidak pernah berani menatap mataku ketika berbicara denganku. Dia yang dulu sering menjadi bulan-bulananku ketika ada masalah dalam dakwah di jurusan kami. Dan dia adalah adik angkatanku, bagiku, setiap ikhwan angkatan dibawahku yang kukenal ketika masih di kampus dulu sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Sekalipun tak pernah terlintas difikiranku mengharapkan sosok mereka menjadi imam-ku.
Astaghfirullah,,, aku menangis. Kuambil air wudhu dan mendirikan sholat sunnat 2 raka’at. Lagi-lagi aku tak bisa menahan air mata di hadapan-Nya. Aku mengadukan segala kegundahanku pada-Nya. Aku sungguh tidak mengerti apa yang membuatnya mengagumiku, dan sejak kapan rasa itu menghampiri hatinya. Aku berpasrah dalam keheningan malam di atas sajadah lusuhku. Tak ingin hal ini mengganggu fikiranku dan fikirannya. Malam ini, aku hanya ingin berkhalwat dengan Tuhan-ku. Menikmati hidup dalam buaian kasih-Nya, merasakan keindahan hati berdamai dengan-Nya. Kupasrahkan pada-Mu yaa Allah, karena yang terbaik adalah yang datangnya dari sisi-Mu.
***
Bersambung...


18 Nov 2011

Time Is Not Money

Ketika masih berstatus sebagai mahasiswa, boleh dibilang hampir tiap hari saya bisa bersedekah. Meskipun nilainya sedikit dan duitnya masih dari subsidi orang tua, tapi saya selalu berusaha menyisihkan setiap sisa ongkos angkot tuk disedekahkan. Klo tidak bersedekah, rasanya gimanaaaaa gitu. Dan saya sangat bersyukur dan berterima kasih yang sebesar-besarnya pada seorang kakek tua yang selalu nongkrong setiap paginya di sekitaran kampus, tepat di bawah pohon yang selalu saya lewati ketika menuju Fakultas Teknik. Kakek tua tersebut memberikan saya kesempatan dan kemudahan dalam bersedekah, sehingga saya tidak membutuhkan waktu dan tenaga termasuk uang untuk menyalurkan niatku tersebut. Namun, beberapa tahun terakhir, kakek tua tersebut tidak pernah muncul lagi. Kesempatan bersedekah pun menjadi sangat sedikit, karena jarak antara kampus dan tempat tinggal saya cukup dekat. Akhirnya, peluang bertemu pengemis sangat tipis.
Dulu, saya selalu iri pada mereka yang sudah mempunyai penghasilan sendiri, “pasti mereka bisa bersedekah lebih banyak dibanding diriku”, begitu fikirku. Akan tetapi, setelah saya bekerja dan sudah memiliki penghasilan sendiri, buat digunakan untuk keperluan sendiri pula, ternyata fikiranku salah. Kesempatan dan keinginan bersedekah malah semakin kendor, mungkin karena kebutuhan yang semakin mananjak tinggi, mungkin juga karena budaya hedonisme yang semakin menggerogoti kantong, atau mungkin karena iman yang mulai melemah. Namun, sesaat saya berfikir, ada hal yang lebih dari alasan tersebut, yaitu waktu.
Terkadang, waktu tidak memberi kita kesempatan. Ada kalanya, kita sudah membulatkan tekad, beberapa persiapan sudah kita lakukan, namun tetap saja tidak bisa terwujud menjadi laku, dan semua itu dikarenakan waktu yang tidak mengijinkan. Ketika pulang kerja, biasanya saya sengaja mengambil rute yang mempunyai beberapa lampu merah yang di sana memilki banyak pengemis. Tapi keinginan bersedekah tetap sulit terwujud, setiap kali ingin memberikan duit, bunyi klakson sudah bergemuruh di belakangku. Lagi-lagi saya tidak punya waktu, bukan karena tidak punya duit.
Kemudian, saya kembali berfikir. Mencoba merunut beberapa bagian hidup yang terlalui selama di Batam. Ketika masih bekerja di tempat lama, meskipun penghasilannya pas-pasan, tapi saya selalu punya waktu untuk berkumpul dengan teman-teman. Anggapan awal kami, hanya karena gak ada duit baru kami gak bisa ngumpul. Tapi, pada akhirnya, fikiran tersebut terbantahkan lagi. Setelah masing-masing kami bekerja di Perusahaan baru, dengan penghasilan yang berkali-kali lipat dari yang dulu, ternyata, kami semakin susah ketemu, meskipun hanya sebentar. Lagi-lagi bukan karena masalah duit, tapi masalah waktu.
Jadi, salah kalau orang mengatakan bahwa waktu adalah uang atau uang adalah waktu. Karena tidak semua waktu yang kita miliki bisa diubah menjadi uang dan uang pun tidak bisa membeli waktu. Seandainya ada toko yang menjual waktu, saya pastikan toko tersebut akan menempati urutan teratas yang berpenghasilan tertinggi di dunia. Bank adalah toko uang, tapi penghasilannya tidak lebih bayak dari mbah Google dan lain-lain...
Buat yang menjadikan uang sebagai raja di dalam hatinya, makan tuh duitmu, akan ada saatnya dimana duitmu tidak mampu melakukan apa-apa untukmu. Jadi, tidak usah terlalu pelit, tapi jangan boros juga (nasehat buat diri). Manfaatkan duitnya selagi ada, uang bisa dicari setelah habisnya dengan usaha, tetapi waktu tak akan pernah kembali walau apapun usaha yang kita lakukan. Seandainya uang lebih tinggi kedudukannya daripada waktu, tidak mungkin di dalam Al-Qur’an Allah mengatakan “Demi Masa”, akan tetapi mungkin “Demi Uang”.
Uang itu penting, waktu itu jauh lebih penting, usaha pun juga sangat penting, tapi tidak cukup hanya dengan usaha keras saja. Orang sukses selalu memikirkan jauh ke depan atau beberapa tahun ke depan sementara kita kebanyakan berfikirnya hanya untuk hari ini saja. Perlu kita sadari bahwa perbedaan antara 1 hari dengan 1 tahun adalah 365 hari, jadi ketika ingin mendapatkan lebih banyak maka bekerjalah lebih banyak dari orang lain lakukan, berfikirlah lebih dari orang lain dan pahamilah akan apa yang kita lakukan agar kita tidak terjebak pada tujuan materi semata yang sifatnya semu.
Dan sedihnya, weekend ini saya tidak bisa berlibur ke Trikora bersama teman-teman. Lagi-lagi masalahnya bukan karena duit, tapi karena tidak memiliki waktu. Jadi, buat kalian yang memiliki waktu luang, manfaatkanlah dengan baik, lakukan apapun yang ingin kamu lakukan. Karena 1 detik yang telah berlalu, selamanya tidak akan pernah kembali, dan ketahuilah bahwa kerja-kerja hari ini tidak akan bisa digantikan dengan kerja-kerja di hari esok, segala sesuatu mempunyai masanya. Karena waktu tidak akan pernah menunggu.

8 Nov 2011

Pinang Aku dengan Bismillah...

CERPEN :

Pagi mengantar kedamaian menelisik jiwa, diiringi jentik irama hujan menyuarakan nada sendu seperti awan yang menutupi wajah matahari. Kupandangi titik-titik putih yang membentuk garisan air jatuh membasahi tanah dibalik jendela kamarku, “hari libur yang indah”, gumamku dalam hati. Aku segera beranjak ke garasi, niatku sudah bulat untuk mencuci mobilku yang sudah hampir tak pernah dimandikan secara layak, hanya air hujan dan debu jalanan yang selalu memeluknya di setiap perjalanannya membersamaiku meniti jalan-jalan di kota Batam.
“Nina, ada telpon”, suara mbok Asih dari dalam rumah memecahkan konsentrasiku yang tengah asyik menghayal sambil nyuci mobil. Si mbok menyodorkan HP padaku, “Dari siapa mbok?”, “Ini, mas Kamil”. “oh, makasih yah mbok”.
“Hallo...”, sapaku. “Assalamu’alaikum”, terdengar salam dari Kamil. “Wa’alaikum salam warahmatullaah”, jawabku. “Na, kamu udah download WhatsAap kan? Teman-teman pada ngegosipin kamu tuh di sana”. “Gossip apa?” Tanyaku penasaran. “Kamu ada hubungan apa sama si Imam?”. “Imam... hubungan apa, ya temanlah, sama seperti kamu dan lainnya”. “Ah..yang benar, sepertinya Imam suka deh sama kamu Na. Udah, kalian jadian aja. Dia kan baik”. “Jadian dari Hongkong, kamu ini, omongannya asal banget”. “Hahahaha.. Kali aja kamu juga suka sama dia”. Aku paling sebal kalo udah dengar si Kamil ngakak menertawakan kejombloanku.
Akhir-akhir ini aku memang banyak diskusi sama Imam di Facebook melalui berbagai koment di statusku, di status dia ataupun status teman-teman lainnya. Dengan usia kami yang rata-rata 26 tahunan ke atas, sudah bekerja dan masih lajang, omongan tentang pernikahan sudah menjadi tema yang sangat populer bagi kami.
Sebagai perempuan yang berasal dari Sulawesi, masyarakat Indonesia mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah “uang panaek” alias uang pinangan yang merupakan salah satu keberadaan hukum adat yang berlaku di masyarakat Sulawesi. Tak jarang kita temui pernyataan dari orang-orang di luar adat Sulawesi yang mengatakan bahwa perempuan Sulawesi itu mahal, maharnya mahal. Padahal yang sebenarnya adalah, mahar dan uang panaek itu berbeda. Mahar, sebagaimana dalam hukum Islam dan uang panaek adalah ketentuan adat. Jadi, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Wah...makin mahal dong, kan mesti menyiapkan mahar dan uang panaek sekaligus.
Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa uang panaek selama ini sangat memberatkan dan membebani, sehingga tak jarang sejumlah pasangan yang mempunyai niatan menyegerakan pernikahannya terhalang oleh adat tersebut, bahkan banyak rencana pernikahan yang batal. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang menganggap bahwa uang panaek itu mempunyai banyak nilai positif. Salah satunya adalah, dengan nilai uang panaek yang tidak sedikit tersebut, maka semua orang akan berfikir, bukan berfikir untuk tidak menikah, tapi berfikir untuk menjaga niat baiknya yang terbangun di atas keseriusan dan kesungguhan memulai berumah tangga. Sehingga, ketika dalam berjalannya rumah tangga yang diarungi bersama ada konflik-konflik yang cukup mengganggu, maka kemudian tidak akan mudah mengucap kata cerai atau dengan gampangnya ingin berpoligami karena ia tau benar bagaimana kerasnya ia berjuang menuju pintu pernikahan.
Secara umum, uang panaek tidak memiliki standar pasti. Umumnya, hanya ditentukan oleh status sosial, pendidikan ataupun karir sang perempuan. Ketentuan tersebut tidak mutlak adanya, seiring dengan kemajuan zaman, ritual adat pun semakin ditinggalkan, termasuk dengan ada tidaknya atau besar tidaknya nilai uang panaek. Jika kedua belah pihak telah sepakat dan tidak terlalu mempersoalkan masalah uang panaek, maka prosesnya bisa lebih simple dan cepat.
Aku sendiri merasa cukup galau dengan keluarga besarku yang menginginkan nilai uang panaek yang cukup tinggi. Sementara, jauh dari lubuk hatiku tak ingin mempersoalkan masalah uang panaek. Inginku hanya mendapatkan pendamping yang faham dengan agama. Tidak lebih. Aku tidak peduli dengan fisik yang indah, yang kubutuhkan hanyalah tempat untukku bersandar dalam pelukan lelaki tercinta. Aku tak peduli dengan harta, yang kubutuhkan adalah tanggung jawab lelaki sejati untuk hidupku dan keturunanku kelak. Aku tak peduli dengan status sosial, yang aku butuhkan hanyalah kebaikan ucap dan laku dari lelaki yang akan menjadi imam-ku nanti.
Aku termenung di dalam kamar, sayup-sayup musik instrument mengalun pelan mengiringi fikiranku yang melayang jauh. Imam, lelaki yang begitu baik menurutku. Dia cukup pendiam dan lumayan enak dipandang mata. Karirnya pun cukup sukses dibandingkan teman-teman lainnya semasa kuliah dulu. Dan akhir-akhir ini kutahu dia begitu bersemangat belajar agama. Sebagai teman, aku sangat bahagia untuk mengetahuinya. Sebagian besar teman-temanku sering godain kami, bahkan secara terang-terangan mereka menjodoh-jodohkan kami.  Aku menanggapinya biasa-biasa saja. Aku tidak lantas ngambek atau memutuskan tali silaturrahim dengan Imam. Aku selalu berusaha sebiasa mungkin menanggapi setiap pembicaraan yang mengarah ke aku dan Imam. Namun seiring berjalannya waktu dan banyaknya dukungan dari teman-teman, kurasakan ada perubahan sikap dari Imam. Dia mulai sering sms bahkan menelponku dengan alasan yang gak penting. Aku khawatir dengan perubahan sikapnya, aku takut dia kecewa jika yang dia rasakan adalah tidak pernah sama dengan yang kurasakan padanya.
Kuhadirkan wajah Kamil, kucoba fahami setiap kata dan nada pembicaraannya di telpon tadi pagi.  Kucerna baik-baik apa yang dikatakannya baik tersirat maupun tersurat. Kamil sangat tahu kriteria lelaki yang kuinginkan dalam hidupku. Aku yakin dia pun tahu akan perasaanku terhadap Imam, aku tak memiliki rasa padanya. Banyak hari yang telah kulalui bersama Kamil melebihi hari bersama Imam atau lelaki manapun di dunia ini. Selain ayahku, hanya Kamil tempatku menunjukkan ketidakberdayaanku sebagai perempuan mandiri. Bahwa ada saatnya aku membutuhkan uluran tangan lelaki dalam hidupku.
Aku tak pernah bisa menebak perasaan Kamil kepadaku, aku tak bisa memahami sikapnya. Setiap kali ada laki-laki yang mendekatiku, dia selalu sewot. Dalam kata ia mendukungku, namun pada sikapnya dia tidak menginginkan aku bersama laki-laki lain. Hampir tiap kali bertemu, dia selalu ceck sms-sms yang ada di dalam HP-ku. Aku tidak mengerti dan tidak pernah ingin tahu mengapa dia selalu melakukan itu. Selama ini aku tidak peduli dengan sikapnya, namun akhir-akhir ini aku merasa mulai ingin memikirkan masa depanku, masa depanku dengan laki-laki yang kucintai dan mencintaiku.
Aku merasa ada benteng yang kokoh antara aku dan Kamil, benteng yang sama-sama kami bangun dengan perasaan dan sudut pandang yang berbeda. Aku melihat Kamil jauh dari kriteriaku, sementara Kamil merasa aku semakin jauh, semakin tak terkejar olehnya lantaran kemapanan karir, ditambah lagi embel-embel uang panaek. Bila kuraba hatiku, aku pun tak mengerti akan perasaanku pada Kamil. Apakah karena perasaan nyaman, butuh atau karena aku telah terlanjur membiarkan dia masuk lebih jauh dalam hidupku. Fikiranku masih menyimpan utuh kriteria dan karakter laki-laki impianku, sementara di sisi lain, hatiku menaruh harap bahwa kelak laki-laki itu adalah Kamil.
Dan hari ini, Kamil memintaku menerima Imam sebagai lelakiku. Entah mengapa, hatiku perih mendengarnya. Ada perasaan sedih menggelayuti jiwaku, mematahkan semangatku dan mengiris hatiku. Tak terasa pipiku basah, aku tak tahu untuk apa aku menangis dan untuk siapa air mata ini. Aku merasa seperti perempuan bodoh. Bodoh karena telah membodohi diri sendiri. Aku benci perasaanku, aku benci kelemahanku yang telah membuatku jatuh pada rasa yang seharusnya tak pernah ada. Bukankah aku telah berjanji, untuk memberi hatiku, rasaku dan hidupku hanya untuk lelaki yang telah mengambil sumpah pada Tuhannya untukku? Dan kini, aku lalai.
Setahun berlalu, kudengar Imam telah menikahi adik angkatan kami di kampus dulu. Sementara Kamil, terakhir kudengar kabar ia bekerja di Dubai. Kami sama sekali kehilangan kontak. Karena sejak hari itu, aku telah menutup account Facebook-ku selamanya, termasuk mengubur perasaanku pada Kamil.
Hari ini, aku sudah memutuskan meninggalkan Batam dan kembali ke Sulawesi. Aku akan segera menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan oleh kedua orang tuaku. Jantungku berdetak kencang saat kudapati nama laki-laki yang tertulis dalam undangan pernikahanku adalah Kamil. Sejuta tanya bercokol satu persatu dalam fikiranku, bagaimana mungkin ceritanya seperti ini.
Kucoba menahan diri untuk tak melirik wajahnya saat ia memasang cincin di jariku. Kucium tangannya dan kemudian dia mencium keningku lama, sangat lama, seperti banyak kata yang ia sampaikan dari kecupan dan genggaman erat tangannya. Aku tak bisa menahan luapan air mataku, kuhamburkan tubuhku ke dalam pelukannya. “Mengapa begitu lama? Haruskah dulu aku yang memintamu tuk meminangku meskipun kamu hanya memiliki Allah kala itu?”. Tanyaku pada Kamil dengan isak tangis yang mengharu. “Maafkan aku Na”.
Banyak mata memandang kami kebingungan, banyak tanya melihat kelakuan kami. Tapi kami tidak memperdulikannya. Kami tetap saling berpelukan, menumpahkan gelombang kerinduan pada dermaga jiwa yang kini bersatu dalam ikatan pernikahan.
“Dulu, aku pernah mencintai satu pria sebelum kamu menikahiku”. “Siapa???” Tanya Kamil sambil melepas pelukannya. Kupandangi wajahnya dalam-dalam. Kuraih tangannya dan menciumnya. “Pria itu adalah kamu, sayangku”. Kami saling tersenyum dan kupeluk lagi tubuhnya.
Jodoh, satu kata yang sangat misterius, namun ia selalu menjadi bagian pencarian hidup yang menggairahkan. Jodoh, ia selalu membawa satu jiwa menuju satu jiwa lainnya untuk kemudian bertemu dan bersatu dalam takdir yang telah dituliskan Tuhan dalam kitab Lauh Mahfudz-Nya.

27 Okt 2011

TENTANG CINTA

Berbicara tentang cinta sejati, sejatinya yaa tentu saja hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Tapi bagaimana dengan cinta sejati terhadap sesama manusia wal khusus manusia yang kita pilih menjadi pasangan kita? Sejauh mana dan sedalam apa rasa kita terhadapnya? Aku sih belum merasakannya (secara belum nikah), tapi kriterianya sudah terpola dalam fikiranku. Cieeeeeee.... yang kayak mana sih? Hehehe.. Ada deh, tapi sebelum aku bercerita panjang lebar, diriku pengen menguraikan satu kisah terlebih dahulu. Sebuah kisah cinta yang sangat baik untuk kita ambil ibrahnya.
Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:
Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.
Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.
Bisa dibayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam pun tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.
Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”
Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata: “Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)
Kasihan yah nasib si Laila, habis manis sepah dibuang. Trus, ada gak yang kasihan sama si Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?. Moga-moga aja gak ada diantara kita dan pembaca yang sholeh dan sholeha yang mengalaminya. Na’udzubillah deh...
Kata nenek moyang kita, “cinta itu buta”, nenek moyangnya orang Arab bilang, “Cintamu terhadap sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli”. Perhatikan saja setiap jengkal tanah di sekitar kita, kebanyakan diisi sama orang-orang yang “buta” ama “tuli”. “Buta” karena tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dengan yang salah, pake pakaian minimalis, dan mesranya minta ampun, merasa dunia hanya milik berdua, jadi yang lain dak nampak karena sudah “buta”. Dinasehatin, gak bakal mempan. Punya telinga tapi gak bisa mendengar, kan memang udah “tuli”.
Biasanya yah, klo hubungan cinta masih terlarang alias belum halal, semangatnya minta ampun menggeloranya. Seperti itulah setan menggiring hati dan fikiran yang lebih dikuasai oleh hawa nafsu, jiwa terhanyut dalam badai asmara haram. Tapi, giliran cintanya udah sah, udah halal, tau-tau kebanyakan pengen cerai, atau malah pengen nambah istri 2, 3 dan seterusnya dengan alasan mengikuti sunnah. Padahal, kebanyakan yang mengatakan pengen mengikuti sunnah itu hanya akal-akalan nafsunya saja. Gimana caranya mau mengukur niat itu murni untuk ibadah klo hati sudah memiliki pilihan dan wajah seseorang sudah menari bebas difikiran?
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih).
Siapa sih yang tidak menginginkan wanita cantik menjadi pendampingnya bagi setiap laki-laki, dan perempuan mana yang menolak jika yang menawarkan cinta adalah lelaki bak artis Korea? Akan tetapi, dalam perjalanannya, cinta itu tidak cukup hanya dengan tampang saja, cinta itu tidak cukup hanya dengan kedudukan saja, cinta itu tidak cukup hanya dengan harta saja dan cinta itu juga tidak cukup hanya dengan agama saja. Lo, bukannya kita disuruh sama yang bagus agamanya? Iya, memang. Tapi, yang agamanya gimana dulu? Meskipun dia berlabel ustadz/ustadzah, belum tentu bisa menjadi pilihan utama. Contohnya tuh, si ustadz yang ngaku-ngaku ta’arruf tapi tak ada bedanya dengan pacaran. Gelar boleh saja ustadz, tapi akhlak belum tentu menjamin.
Temans, bila dirimu mencintai pasanganmu karena kecantikan atau ketampanannya, sungguh di luar sana masih banyak yang lebih tampan dan lebih cantik darinya.
Jika dulu cintamu bersemi karena kekayaannya, ketahuilah, harta tidak akan pernah memuaskanmu?
Jika cinta itu tumbuh karena kedudukannya yang tinggi, bukankah tak ada yang abadi di dunia ini?
Namun, jika hatimu terlanjur terpaut dan terbelenggu cinta kepada seseorang yang bukan suami atau istrimu, maka ada baiknya dirimu menguji kadar cinta yang kamu miliki. Kenalilah perasaanmu, rabalah hatimu, ukurlah sejauh mana kesucian dan ketulusan cintamu kepadanya. Duduklah sejenak dan bayangkanlah saat dirimu mendapati kekasihmu dalam keadaan hitam legam, gigi sudah ompong, badan kurus tinggal tulang, pakaian kumal tak terurus yang tinggal di rumah gubuk bak kandang kambing. Adakah cinta itu menggelora sedahsyat yang kamu rasakan saat ini???
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
Karena itu, kesucian cinta hanya akan kita dapati dari hati yang dipenuhi keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta seperti ini akan senantiasa bersemi, tak akan lekang oleh waktu, tak akan habis dimakan usia, tak akan luntur karena hujan dan tak akan pernah putus walau ajal telah menjemput. Tak inginkah kamu mengharapkan agar kekasihmu tetap setia mencintaimu meski telah tua renta bahkan telah menjadi penghuni kubur?
Bukan karena materi, bukan karena kedudukan dan bukan karena wajah yang rupawan, tapi akhlak mulia dan keimanannya yang luruslah yang mampu melahirkan cinta yang suci nan abadi dalam keberkahan Allah.
Wallahu a’alam...