29 Sep 2011

Mengapa Harus Suamiku???

Seperti deburan ombak yang menghantam karang, seperti petir yang menyambar, seperti bumi yang diguncang gempa, atau mungkin seperti kiamat telah terjadi dalam duniaku. Sakit, kecewa tak terperihkan menyelimuti hati melebihi sakitnya kelukaanku saat mendapati satu per satu dari ke-tiga putraku menghadap Sang Ilahi. Betapa hati ini tidak hancur lebur saat membaca email mas Aqil, tulisan yang hanya pantas ditujukan kepada istri tercinta, namun yang tertulis bukan namaku melainkan nama perempuan lain, perempuan yang sangat kukenal.
Aku membatin, tak sanggup membendung air mata. Kupeluk kedua putri kembarku yang mungil, mereka membasuh air mataku dengan jari-jari kecilnya seakan mereka merasakan kepedihanku saat ini. Kupandangi wajah mereka, semakin aku tak mampu menahan tangis dan kembali kudekap mereka, erat dalam pelukanku.
Malam menunjukkan pukul 10.00 WIB, kudengar motor mas Aqil parkir di teras. “Assalamu’alaikum, ma..buka pintu”. Teriak mas Aqil sambil mengetuk pintu beberapa kali. Kubuka pintu dan kudapati ia pulang bersama Ami. Aku berusaha untuk tetap tenang dan bersikap normal meskipun kurasakan ada bara api membakar di hatiku. “Kami baru selesai meeting, di jalan Ami membeli sedikit oleh-oleh buat anak-anak. Aku antar Ami pulang dulu yah”. Tak ada kata yang keluar dari bibirku, hanya senyum yang kupaksakan tuk menjawab sapaan Ami. Aku masih mematung di depan pintu hingga suara motor mas Aqil hilang ditelan malam.
Ami, perempuan yang begitu sempurna di mataku. Cantik, cerdas dan sukses dalam karir. Dia adalah adik dari sahabat mas Aqil yang juga sekantor dengannya. Aku tak pernah menaruh cemburu atau curiga setiap kali ia main ke rumah bersama mas Aqil. Kami sudah kenal lama dan aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Rumah kami searah, jadi menurutku wajar jika sekali-kali mas Aqil mengantarnya pulang setiap kali mereka harus lembur. Tak jarang memang orang-orang di sekitarku mengingatkanku melihat kedekatan mereka. Tapi aku tetap menaruh kepercayaan yang tinggi pada mas Aqil dan Ami. Aku tidak ingin mengganggu hubungan persahabatan kami dengan kecurigaanku yang menurutku tidak beralasan. Ami bisa mendapatkan laki-laki yang jauh dan lebih dari mas Aqil, fikirku.
Aku berusaha tegar di hadapan mas Aqil, aku tetap menyembunyikan perasaanku. Tapi, aku hanyalah tetap seorang wanita, aku lemah. Tak ada tempat untukku mengadukan kegundahan hatiku. Malam-malamku dipenuhi dengan air mata, aku hanya bisa mengadu pada-Nya. Karena hanya Dia yang aku miliki, hanya Dia yang mampu menenangkanku. Sementara mas Aqil tetap seperti biasa, tak ada perubahan dari sikap dan perhatiannya padaku. Hanya saja dia sering pulang larut.
Suatu hari aku mengundang Ami makan siang di rumah pada saat libur kerja. Dan Ami pun memenuhi undanganku. Saat Ami datang, aku pura-pura menyuruh mas Aqil ke pasar membeli makanan ringan. Tanpa ragu, mas Aqil langsung berangkat. Sejenak aku  terdiam menemani Ami di ruang tamu, sesekali kupandangi Ami yang asyik bercanda dengan anak-anak. “Mi, mbak mau nanya, boleh?”. Kataku memulai pembicaraan. “Iya mbak, boleh. Mau nanya apa yah?”. Jawab Ami yang kemudian menunjukkan muka serius padaku. “Mbak cuman mau nanya satu hal, dan aku harap kamu jawab dengan jujur. Apa kamu mencintai mas Aqil?”. “Astaghfirullah mbak, demi Allah. Saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan mas Aqil. Sungguh, saya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapnya. Saya berani bersumpah mbak, demi Allah saya tidak mencintai mas Aqil”. Kulihat wajah Ami begitu khawatir mencoba meyakinkanku. Aku menghela nafas panjang, menata hatiku yang berkecamuk, menahan amarah dan air mata yang saling berlomba mengusik pertahananku. “Aku pegang kata-kata kamu Mi, Allah menjadi saksi kita. Tapi, jika hal ini benar, maka semuanya aku serahkan pada Allah. Biarlah Allah yang memenuhi sumpahmu dengan kehendak-Nya”.
Hari-hari kulalui dengan sulit setelah pembicaraanku dengan Ami. Mas Aqil lebih sering marah dan semakin sering pulang larut. Pertengkaran demi pertengkaran menjadi hal yang biasa mengawali dan mengakhiri hari kami. Tak ada lagi pelukan dan kecupan mesra membuka pagi, semuanya telah hilang. Mas Aqil berubah menjadi sosok yang tak kukenal.
“Besok aku akan menikahi Ami”. Mas Aqil tiba-tiba mengagetkanku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur. Jantungku seakan berhenti berdetak, mulutku kaku tak mampu berucap. Aku mematung, tak sanggup menoleh pada mas Aqil yang kemudian berlalu dariku. Kembali buliran panas jatuh membasahi pipiku, dadaku sesak tak tertahankan. Rasa perih meyelimuti hatiku. Pandanganku menerawang jauh menatap matahari yang bersinar terang menembus kaca jendela.
Air mataku mulai mengering, rasaku seakan menghambar. Kupandangi kedua putriku yang bermain dengan wajah riang. Tak ada duka di wajah mereka, mereka terlalu kecil untuk mengerti, bahwa 2 jam lagi ayah mereka akan menambah wanita lain dalam hidupnya, bukan hanya kami lagi wanita mas Aqil, tapi ada yang lain, bukan kami. “Kamu mengkhianatiku mas”. Lirihku dalam hati saat memandangi foto pernikahan kami yang terpajang dengan angkuhnya di ruang tamu.
Aku masih berdiri menatap satu per satu foto-foto kami yang menghiasi dinding rumah, kurasakan ada pelukan erat datang dari arah belakangku. Sangat erat hingga membuatku tak mampu bergerak. Aku tau itu adalah tangan kekar mas Aqil. Tangisnya memecah keheningan. “Bukankah sekarang adalah waktumu mengucap Ijab kabul untuk Ami mas???”. Tanyaku datar. “Maafin aku ma, maafin aku”. Jawabnya sembari menciumi kepalaku, lama. “Aku tidak akan pernah menukar kebahagiaan ini dengan apapun di luar sana. Aku janji ma, tidak akan ada lagi Ami atau Ami yang lain dalam kehidupan kita”. Aku berbalik memeluk mas Aqil. Syukurku memenuhi relung hati. Betapa Allah memperkenankan doaku.
Alhamdulillah yaa..

The End



*Cerpen ini terinspirasi untuk mengenang masa perselingkuhan Papaku. Kata Papa, perempuan tersebut menjadi gila 1 jam sebelum akad nikah. Akhirnya Papa memutuskan pulang and it's mean no wedding, and no new woman more in our family.

28 Sep 2011

Hikmah Hari ini


Senja di sore itu, membawaku berjalan menyusuri jalan sekitar kantor. Malam perlahan menyelimuti matahari, seperti bilangan keluh kesah menyertai langkah demi langkah kaki. Hingga ia tak berbilang lagi.
*****
Siang itu, jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Aku bergegas menuju parkiran, ingin segera menyenangkan cacing-cacing di perutku. Aku sedikit menarik mundur motorku, tp kok rasanya berat, tidak s...perti biasanya. Aku menunduk sedikit, mencurigai ban. Dan Alhamdulillah, kecurigaanku adalah nyata. Ban motorku kempes.
Aku menghela napas, dan kubisikkan hatiku dengan kata penenang hati, 'Sudahlah Ki, waktumu tuk berbagi dengan mereka yang berprofesi sebagai penambal ban jalanan'. Aku merasa senang bisa membuat hatiku mengambil sisi positifnya, dan mulai mengikhlaskannya.
*****
Aku memandangi kak Karol yang semakin jauh meninggalkanku, ia begitu semangatnya menggiring motorku. Sementara aku, aku yang hanya membawa diri mulai merasa lelah dan hampir saja menyetop ojek. Hampir saja rasa lelahku membuang rasa empatiku.

'Capek banget kak, kita jalan berapa kilo nih? Ada 2 kilo yah kak? Coba aku tau sejauh ini, mending aku tungguin kaka di office tadi'. Kak Karol hanya tersenyum sambil menawarkan air minum. Kemudian ia menertawakanku yang masih terlihat kecapean.
Aku mengalihkan pandanganku pada sosok perempuan yang mulai mengangkat paku pada ban motorku. Awalnya aku fikir, ah..mungkin dia senang aja bantu-bantu suaminya di bengkel. Namun aku semakin terpaku, pandanganku tetap pada perempuan itu, nampak di mataku ia membuka Ban, kemudian menggantinya dan sesekali ia meladeni pelanggan lain yang juga mengalami masalah pada ban motornya.
Menyadari diriku yang semenjak tadi memperhatikan perempuan tersebut sampe mangap, kak Karol kemudian berkata, 'bersyukurlah kamu, karena kamu berpendidikan'. 'Iya kak, seharusnya sy bersyukur, bukannya mengeluh seperti tadi'. Jawabku dengan nada lemah.
*****
Temans, hikmah itu memang selalu ada dimana-mana. Tinggal bagaimana kita mau mengambilnya atau malah mengacuhkannya. Hari ini Allah memberiku pelajaran bahwa berprasangka baik saja pada Allah itu tidaklah cukup jika kita belum ikhlas akan apa yang telah ditetapkan-Nya pada diri kita. Dan keihklasan itu belumlah sempurna jika kita tidak mensyukuri tiap nikmat yang kita rengkuh dalam detik waktu kita. Kini aku baru mengerti, mengapa para Sufi menempatkan rasa syukur setelah takwa, ikhlas, iman dan islam.
Dalam perjalanan pulang yang diiringu kumandang adzan maghrib, kembali aku teringat kata-kata kak Karol. Mengacak-acak kesadaranku bahwa sebisanya Perempuan memang harus berpendidikan dan profesional serta menjadi pribadi yang tercerahkan. Karena kita tidak pernah tau, sampai kapan para lelaki kita membersamai langkah perjuangan hidup.
Allah.. Malu aku mengeluh pada makhluk-Mu.
*Thanks buat kak Karol yang mau berlelah ria untukku :)

21 Sep 2011

Ku Tahu yang Ku Mau

Bandara Hang Nadim Batam nampak begitu sibuk hari ini, kulihat jam di HP-ku menunjukkan pukul 12.30 WIB. Tepat di ruang tunggu aku memandangi setiap pesawat yang silih berganti lepas landas. Sudah 1 jam menunggu dan masih menyisakan se-jam lagi pemberangkatan Batam – Jakarta untuk Maskapai Penerbangan Garuda. Wajah cantik Vivi semakin jelas membayang di pelupuk mata, lentik jemarinya seakan membelai-belai rambutku yang ikal. Kurindukan senyum manisnya, tatapan matanya dan suara manjanya yang selalu bisa meluluhkan hatiku. Aku selalu senyum-senyum sendiri kala membayangkan wajahnya.
Tit..tit..tit.. HP-ku berbunyi, 1 pesan diterima. “Udah berangkat lo? Sukses yah!”. Aku tersenyum membaca sms Mila. “Sukses juga deh dengan prosesi ta’arrufnya. Wkwkwkwk!!!”. Balas sms-ku pada Mila. Hmmm.. Tepat di waktu yang sama, Mila juga akan memutuskan siapa yang akan menjadi soulmate-nya kelak habis Ashar nanti. Aku pun berencana langsung menemui Vivi ke rumahnya segera setelah sampai di Jakarta.
*****
Mila : “Bro, doakan gw yah ato dukung gw ato apalah kira-kira konstribusi yang bisa elo berikan demi terciptanya Rumah Tangga SAMARA buat gw”.
Aku : “Emangnya elo udah mau nikah? Alhamdulillah, akhirnya ada juga kaum gw yang khilaf ngelamar elo. Hahaha..”
Mila : “Waaahhh.. Jahat lo yah, masa bilangnya gitu sih ke gw?”
Aku : “Who is the unlucky man, sizt?”
Mila : “Ah.. resek lo”...
Aku : “Hahaha, iya deh. Selamat. Kapan lamarannya?”
Mila : “Blum lamaran, kemaren kami baru abis ta’arruf gitu. 2 minggu dari sekarang aku harus memutuskan, mau lanjut ato gak”.
Aku : “Oh..Gitu, ya wes. Smoga elo dapet yang terbaik buat hidup elo deh. Amin! Eh, doakan gw juga yah. Gw mau ke Jakarta, tepatnya 2 minggu ke depan juga. Tiket sudah di tangan.
Mila : “Ngapain?”
Aku : “Jangan bilang sama siapa-siapa yah, gw mau melamar Vivi”
Mila : “What???” Vivi yang mantan lo 2 tahun lalu itu yah? Sejak kapan kalian jadian lagi?”
Aku : “Weitsss...tenang non. Kami gak jadian kok, bahkan sampe sekarang kami blum pernah ada komunikasi lagi sejak putus. Tapi gw mau ngasih surprize buat Vivi. Dan aku yakin dia gak bakal menolakku”.
Mila : “PeDe banget lo.. Udah siap patah hati tuk yang ke-dua kalinya gak?”
Aku : “Mesti PeDe dong, secara...semua yang diinginkan Vivi sekarang sudah ada padaku”.
Mila : “Astaghfirullah...Kayaknya lo mesti lurusin niat elo deh Rif. Elo mau nikah apa mau mengulang masa lalu? Elo mau nyari istri yang bisa membanggakan kamu di hadapan Allah kelak ato istri yang hanya bisa membanggakan kamu di depan teman-teman kamu karena kecantikan dan kemolekan tubuh yang dimilikinya? Elo kan udah tau dari awal sampai khatam karakter Vivi gimana, gak mungkin dia memilihmu”.
Aku : “Tapi aku sangat mencintainya Mil”
Mila : “Terserah elo aja bro. Gw gak mungkin melarang elo. Tapi klo saran gw sih, mikir-mikir lagi deh. Atau cari kek teman perempuan elo yang kira-kira masuk dalam kriteria elo, tapi bukan Vivi loh yah..”.
*****
Vivi, primadona kampus, gadis tercantik yang pernah hadir mengisi hari-hariku sejak kami sama-sama mengambil studi S-2 Project Management di salah satu Perguruan Tinggi di Bandung beberapa tahun silam. Dikumpulkan dalam satu kelompok penelitian bersama 3 orang lainnya, salah satunya adalah Mila yang juga teman kuliahku selama 5 tahun S-1, 1 tahun kerja di perusahaan yang sama, sama-sama mendapatkan Beasiswa di Jurusan yang sama dan sekarang 2 tahun kembali bekerja pada perusahaan yang sama pula. Hampir semua temanku bilang kalo Vivi menyukaiku karena ke-enceran otakku, tapi aku tidak pernah peduli bahkan tidak mau tahu. Mila juga sesekali mengingatkanku dan menasehatiku. Tapi tetap saja usaha sahabatku yang akhwat ini tidak bisa mengubah pendirianku.
*****
Entah mengapa aku lebih banyak kefikiran Mila akhir-akhir ini, ada perasaan takut kehilangan yang menghampiri sejak dia memberi tahu kabar proses ta’arrufnya. Kata-kata Mila saat Chating terakhir itu membuatku selalu berfikir. Namun hasratku pada Vivi juga semakin membuncah. Bila dirunut sampai ke palung hati, aku sendiri bingung dengan perasaanku pada Vivi. Masihkah itu perasaan cinta atau ambisi dan obsesiku saja. Lelaki mana yang tidak akan membusungkan dada bila berjalan didampingi oleh Vivi. Kesempurnaan fisik menutup semua kekurangannya. Sedangkan Mila... Mila jauh dari kriteria yang kuinginkan. Rifky Arya Putra, lelaki terganteng dan terkeren sejagad, smart, sukses, diingini oleh semua wanita cantik, tapi mendapatkan istri Ustadzah. Ahhh...bisa hancur reputasi gw.
*****
Tak terasa Pesawat akan segera berangkat, semua penumpang menuju gate pemberangkatan. Aku masih duduk terpaku, tiba-tiba perasaan bimbang menyelimuti hatiku. Seakan muncul kesadaran di dalam hati dan fikiranku. Aku tahu apa yang kuinginkan saat ini. Aku segera bangkit dan bergegas pergi, aku keluar dari gedung bandara dan mengambil Taxi. Aku membatin, Mila.. Mengapa aku begitu buta selama ini, mengapa aku tidak pernah menyadari perasaanku padamu. Kebaikanmu, ketulusanmu, kedewasaan dan senyummu selalu menyempurnakan hariku.
*****
Aku mengetuk pintu rumah Mila, tidak sabar lagi rasanya tuk mengungkapkan semua isi hatiku. “Assalamu’alaikum... Mila.. Mil”. “Wa’alaikum salam, tunggu..” terdengar suara Mila dari balik pintu. Mila : “Loh, bukannya elo udah berangkat ke Jakarta?”. Tanya Mila keheranan saat melihatku di balik pintu.
Aku : “Iya, seharusnya. Tapi ada beberapa hal yang pengen gw tanyain ke elo”.
Mila : “Apa?” Mila balik bertanya.
Aku : “Apa keputusan elo tentang proses ta’arrufmu itu?”
Mila : “Yeee..mau tauuuu aja..”
Aku : “Mil, kita menikah yuk. Kamu kan baru ta’arruf, belum dikhitbah”
Mila : “Apa? Tolong diulang sekali lagi Rif!!!”
Aku : “Mila Handini Dinata, maukah engkau menikah denganku?”
Plaaaakkk...Plaaakkk
*****
Astaghfirullah... Aku terbangun sambil memegang ke-dua belah pipiku. Alhamdulillah, ternyata hanya mimpi. Aku bangkit dari tempat tidur dan menuju cermin. Kupandangi wajahku dengan seksama, subhanallah.. Aku memang ganteng. Hmmm... Mila, mungkinkah kita bisa menjadi sahabat yang halal selamanya???

Batam, 21 September 2011

20 Sep 2011

Demi Cinta

“Sekarang kamu putuskan, perempuan itu atau ibu?”. Bentak ibu pada mas Asan.
“Bu, itu adalah hal yang tidak mungkin aku lakukan. Kalian adalah wanita yang paling kucintai dalam hidupku. Aku harap ibu bisa memahaminya”. Jawab mas Asan sambil memeluk lutut ibunya.
“kalau kamu tetap memilih perempuan itu, maka mulai sekarang kamu bukan anakku lagi. Keluar dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini”. Suara ibu bergetar dan nanar memandang diriku yang berdiri terpaku di pintu kamar.
Aku hanya bisa terisak dalam tangis, tertunduk dan tak berdaya. Aku dan mas Asan saling memandang. Sejenak kutatap wajah lelaki yang paling kucintai itu, kemudian aku terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Mas Asan menghampiriku, memelukku dan menggenggam erat tanganku.
“Ayo sayang, kita pergi sekarang juga”. Bisik mas Asan di telingaku.
“Tapi mas...”. Telunjuk Asan menekan bibirku yang menghentikanku berbicara.
Mas Asan seraya bangkit dan meraih tanganku. Tanpa berkata satu patah kata pun, kami keluar dari rumah. Mas Asan menghentikan langkahnya di depan pagar rumah, kemudian membalikkan badan. Ia pun tak sanggup membendung air matanya. Hanya pakaian di badan dan perasaan yang berkecamuk yang membersamai langkah kami. Aku terus mengikuti langkah mas Asan, tangannya tak berhenti menggenggam erat tanganku. Aku lelah tapi tak ingin mengusik pikirannya. Akupun tak bertanya kemana hendak menuju.Hingga akhirnya kami lelah berjalan dan berhenti di sebuah Toserba pinggir jalan, panas matahari begitu menyengat membuat kerongonganku kering kerontang. Mas Asan membuka dompetnya yang hanya berisikan 2 lembar pecahan 10rb rupiah dan 10 lembar pecahan 2rb rupiah. Mas Asan melirikku dan membuka lebar dompetnya padaku, kemudian ia tersenyum manis padaku.
Lama kami terdiam, duduk di halte Bus dekat Toserba tadi. Yang terdengar hanya suara kendaraan yang lalu lalang di hadapan kami. Akhirnya kuberanikan diri tuk berbicara pada mas Asan. “Mas, bagaimana klo kita ke rumah nenek aja di kampung? Di sana kita bisa memulai hidup baru dan mandiri”. Mas Asan masih terdiam, memandang lepas ke arah depannya. “Nenek kan udah tua, kasihan gak ada yang ngurus beliau”. Kembali aku melanjutkan ideku. “Baiklah sayang, aku ikut apa kata kamu”. Jawabnya singkat.
Akhirnya kami mengambil Bus tujuan kampung nenek. Kami tidak ada pilihan lain lagi. Selama ini mas Asan hanya bekeja di toko orang tuanya. Semenjak kami menikah, semua penghasilan mas Asan di simpan oleh ibu. Aku hanya kebagian sisa-sisa duit yang disembunyikan oleh mas Asan dari ibu. Dari awal pernikahan kami memang tidak direstui oleh ibu, tapi kala itu mas Asan tetap ngotot. Ibuku meninggal saat aku berusia 4 tahun dan ayahku menikah lagi tak lama setelah ibuku meninggal. Aku lebih memilih tinggal bersama kakek dan nenek daripada tinggal bersama ayahku. Tapi tidak lama kemudian kakek pun meninggal. Tinggallah aku dan nenek. Di umur 17 tahun, mas Asan meminangku tuk jadi istrinya. Aku pun tak menolak, dia begitu sempurna di mataku.
5 tahun usia pernikahan tapi kami belum dikarunia anak. Dan sepanjang waktu itu juga aku harus bersabar dengan perlakuan ibu mertuaku yang tidak pernah kunjung menerimaku sebagai menantunya. Aku selalu berusaha bersabar. Kepedihan dan penderitaan yang kurasakan tak sebanding dengan kasih sayang yang diberikan mas Asan padaku. Cintanya selalu menguatkanku. Hingga suatu hari ibu mengenalkan perempuan lain tanpa sepengetahuanku pada mas Asan. Mas Asan menolak yang kemudian selalu menyulut pertengkaran antara anak dan ibu tersebut. Dan hari inilah puncaknya, kami di usir dari rumah. Aku tahu, mas Asan sangat terpukul dengan kejadian ini. Dia sangat mencintai ibunya. Aku hampir tak percaya bahwa dia lebih memilihku.
Selama perjalanan di dalam Bus, aku menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Kurasakan air matanya panas mengaliri pori-pori rambutku. “Oh..Allah, sungguh aku tak sanggup melihat kedukaan di wajah lelakiku ini, tapi aku juga tak sanggup kehilangannya. Dialah hidupku”. Jeritku dalam hati.
Tak terasa kami sudah 3 tahun di kampung nenek, ekonomi kami pun mulai mencukupi. Bahkan kami sudah memiliki rumah sendiri yang sekaligus kami jadikan Toko. Namun, mas Asan lebih banyak menyendiri dan merenung di sebagian waktu malamnya. Tubuhnya sangat kurus. Sampai suatu saat dia sakit parah. Dokter sudah angkat tangan. Berbagai cara kami lakukan demi kesembuhannya, pengobatan alternative pun sudah kami jalani namun hasilnya nihil.
Berita tentang mas Asan akhirnya sampai di telinga Ibu. Dan tanpa kami sangka, Ibu datang menjenguk. Menyadari kehadiran Ibu, mas Asan seakan mendapatkan kekuatan dahsyat untuk bangkit dari tempat tidur dan memeluk erat Ibunya. “Maafkan kami bu, jangan pisahkan kami bu. Asan sayang sama Ibu”.
Aku hanya berdiri mematung menyaksikan mereka yang berderai air mata. Kadang aku merasa egois karena membiarkan mereka terpisah, padahal aku sangat tahu betapa besarnya rasa cinta diantara mereka. Tapi mas Asan selalu menolak setiap kali aku menyuruhnya kembali ke rumah orang tuanya. “Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama. Aku tidak akan pernah mengingkari Ijab-ku pada Allah untukmu”. Begitu katanya, selalu begitu.
Lambat laun, mas Asan mulai sehat dan kembali normal lagi seperti semula. Yah, semua karena cinta dan kasih sayang Ibu. Kurasakan perlakuan Ibu pun padaku mulai berubah. Perubahan yang meskipun hanya sedikit, namun cukup menenangkan kami.
Akhirnya aku hamil di usia 9 tahun pernikahan kami. Dan anak pertama kami laki-laki. Sungguh sebuah kesyukuran yang teramat bagi kami berdua. Rasanya, dunia kami sangat sempurna. Dan sejak kelahiran anak pertama itu, Ibu benar-benar berubah total. Kami menjadi keluarga baru, baru dalam kebaikan hati dan saling mencintai dengan ketulusan. Kini semakin kusadari, betapa Allah tidak pernah menyia-nyiakan kesabaran kita.
Cinta adalah perjuangan. Cinta tidak akan pernah tumbuh indah pada jiwa-jiwa yang kerdil, karena cinta hanya mencintai mereka yang memenuhi hatinya dengan kebaikan cinta.

(Cerpen ke-3nya Kiki) 
Batam, 20 Spetember 2011

This story inpired by the real story of my beloved parents. I love u all...