Berbicara tentang cinta sejati, sejatinya yaa tentu saja hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Tapi bagaimana dengan cinta sejati terhadap sesama manusia wal khusus manusia yang kita pilih menjadi pasangan kita? Sejauh mana dan sedalam apa rasa kita terhadapnya? Aku sih belum merasakannya (secara belum nikah), tapi kriterianya sudah terpola dalam fikiranku. Cieeeeeee.... yang kayak mana sih? Hehehe.. Ada deh, tapi sebelum aku bercerita panjang lebar, diriku pengen menguraikan satu kisah terlebih dahulu. Sebuah kisah cinta yang sangat baik untuk kita ambil ibrahnya.
Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:
Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.
Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.
Bisa dibayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam pun tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.
Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”
Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata: “Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)
Kasihan yah nasib si Laila, habis manis sepah dibuang. Trus, ada gak yang kasihan sama si Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?. Moga-moga aja gak ada diantara kita dan pembaca yang sholeh dan sholeha yang mengalaminya. Na’udzubillah deh...
Kata nenek moyang kita, “cinta itu buta”, nenek moyangnya orang Arab bilang, “Cintamu terhadap sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli”. Perhatikan saja setiap jengkal tanah di sekitar kita, kebanyakan diisi sama orang-orang yang “buta” ama “tuli”. “Buta” karena tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dengan yang salah, pake pakaian minimalis, dan mesranya minta ampun, merasa dunia hanya milik berdua, jadi yang lain dak nampak karena sudah “buta”. Dinasehatin, gak bakal mempan. Punya telinga tapi gak bisa mendengar, kan memang udah “tuli”.
Biasanya yah, klo hubungan cinta masih terlarang alias belum halal, semangatnya minta ampun menggeloranya. Seperti itulah setan menggiring hati dan fikiran yang lebih dikuasai oleh hawa nafsu, jiwa terhanyut dalam badai asmara haram. Tapi, giliran cintanya udah sah, udah halal, tau-tau kebanyakan pengen cerai, atau malah pengen nambah istri 2, 3 dan seterusnya dengan alasan mengikuti sunnah. Padahal, kebanyakan yang mengatakan pengen mengikuti sunnah itu hanya akal-akalan nafsunya saja. Gimana caranya mau mengukur niat itu murni untuk ibadah klo hati sudah memiliki pilihan dan wajah seseorang sudah menari bebas difikiran?
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih).
Siapa sih yang tidak menginginkan wanita cantik menjadi pendampingnya bagi setiap laki-laki, dan perempuan mana yang menolak jika yang menawarkan cinta adalah lelaki bak artis Korea? Akan tetapi, dalam perjalanannya, cinta itu tidak cukup hanya dengan tampang saja, cinta itu tidak cukup hanya dengan kedudukan saja, cinta itu tidak cukup hanya dengan harta saja dan cinta itu juga tidak cukup hanya dengan agama saja. Lo, bukannya kita disuruh sama yang bagus agamanya? Iya, memang. Tapi, yang agamanya gimana dulu? Meskipun dia berlabel ustadz/ustadzah, belum tentu bisa menjadi pilihan utama. Contohnya tuh, si ustadz yang ngaku-ngaku ta’arruf tapi tak ada bedanya dengan pacaran. Gelar boleh saja ustadz, tapi akhlak belum tentu menjamin.
Temans, bila dirimu mencintai pasanganmu karena kecantikan atau ketampanannya, sungguh di luar sana masih banyak yang lebih tampan dan lebih cantik darinya.
Jika dulu cintamu bersemi karena kekayaannya, ketahuilah, harta tidak akan pernah memuaskanmu?
Jika cinta itu tumbuh karena kedudukannya yang tinggi, bukankah tak ada yang abadi di dunia ini?
Namun, jika hatimu terlanjur terpaut dan terbelenggu cinta kepada seseorang yang bukan suami atau istrimu, maka ada baiknya dirimu menguji kadar cinta yang kamu miliki. Kenalilah perasaanmu, rabalah hatimu, ukurlah sejauh mana kesucian dan ketulusan cintamu kepadanya. Duduklah sejenak dan bayangkanlah saat dirimu mendapati kekasihmu dalam keadaan hitam legam, gigi sudah ompong, badan kurus tinggal tulang, pakaian kumal tak terurus yang tinggal di rumah gubuk bak kandang kambing. Adakah cinta itu menggelora sedahsyat yang kamu rasakan saat ini???
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
Karena itu, kesucian cinta hanya akan kita dapati dari hati yang dipenuhi keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta seperti ini akan senantiasa bersemi, tak akan lekang oleh waktu, tak akan habis dimakan usia, tak akan luntur karena hujan dan tak akan pernah putus walau ajal telah menjemput. Tak inginkah kamu mengharapkan agar kekasihmu tetap setia mencintaimu meski telah tua renta bahkan telah menjadi penghuni kubur?
Bukan karena materi, bukan karena kedudukan dan bukan karena wajah yang rupawan, tapi akhlak mulia dan keimanannya yang luruslah yang mampu melahirkan cinta yang suci nan abadi dalam keberkahan Allah.
Wallahu a’alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar