“Sekarang kamu putuskan, perempuan itu atau ibu?”. Bentak ibu pada mas Asan.
“Bu, itu adalah hal yang tidak mungkin aku lakukan. Kalian adalah wanita yang paling kucintai dalam hidupku. Aku harap ibu bisa memahaminya”. Jawab mas Asan sambil memeluk lutut ibunya.
“kalau kamu tetap memilih perempuan itu, maka mulai sekarang kamu bukan anakku lagi. Keluar dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini”. Suara ibu bergetar dan nanar memandang diriku yang berdiri terpaku di pintu kamar.
Aku hanya bisa terisak dalam tangis, tertunduk dan tak berdaya. Aku dan mas Asan saling memandang. Sejenak kutatap wajah lelaki yang paling kucintai itu, kemudian aku terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Mas Asan menghampiriku, memelukku dan menggenggam erat tanganku.
“Ayo sayang, kita pergi sekarang juga”. Bisik mas Asan di telingaku.
“Tapi mas...”. Telunjuk Asan menekan bibirku yang menghentikanku berbicara.
Mas Asan seraya bangkit dan meraih tanganku. Tanpa berkata satu patah kata pun, kami keluar dari rumah. Mas Asan menghentikan langkahnya di depan pagar rumah, kemudian membalikkan badan. Ia pun tak sanggup membendung air matanya. Hanya pakaian di badan dan perasaan yang berkecamuk yang membersamai langkah kami. Aku terus mengikuti langkah mas Asan, tangannya tak berhenti menggenggam erat tanganku. Aku lelah tapi tak ingin mengusik pikirannya. Akupun tak bertanya kemana hendak menuju.Hingga akhirnya kami lelah berjalan dan berhenti di sebuah Toserba pinggir jalan, panas matahari begitu menyengat membuat kerongonganku kering kerontang. Mas Asan membuka dompetnya yang hanya berisikan 2 lembar pecahan 10rb rupiah dan 10 lembar pecahan 2rb rupiah. Mas Asan melirikku dan membuka lebar dompetnya padaku, kemudian ia tersenyum manis padaku.
Lama kami terdiam, duduk di halte Bus dekat Toserba tadi. Yang terdengar hanya suara kendaraan yang lalu lalang di hadapan kami. Akhirnya kuberanikan diri tuk berbicara pada mas Asan. “Mas, bagaimana klo kita ke rumah nenek aja di kampung? Di sana kita bisa memulai hidup baru dan mandiri”. Mas Asan masih terdiam, memandang lepas ke arah depannya. “Nenek kan udah tua, kasihan gak ada yang ngurus beliau”. Kembali aku melanjutkan ideku. “Baiklah sayang, aku ikut apa kata kamu”. Jawabnya singkat.
Akhirnya kami mengambil Bus tujuan kampung nenek. Kami tidak ada pilihan lain lagi. Selama ini mas Asan hanya bekeja di toko orang tuanya. Semenjak kami menikah, semua penghasilan mas Asan di simpan oleh ibu. Aku hanya kebagian sisa-sisa duit yang disembunyikan oleh mas Asan dari ibu. Dari awal pernikahan kami memang tidak direstui oleh ibu, tapi kala itu mas Asan tetap ngotot. Ibuku meninggal saat aku berusia 4 tahun dan ayahku menikah lagi tak lama setelah ibuku meninggal. Aku lebih memilih tinggal bersama kakek dan nenek daripada tinggal bersama ayahku. Tapi tidak lama kemudian kakek pun meninggal. Tinggallah aku dan nenek. Di umur 17 tahun, mas Asan meminangku tuk jadi istrinya. Aku pun tak menolak, dia begitu sempurna di mataku.
5 tahun usia pernikahan tapi kami belum dikarunia anak. Dan sepanjang waktu itu juga aku harus bersabar dengan perlakuan ibu mertuaku yang tidak pernah kunjung menerimaku sebagai menantunya. Aku selalu berusaha bersabar. Kepedihan dan penderitaan yang kurasakan tak sebanding dengan kasih sayang yang diberikan mas Asan padaku. Cintanya selalu menguatkanku. Hingga suatu hari ibu mengenalkan perempuan lain tanpa sepengetahuanku pada mas Asan. Mas Asan menolak yang kemudian selalu menyulut pertengkaran antara anak dan ibu tersebut. Dan hari inilah puncaknya, kami di usir dari rumah. Aku tahu, mas Asan sangat terpukul dengan kejadian ini. Dia sangat mencintai ibunya. Aku hampir tak percaya bahwa dia lebih memilihku.
Selama perjalanan di dalam Bus, aku menyandarkan kepalaku di atas dadanya. Kurasakan air matanya panas mengaliri pori-pori rambutku. “Oh..Allah, sungguh aku tak sanggup melihat kedukaan di wajah lelakiku ini, tapi aku juga tak sanggup kehilangannya. Dialah hidupku”. Jeritku dalam hati.
Tak terasa kami sudah 3 tahun di kampung nenek, ekonomi kami pun mulai mencukupi. Bahkan kami sudah memiliki rumah sendiri yang sekaligus kami jadikan Toko. Namun, mas Asan lebih banyak menyendiri dan merenung di sebagian waktu malamnya. Tubuhnya sangat kurus. Sampai suatu saat dia sakit parah. Dokter sudah angkat tangan. Berbagai cara kami lakukan demi kesembuhannya, pengobatan alternative pun sudah kami jalani namun hasilnya nihil.
Berita tentang mas Asan akhirnya sampai di telinga Ibu. Dan tanpa kami sangka, Ibu datang menjenguk. Menyadari kehadiran Ibu, mas Asan seakan mendapatkan kekuatan dahsyat untuk bangkit dari tempat tidur dan memeluk erat Ibunya. “Maafkan kami bu, jangan pisahkan kami bu. Asan sayang sama Ibu”.
Aku hanya berdiri mematung menyaksikan mereka yang berderai air mata. Kadang aku merasa egois karena membiarkan mereka terpisah, padahal aku sangat tahu betapa besarnya rasa cinta diantara mereka. Tapi mas Asan selalu menolak setiap kali aku menyuruhnya kembali ke rumah orang tuanya. “Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama. Aku tidak akan pernah mengingkari Ijab-ku pada Allah untukmu”. Begitu katanya, selalu begitu.
Lambat laun, mas Asan mulai sehat dan kembali normal lagi seperti semula. Yah, semua karena cinta dan kasih sayang Ibu. Kurasakan perlakuan Ibu pun padaku mulai berubah. Perubahan yang meskipun hanya sedikit, namun cukup menenangkan kami.
Akhirnya aku hamil di usia 9 tahun pernikahan kami. Dan anak pertama kami laki-laki. Sungguh sebuah kesyukuran yang teramat bagi kami berdua. Rasanya, dunia kami sangat sempurna. Dan sejak kelahiran anak pertama itu, Ibu benar-benar berubah total. Kami menjadi keluarga baru, baru dalam kebaikan hati dan saling mencintai dengan ketulusan. Kini semakin kusadari, betapa Allah tidak pernah menyia-nyiakan kesabaran kita.
Cinta adalah perjuangan. Cinta tidak akan pernah tumbuh indah pada jiwa-jiwa yang kerdil, karena cinta hanya mencintai mereka yang memenuhi hatinya dengan kebaikan cinta.
(Cerpen ke-3nya Kiki)
Batam, 20 Spetember 2011
This story inpired by the real story of my beloved parents. I love u all...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar