31 Jan 2012

PENGEMIS Vs PEJABAT

Entah mengapa, setiap kali mendengar kata PEJABAT, saya langsung sensitif. Yang terlintas kemudian adalah KORUPTOR. Namun, ada satu kata lagi yang tidak bisa terpisahkan dari dua kata tersebut dalam otakku; PENGEMIS. Akhir-akhir ini sering muncul di dalam fikiranku bahwa Pengemis lebih mulia kedudukannya daripada mereka; “Pejabat”.
Saya selalu jijik setiap kali melewati tumpukan sampah yang ada di sekitaran jalan raya, tapi saya lebih jijik lagi dengan kata “Pejabat”. Geram rasanya, pikiran seperti tercampur aduk. Pengen marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Pengen teriak, tapi takut dikirain orang gila. Maka jadilah ia penyakit hati, dongkol, menumbuh jadi jerawat, seandainya hati itu bisa nampak seperti kulit wajah, mungkin jerawat yang menumbuhinya sudah tak berjarak lagi. Penuh, disesaki oleh beban hati yang tak terluapkan.
Ah, lupakanlah jerawat itu, biarkan ia membatu di dalam hati. Toh, suatu saat batu itu akan hancur luluh karena tetesan hujan air mata dari langit hati. Yang masalah itu adalah batu yang ada di hati para “Pejabat” kita. Entah apa yang ada di dalam fikirannya ketika menyaksikan kemiskinan yang semakin menjamur dimana-mana. “Siapa suruh malas, siapa suruh bodoh”, mungkin seperti itu saja yang ada di dalam hatinya.
Pengemis memang lebih mulia daripada mereka. Seorang pengemis, yang jika mendapatkan rezeki, mereka tidak akan tanggung-tanggung dalam mendoakan sang dermawan. Doa kebaikan dan kemurahan rezeki akan selalu dilangitkannya bagi jiwa-jiwa yang tersentuh dengan ketidakberdayaan mereka. Sementara “Pejabat”, bersyukur sama Allah saja belum tentu, apalagi mau mendoakan ratusan juta rakyat Indonesia yang telah meng-gajinya. Ironi memang, tetapi begitulah kenyataannya..
Entah sampai kapan Negeri ini akan berada dalam genggaman manusia-manusia tamak. Manusia-manusia yang moralnya lebih rendah dari binatang. Yah, mereka memang lebih rendah dari binatang. Seekor kucing saja, yang ketika ditawarkan makanan seenak apapun dan sebanyak apapun akan menolak jika merasa sudah kekenyangan. Tetapi, manusia rakus, tamak akan materi, dia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Jika sudah berlebih untuk diri dan keluarganya maka dia tidak akan berhenti di situ saja, karena masih ada turunan ke-8 yang menunggu pembagian jatah. Na’udzubillah min zaalik.
Semoga kalian yang terhormat, yang duduk di atas kursi empuk, disejukkan dengan AC tanpa perlu berpanas-panas ria bisa segera dibukakan pintu hatinya oleh Allah agar kalian bisa melihat apa sesungguhnya yang terjadi di luar gedung mewah itu. Kami tidak meminta anda memilih hidup dalam kemiskinan seperti yang dipilih oleh Rasulullah SAW karena kami tahu anda tidak akan sanggup. Kami tahu, beban yang dibebankan di atas pundak kalian itu tidak ringan. Tapi, tolonglah! Jangan sakiti kami dengan merampas hak-hak kami. Karena kami pun berhak mendapatkan penghidupan yang layak dari belaian Ibu pertiwi, Indonesia.

26 Jan 2012

MARI BERUBAH!

Seorang Filsuf Prancis, Henry Bergson mengatakan, “To exist is to change, to change is to mature, to mature is to go on creating oneself endlessly”. Hidup artinya berubah, berubah artinya menjadi dewasa, dan dewasa berarti membentuk diri tiada akhir.
Sebuah kata hikmah yang begitu sarat akan makna jika kita mau memikirkannya. Sebenarnya, jauh sebelumnya Allah sudah mengingatkan kita di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. 13:11)
Ada yang mengatakan bahwa salah satu hal yang abadi di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Berarti, life will never be same, because life is changing. Yah, hidup tidak akan pernah sama, karena itu kita harus senantiasa melakukan perubahan-perubahan dalam hidup meskipun itu adalah hal-hal kecil. Bukan berarti berubah menjadi Satria Baja Hitam, atau melakukan operasi plastik, tapi substansinya adalah ada pada pola pikir kita, bagaimana kita meletakkan dan memandang suatu permasalahan hidup sesuai dengan porsinya.
Pada akhirnya, bukan masalah mampu atau tidak mampu, tetapi apakah kita mau melakukan perubahan atau kita memilih untuk tidak berubah. Karena, hanya dengan berubah, kita dapat mengantisipasi perubahan.
Untuk berubah, sebaiknya kita mengambil cermin terlebih dahulu. Karena hanya dengan bercermin, kita akan mampu melihat diri kita sendiri secara keseluruhan. Jika kita pernah merasa kekurangan, rendah hati atau berkecil hati dengan keadaan yang sekarang mungkin ada baiknya kita menambah durasi dan frekuensi berceminnya. Biar kita tahu, bahwa sungguh tak ada cacat di sana, biar kita sadar, bahwa tak ada gunanya mengeluh.
Berhentilah mendeskreditkan diri sendiri. Karena itu hanya akan mendekatkan kita pada kufur nikmat, tidak pandai bersyukur. Dan renungkanlah kata-kata indah ini, “Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin berarti dia merugi. Barang siapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan hari kemarin, dia celaka. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dibandingkan hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung.
Mari berubah !!!



24 Jan 2012

ROKOKMU MEMATIKAN HATIKU

CERPEN :

Aku menikahinya karena terpaksa. Aku terjebak, atau lebih tepatnya dijebak. Aku terjebak dalam cerita yang diciptakan oleh kedua orang tuaku. Hingga akhirnya aku tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Bukan karena orang tuaku punya penyakit jantung atau mau bunuh diri jika keinginannya tidak kupenuhi seperti yang ada di dalam cerita sinetron, tapi ini tentang harga diri, sebuah pertaruhan kehormatan keluarga yang dibebankan di atas pundakku. Jika aku peduli, menikahinya adalah keputusan paling bijak yang pernah aku ambil seumur hidupku.

Selama ini aku selalu lari dari tanggung jawab tersebut, aku bersikeras merantau meskipun yang kudapatkan jauh lebih kecil dari yang bisa dipenuhi oleh kedua orang tuaku. Tapi, aku tetap bertahan. Bertahan dalam kekurangan selama 2 tahun awal berada di perantauan dan akhirnya mendapatkan gaji yang layak di tahun berikutnya.

***
Ijab telah melangit menuju Arasy-Nya, menggetarkan langit dan bumi, dan di-aminkan oleh para malaikat dan seluruh penduduk bumi. Prosesi walimahan yang begitu hikmad, tepat seperti yang kuinginkan, adikku telah memahami betul konsep yang selalu kuceritakan padanya selama ini. Namun, hatiku tak bergetar dengannya. Aku seperti kehilangan rasa, tak ada air mata, yang ada hanyalah kebekuan hati.

Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin aku menikah dengan laki-laki seperti dia, seorang perokok. Bukan hanya karena dia perokok, dalam beberapa interaksiku dengannya setelah dia resmi menjadi Kuasa Hukum Ayahku, aku tidak suka dengan caranya menatapku, aku tidak suka dengan gaya bahasanya, dan di raut wajahnya bisa kurasakan bahwa dia seorang pemarah. Namun, entah bagaimana ceritanya aku wajib menjadi istrinya. Mengetahui ini membuatku shock tingkat tinggi, tapi apa dayaku, aku akan kehilangan semuanya jika aku menolak.

Aku sengaja tidur lebih awal di malam pertama kami. Kurasakan dia menciumi keningku dan menggenggam jari tangan kananku yang tidur membelakanginya. Aku benci nafasnya. Aku tak bergeming dan tetap berpura-pura tidur. Selimut tebal telah menutupi tubuhku dengan pakaian lengkap beserta jilbabku yang juga tidak kulepas. Besok, aku akan ikut bersamanya, ke rumahnya. Aku akan menjalani hari sebagai istrinya. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana harus melalui hari depan bersamanya, suamiku. Yah, dia adalah suamiku kini dan aku adalah istrinya.

***
Rumah yang cukup sederhana, dengan tiga kamar. Ruang tamu nampak begitu rapih dengan satu lemari besar yang di dalamnya berjejer buku-buku, menandakan bahwa dia suka membaca. Ruang dapur amat tertata dan bersih, dari penampilannya sepertinya dia memang suka kebersihan. Aku melongokkan badan ke bagian belakang rumah, sepertinya bagian tersebut digunakan tuk menjemur cucian. Sebuah rumah yang cukup berkesan menurutku, sederhana dan rapih. Tak bisa kupungkiri, rumah seperti inilah yang kuidamkan selama ini.

"Pakaian kamu dimasukkan ke lemari yang berwana hijau yah" Dia mengagetkanku dengan satu tepukan di pundakku, "yang bagian bawah buat pakaian kamu, di bagian atasnya itu pakaiaanku. Nah, untuk lemari yang satunya itu buat pakaian kita yang tidak dilipat". Aku hanya terdiam menatapnya kemudian mengikuti langkahnya yang membawa koporku masuk ke dalam kamar. "Aku ingin kita pisah kamar". Dia respek terpaku tak bergerak yang sebelumnya sibuk membuka kopor-kopor pakaianku kemudian berdiri membalikkan badan dan menatapku tajam. "Aku belum siap, mungkin aku masih butuh waktu". Lanjutku kemudian yang menunduk dengan air mata yang tak terbendung. Tanpa bicara sepatah pun, segera dia menutup kembali kopor-koporku dan mengangkatnya ke kamar sebelah. Lagi-lagi aku mengikuti langkahnya.

"Kamar kamu sudah siap, ini ada ATM dan kredit card buat keperluan sehari-hari kamu dan ini ATM beserta buku tabunganku, semua itu milik kamu sekarang. Kamu bebas menggunakannya". Aku tak tahu harus berkata apa, aku hanya terdiam dan terpaku melihatnya berlalu dari kamar yang sudah dia siapkan untukku.

Dadaku sesak dengan sikapku ini. Logika dan perasaanku berperang. Mengapa aku tega seperti ini kepada suamiku, bukankah dia adalah Imamku? Bukankah surgaku ada dalam ridhonya? Prinsip hidup telah membelengguku. Menarik diriku untuk mengkhianati sebuah janji dan sebuah prinsip. Janjiku, aku bersumpah akan mencintai laki-laki yang telah mengucap Ijab Kabul untukku selamanya, siapapun dia. Namun prinsipku selalu berkata, tak akan pernah ada ruang kosong di hatiku untuk seorang perokok, siapa pun dia..

Bagiku, salah satu jenis manusia terdzhalim di dunia adalah perokok. Mereka adalah kumpulan manusia egois yang hanya mementingkan kepuasan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Hidup terlalu murah dibandingkan sebatang rokok, lalu bagaimana mungkin mempercayakan mereka menjadi imam kita.
***
Setelah sholat subuh dan tilawah beberapa halaman, aku memaksakan diriku menuju dapur dengan niat menyiapkan sarapan untuknya. Yah, semalaman aku berpikir keras dan kuputuskan untuk berusaha berlaku seperti layaknya sikap seorang istri terhadap suaminya. Aku akan memasak untuknya, mencucikan pakaiannya dan memelihara rumahnya. Kurasa ini sudah impas untuk sikapnya yang tidak memaksakan kehendaknya padaku, padahal dia bisa saja melakukannya.

Sarapan sudah siap dan kulihat dia pun sudah bersiap-siap berangkat kerja. Sebatang rokok mengepul di tangan kirinya, kemudian mengambil satu sendok nasi goreng ke mulutnya. ”Uhuk..uhuk..uhuk..” dia sigap meneguk segelas air kemudian menatap ke arahku yang sudah terlihat panik. “Makanannya tidak enak yah?” Tanyaku dengan nada khawatir. “mmmmm... klo enak sih, memang gak klo dibandingkan sama yang di restoran. Tapi, ini bukan masalah enak atau tidaknya, pedas banget. Aku gak bisa makanan pedas”. Aku hanya manggut-manggut dan berjalan menghampirinya dengan memberinya secarik kertas. “Apa ini?” Tanyanya penasaran. “Tulis aja jawabannya sesuai dengan daftar pertanyaan di situ?”.

Aku cukup terbantu oleh secarik kertas tersebut. Dari situ aku tahu kebiasaan dia di pagi hari, daftar makanan yang dia sukai, jam berapa pulang kerja termasuk nomor HPnya. Aku mulai belajar memasak, berbagai usaha kulakukan, mulai dari nonton acara TV sampai browsing di Internet. Seminggu, dua minggu, tiga minggu hingga satu bulan pernikahan kami, tak ada yang berubah dalam hubungan kami. Aku melakukan tugasku seperti biasanya kemudian mengurung diri di dalam kamar setelahnya. Setiap malam minggu dia mengajakku nonton, tapi aku selalu menolaknya. Dan, sekalipun aku tidak pernah membuka jilbabku di hadapannya.

“Besok ada acara kantor, aku harap kamu mau ikut”.
“Jam berapa, dimana?” tanyaku kemudian.
“Di pantai, jam 7 pagi. Kami ada acara mancing bareng, sekalian ngajak keluarga masing-masing, biar bisa saling kenal”.
“Baiklah...” jawabku singkat. Kulihat semburat bahagia menggantung di senyum tipisnya.

Aku merasa sangat tidak nyaman saat dia tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Saat ingin kulepas, semakin ia mengeratkan pegangannya. Sesekali ia merangkulku saat bercengkrama dengan teman-temannya. Aku hanya bisa tersenyum, senyum kecut tepatnya dan entah berapa banyak cubitan yang kuberikan padanya di sekitar pinggangnya. Dia tidak pernah mengeluh kesakitan, malah semakin menyemangatinya merangkulku. Lagi-lagi, aku sangat benci jika harus mengadu nafas dengannya.

***
“Eky... kamu ada gunting kuku gak?”
“Ada tuh, di laci lemari, di dalam kamarku” tanpa berpikir panjang aku menyuruhnya masuk ke dalam kamar karena sedang fokus di dapur. Sekitar satu menit kemudian dia datang menghampiriku, kemudian mematikan kompornya dan menarik lenganku menuju kamar.

“Apa maksud semua ini, Ky?” nanar matanya menatapku dan seakan semua energinya dia sematkan dalam genggaman tangannya di lenganku. “Lihat, jadi selama ini kamu tidak pernah memakai uang yang kuberikan”. Suaranya meninggi kini. “Kamu pikir kamu siapa, haa..? Laptop ini, laptop ini masih tersegel. Apa maksud kamu Ky? Apa?”
“Prakkkkkkkkkk...” Dibantingnya Laptop tersebut ke lantai dan dipatah-patahkannya ATM yang masih terbungkus rapih di dalam amplop. “Aku benar-benar kecewa sama kamu Ky”. Dia berlalu dariku, membanting pintu kamarku dan tidak lama kemudian kudengar suara motornya meninggalkan rumah.

Aku menangis sejadi-jadinya. Rasa bersalah mulai merasuki hatiku. Selama ini aku memang tidak pernah menggunakan uang yang diberikannya bahkan semua biaya yang dikeluarkan di rumah setiap bulannya selalu aku bayar dengan uangku sendiri setengahnya. Tabunganku selama bekerja cukup untuk membiayai hidupku selama setahun jika aku bisa hemat. Dan selama 2 bulan menikah dengan Rian, aku baru 3 kali ke Mall. Semangat jalan-jalanku sudah terkubur, keinginan shoppingku sudah layu. Aku hidup karena masih bernafas bukan karena adanya impian yang ingin diraih.

Sudah 3 hari dia tidak pulang ke rumah. Kucoba menghubungi kantornya tapi ternyata dia juga tidak masuk kerja. HP-nya tidak pernah aktif, tapi setiap hari aku mengirimkan sms permohonan maafku padanya, berharap dia membacanya dan mau memaafkanku. Jam 10 malam, kudengar suara motornya di teras rumah. Aku bergegas keluar kamar dan membukakan pintu untuknya. Aku langsung memeluknya dan menangis di dalam pelukannya. Lama aku memeluknya hingga kemudian tersadar dan melepasnya. Aku jadi salah tingkah, aku mengambil satu langkah mundur tanpa melihat wajahnya dan berlari ke dalam kamarku. Aku menutup pintu kamarku, kemudian menyandarkan tubuhku di sana. Entah perasaan apa yang menguasai hatiku hingga aku memeluk dia.

“Aku sudah memaafkanmu. Aku juga minta maaf, Ky”. Katanya lembut di balik pintu kamarku setelah sebelumnya dia mengetuk pintu.

***
Ada yang aneh dari sikapnya setelah kejadian itu. Ada sebuah rutinitas wajib yang sepertinya dia tinggalkan beberapa hari ini, dan aku baru menyadarinya sekarang. Aku tidak pernah lagi melihatnya mengepulkan asap rokoknya di atas meja makan. Asbak di depan TV pun tidak pernah lagi terisi penuh oleh puntung rokok di setiap pagi aku ingin membersihkannya. Kupikir, dia mulai tidak merokok di dalam rumah. Tapi di luar, siapa yang tahu...

Malam sudah agak larut. Di luar, kulihat langit begitu cerah. Rasanya aku ingin menyapa bulan dan bintang di malam ini. Kuraih jilbab dan kacamataku dan keluar kamar. Aku mematung menatap kelakukan Rian yang mondar-mandir sambil lompat-lompat di ruang TV. Aku menghampirinya dan bertanya, “Kamu lagi ngapain?” Dia langsung berhenti dan cukup kaget melihatku yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Oh..nggak..ini aku lagi olahraga aja”. Jawabnya mencoba meyakinkanku yang kelihatan keheranan. “Aku berusaha berhenti merokok, tapi sepertinya sulit. Sekarang aku lagi berperang melawan keinginanku tuk merokok, makanya aku mondar-mandir dak karuan seperti ini”.

Aku berjalan mendekatinya, kemudian berdiri di depannya. Baru kali ini kami berdiri begitu dekat, sangat dekat hingga aku dan dia saling mengadu nafas. Dia menatapku dalam, dan kubalas tatapan itu penuh makna. “Kenapa baru sekarang kamu berhenti?”. Tanyaku. “Kenapa kamu tidak pernah memintanya?”. Jawabnya. Seketika tangis kami pecah di kebisuan malam. Kami larut dalam pelukan penuh kerinduan.

***
Akhirnya kami sama-sama sadar, selama ini kami tidak pernah membangun komunikasi yang efektif. Hari dihabiskan hanya dengan saling berdiam diri. Aku sadar dari awal bahwa dialah suamiku dan tidak akan mungkin mengingkarinya, tapi aku lupa satu hal, aku lupa bahwa apapun kekurangannya aku harus ikhlas menerimanya. Jika kekurangan itu tidak baik, maka bersama seharusnya kita bisa membuatnya menjadi baik bukannya mematikan hati untuk melihat sisi baik lainnya.

Dia adalah Rian, suamiku. Laki-laki yang begitu sabar menghadapi pengkhianatanku sebagai istri yang baik. Dia tidak pernah mengeluhkan sikapku kepada kedua orang tuaku. Dia selalu sabar menunggu hatiku terbuka untukknya. Di waktu lain, dia berusaha mengenal diriku dari orang-orang terdekatku hingga akhirnya dia tahu bahwa aku begitu membenci perokok. Dan dia mau berubah untukku, untuk istrinya.

Suamiku, maafkan aku untuk kebodohanku selama beberapa bulan menjadi istrimu yang tidak pernah memikirkan perasaanmu. Sekarang, akan kupenuhi sumpahku. Aku akan mencintaimu seumur hidupku, aku akan mengabdikan hidupku untukmu, karena aku ingin meraih surgaku dari dirimu.

The End...

IMPAS

Dulu, pernah suatu ketika saya melakukan interview di sebuah Perusahaan Shipyard di Batam. Kebetulan, user-nya orang Indonesia. Dia membaca CV saya dengan khusyu’. Dan sampailah dia pada riwayat pendidikanku, dia kemudian bertanya:
 “Lo, kamu gak lulus SD yah? Kok cuman 5 tahun, masuk SD tahun 1992, tamat 1997. Kok bisa gitu?”.
Sempat shock, awalnya. Kemudian dengan entengnya saya jawab, “Tenang aja pak, saya sudah menggenapinya di bangku kuliah kok. Klo SD yang seharusnya diselesaikan dalam waktu 6 tahun tapi ternyata hanya 5 tahun maka kuliah saya selesaikan dalam waktu 5 tahun yang seharusnya hanya 4 tahun. Begitu kan lebih baik pak, impas kan?”. Senyumku melebar...
“Hmmm... Boleh juga alasan kamu. Hati-hati yah, nanti bapak laporin kamu ke Dinas pendidikan lo..”. Dia tersenyum puas melihat rona mukaku yang tiba-tiba berubah setelah awalnya merasa menang dengan jawaban konyol di atas.
Setelah peristiwa tersebut, saya sudah tidak pernah lagi menyebut SD dan SMP dalam Riwayat Pendidikanku di CV. Takutnya peristiwa di atas terulang kembali. *Smile...

21 Jan 2012

INDONESIA, SAYA MAU BICARA

Pemerintahan di Indonesia sekarang ini ibarat air comberan, menjijikkan!!! Mendengar kata comberan saja, kita sudah jijik apalagi jika harus kecebur atau menceburkan diri ke dalam air comberan tersebut. Sebenarnya, air comberan itu tidak semuanya kotor, awalnya. Waktu hujan kan airnya belum kotor, cuman pas masuk comberan jadi kotor deh. Nah, begitupun dengan orang-orang yang ada di dalam pemerintahan saat ini. Ada yang awalnya bersih, putih kayak pemutih, namun karena tidak mampu menjadi penetralisir, makanya yah dia juga ikut jadi kotor. Yah, secara...Comberannya se-Got sementara dia hanya seperti satu tetes hujan yang masuk ke dalam Got, nggak ngefek kali...

Coba ambil air comberan ke dalam 1 gelas. Tapi jangan di minum yah. Mari kita bereksperimen kecil-kecilan. Untuk membuat air di dalam gelas tersebut bersih dan layak tuk dikonsumsi maka gelas dan airnya mesti dibersihkan. Nah, saya kasi 2 opsi. Yang pertama, airnya ditumpahkan saja kemudian gelasnya dicuci sampe bersih. Kedua, masukkan air bersih sebanyak-banyaknya ke dalam gelas tersebut sampai benar-benar bersih. Terserah mau pilih yang mana, ini tidak berhadiah kok. Hehe..

Kalau opsi pertama diaplikasikan ke dalam pemerintahan saat ini, kayaknya ilustrasinya seperti ini, lakukan kudeta. Ganti sistem pemerintahannya dan tentunya orang-orangnya juga mesti diganti dong. Tapi timbul pertanyaan, semudah itu kah? Kalau menurutku sih tidak mudah, apalagi penguasa sekarang dari kaum Militer, susah bin sulit. Mengganti orang sebanyak itu sekaligus sih bisa saja, tapi bagaimana dengan penggantinya? Apakah punya kualitas dan kapasitas yang lebih baik dan lebih mulia dari para pendahulunya. Jangan-jangan keluar dari mulut buaya masuk mulut harimau pula..

Untuk opsi kedua, ilustrasinya kira-kira seperti ini. Masukkan sebanyak-banyaknya orang baik, yang punya cita-cita mulia ke dalam pemerintahan sekarang ini. Seiring berjalannya waktu, maka akan semakin banyak orang baik di dalamnya dan hingga akhirnya mereka para orang-orang kotor itu dengan sendirinya tersingkirkan atau ikut berubah menjadi bersih. Saya sih lebih suka cara ini. Slowly but surely. Tapi, timbul lagi permasalahan yang baru. Orang-orang baik itu siapa dan kemana saja? Soalnya, banyak orang yang merasa baik di Indonesia ini justru menarik diri bahkan menghalangi orang baik lainnya untuk menceburkan diri ke dalam gelas pemerintahan tersebut. Ada juga orang baik yang mengatakan, bersabarlah dan tunggulah, karena generasi-generasi kitalah yang kelak akan melakukan perubahan.

Itu adalah ide yang baik, tapi sampai kapan kita harus menunggu dan bersabar. Jangan salah yah, di luar sana, mereka yang berdiri sebagai antek-antek syetan, juga tidak kalah semangatnya melakukan kaderisasi. Jadi, kalau kita generasi sekarang mampu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, mengapa beban itu mesti kita pikulkan ke generasi selanjutnya? Seharusnya kita sadar bahwa pekerjaan-pekerjaan di hari esok akan lebih berat dari hari ini karena pekerjaan di hari esok adalah penambahan dari akumulasi pekerjaan hari ini dan kemarin yang sebelumnya belum sempat terselesaikan.

Yah, setiap generasi mempunyai masalahnya masing-masing. Tapi kebanyakan dari masalah itu adalah pengulangan dari masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka generasi terdahulu. Minimal kita ini tidak lagi melakukan pewarisan masalah, tapi benar-benar mewariskan peradaban, peradaban yang lebih baik, lebih manusiawi dan memanusiakan manusia. Jangan sampai kita hanya meninggalkan dosa jariah karena tidak pernah mau mengambil bagian menjadi tetesan-tetesan air bersih tersebut. Tapi bukan berarti semua kita mesti masuk ke dalam jajaran pemerintahan yah. Banyak hal baik yang bisa kita lakukan untuk menjadi tetesan air tersebut. Salah satunya adalah dengan terus membaikkan diri.
.:: Seperti air, suci dan mensucikan ::.

Wallaahu’alam...


PS: Ini hanya pendapat pribadi yang berangkat dari KEGELISAHAN sebagai anak Negeri.

TEGAS

Sikap tegas adalah salah satu hal terpenting dalam hidup. Tegas terhadap diri sendiri adalah jauh lebih penting daripada tegas terhadap orang lain. Dengan adanya sikap tegas terhadap diri sendiri, maka hidup kita akan lebih terarah. Kita akan menjadi tahu apa yang kita butuhkan untuk menjalani hidup dengan baik dan apa saja yang tidak kita butuhkan. Sehingga, kita tidak perlu membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran untuk melakukan hal-hal yang tidak penting.

Ibarat main api, jangan pernah bermain api jika kita tidak tahu bagaimana caranya dan apa resikonya. Karena bisa saja bukan hanya kita yang akan terbakar, akan tetapi juga orang-orang yang ada di sekitar kita. Sama saja dengan ketegasan kita, jangan sampai karena kurang tegasnya kita, banyak orang yang jadi kebingungan melihat sikap kita.

Hidup butuh ketegasan agar tak menjadi beban dalam diri sendiri dan orang lain. Bukankah keindahan akan selalu terurai dalam perjalanan hidup jika kita mampu menjalaninya tanpa beban? Jadi, tegaslah dan jiwamu akan damai dengannya.

KAMU TAK PERNAH TAHU, BETAPA GILANYA AKU MENUNGGUMU

Kau tahu, aku begitu menggilaimu. Menggilaimu hingga aku tak mampu lagi tuk berpaling darimu. Andai setiap lintasan pikiran bisa direkam, maka akan kutunjukkan padamu, betapa kamu telah mengisinya hingga penuh. Jangan menertawakanku untuk yang ini, karena aku bersungguh-sungguh. Mungkin terkesan gombal, tapi itulah kenyataannya.

Kadang aku meragukanmu, sehingga muncul pikiran yang mengatakan bahwa hingga detik ini kamu masih bermain dalam dunia impian dan tidak pernah berusaha keluar untuk mewujudkannya menjadi nyata. Tapi, kembali kutepis pikiran itu. Mungkin aku belum pantas untukmu saat ini atau mungkin kamu yang belum pantas untukku. Yah, kita memang masih sama-sama belajar dan berjuang untuk membaikkan diri hingga kita pantas untuk satu sama lainnya.

Masih ada waktu, kamu telah membuatku menunggu begitu lama, tapi aku tidak akan keberatan jika masih harus menunggumu sebentar lagi. Jika aku mampu bertahan dalam penantian yang panjang, apatah lagi untuk waktu yang sebentar saja. Tidak mudah tuk bertahan, tapi aku akan berusaha. Banyak cinta yang datang, menggoda keteguhan hatiku, tapi aku tidak akan bergeming karena hati ini telah kamu miliki selamanya. Aku ingin kamu tahu perasaanku, bahwa di saat kamu datang memintaku tuk menemanimu di sepanjang waktumu, setelah Ijab Kabul telah terucapkan, maka di saat itu juga aku bersumpah akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu seorang. Aku akan menunggumu.

Hampir tiap hari, tiap jam, tiap menit hingga tiap detik aku memikirkanmu. Tak bosan-bosannya kucek emailku berharap ada email darimu. Tapi, hingga detik ini tak satupun email darimu. Setiap kali handphone-ku menerima sms atau telepon, hatiku cemas tak karuan, kiranya kamu akan meminta alamat orang tuaku atau Murobbiyahku. Tapi sms-sms dan telepon itu masih bukan dari kamu. Kupikir suatu saat orang tuaku akan menjemputmu untukku, tapi harapan itu sangat kecil. Aku tahu, orang tuaku tidak akan pernah datang padamu, 'kamu haruslah pilihanku bukan pilihan mereka', begitu katanya.

Membayangkan wajahmu yang tanpa gambar, menuliskan namamu yang tak bernama, memikirkan dirimu yang keberadaannya entah dimana, membuatku mencari dan bertanya tentang perasaan ini, aku benar-benar tak mengerti. Aku mungkin telah jatuh cinta berkali-kali, atau mungkin belum pernah sama sekali, tapi bagiku, mencintai hanya ada sekali dalam hidupku. Di diriku, kamu akan mendapatkan cinta yang begitu dahsyat melebihi cinta lain yang pernah kamu rasakan, dan aku yakin, aku bisa mencintaimu melebihi cinta Ibumu.

Kadang aku mencari tanda keberadaanmu, meskipun sebenarnya aku tidak butuh tanda itu. Tapi aku sering berharap bisa melihat tulisan 'i'm your future husband' terpampang jelas di jidadmu. Namun, sudahlah.. Itu hanyalah ide konyol yang membodohi diriku. Tapi perlu kamu tahu, aku tidak akan pernah merasa bodoh untuk setiap kepingan rasaku padamu, aku tidak akan pernah merasa bodoh atas setiap detik yang kuhabiskan dalam penantian panjang untukmu, karena aku yakin kamu pun sedang berlari kencang menujuku. Aku menantimu.

Aku meraba hadirmu dalam keramaian hidupku. Mencoba menebak keberadaanmu. Apakah kamu adalah orang yang telah lama hadir mengisi hariku, tertawa bersama, berbagi cerita bahkan mungkin kita sudah pernah berbagi makanan. Atau mungkinkah kamu adalah salah satu orang yang sedang menunggu pernyataan cintaku namun belum juga kutemukan getar itu. Atau, mungkin saja kamu adalah orang yang sama sekali belum pernah hadir di hadapku, tak ada tatap muka apalagi percakapan untuk sekedar saling tahu nama. Atau, jangan-jangan kamu adalah orang yang paling kuhindari selama ini. Wallaahu'alam.

Ada beberapa hal yang ingin kukatakan padamu, dan kamu perlu tahu itu. Aku bukanlah seorang putri yang sedang menunggu kedatangan pangeran berkuda menjemputku. Aku tidak akan memintamu datang dengan sebongkah emas dan seonggok berlian untuk meyakinkanku bahwa kamu bisa membahagiakanku. Aku tidak pernah mengharapkan kamu datang dengan cincin emas putih yang dihiasi permata untuk kamu sematkan di jari manisku. Aku hanya ingin kamu datang dengan membawa jiwa ragamu, sepenuh hati dan cinta untuk mengetuk pintu hati Ayahku, memintaku tuk menjadi pasangan hidupmu. Aku tidak membutuhkan cincin indah itu, yang kubutuhkan adalah keteguhan janjimu untuk mengikat hatiku dengan cintamu. Bukankah itu lebih indah, lebih kokoh ikatannya dan lebih sederhana di hati? Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, sepenuh hati yang telah dipinjamkan Allah untukku.

Aku tidak pernah takut hidup dalam kesusahan bersamamu, yang aku takutkan adalah ketika kamu berhenti mencintaiku. Jadi kumohon padamu, wahai 'my future husband', berjuanglah semampumu karena aku di sini juga sedang berjuang membangun kehidupan untuk kita kelak. Perlahan, kita akan sama-sama menyadari siapa orang yang pantas untuk kita cintai. Dan sekarang, kita berjalan di atas jalur cinta, di ujung jalan kita pasti akan bertemu. Insya Allah...

19 Jan 2012

TENTANG SEBUAH CINCIN DAN KETEGUHAN JANJI

Tiap orang merasa bahwa kisah cintanya unik, berbeda dengan yang lain. Tiap orang menyangka bahwa kisah cinta mereka lebih indah daripada kisah cinta yang lain. Tiap orang mengatakan bahwa kisah cinta mereka lebih menarik dibandingkan dengan kisah cinta yang lain. Padahal, tiap kisah cinta itu hanya pengulangan dari apa yang dulu telah ada. Seunik, seindah, atau semanis apapun itu. Kalau kamu menyangka bahwa apa yang terjadi pada kita berbeda, aku berani pastikan bahwa dulu (atau di masa yang akan datang) ada ratusan kisah cinta seperti ini. Apa yang menarik dari kisah cinta kita? Mungkin hanya kita yang mengatakannya menarik, orang lain tidak. Karena kita yang merasakannya, yang lain tidak.
Setiap bangsa punya versi Romeo dan Juliet-nya sendiri. Ada Cinderella di setiap kebudayaan manusia. Banyak novel, puisi, lagu yang menceritakan tentang cinta karena tiap orang punya impiannya sendiri tentang cinta itu. Cinta punya tempat tersendiri yang lebih besar dengan kisah tentang kepahlawanan, pengorbanan, dan keberanian. Karena cintalah yang menyalakan apinya.
Tiap lambaian dedaunan di halaman rumah kita, adalah lambaian tentang cinta. Tiap desir angin yang datang di sore hari, adalah desiran tentang cinta. Tiap tetesan air hujan yang jatuh di tanah, adalah tetesan tentang cinta. Tiap hela nafasmu adalah helaan tentang cinta. Kepada Allah-lah semua cinta itu berasal dan kembali. Aku mencintaimu dengan hati yang dipinjamkan Allah padaku.
Tapi aku, seperti yang lain, ingin mengatakan kalau kisah cinta kita menarik. Walaupun cinta yang aku punya mungkin tidak bisa merasuki tiap lapisan marmer hingga berdirilah Taj Mahal. Tapi aku juga tahu, cinta yang aku punya bisa merasuki tiap lapisan hatimu hingga berdirilah sebuah kesetiaan.
Kalau aku bisa memilih, tentu aku tidak akan menikah dengan cara seperti ini. Aku menginginkan sebuah pernikahan yang diimpikan banyak orang; megah, mewah, romantis. Aku ingin menikah di tempat paling indah yang ada di muka bumi. Aku ingin memakai gaun pengantin yang disulam dengan benang emas dan dihias berlian. Aku ingin mengundang seluruh orang yang ada di dunia ini agar mereka semua tahu kalau aku berbahagia. Aku ingin sebuah pesta pernikahan paling indah yang bisa terpikir.
Tidak seperti pernikahan kita. Semua terjadi cepat dan sederhana. Kita tidak perlu memesan gedung karena kita menikah di rumah saja. Kita tidak perlu menjahit baju dan menghabiskan banyak uang untuk itu karena baju yang ada cukuplah. Kita tidak perlu mengundang begitu banyak orang karena saudara dan beberapa orang teman akan datang. Bila banyak orang yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk merencanakan pernikahan mereka, maka kita, dengan bismillah, cukup dua minggu saja.
Bahkan aku tidak akan mendapatkan sebuah cincin kawin karena kamu tidak mampu membelikannya.
Aku selalu melihat ada sebuah cincin kawin di acara pernikahan. Pengantin lelakinya akan mengenakan cincin itu di jari manis sebelah kanan pengantin perempuannya. Tapi kamu tidak akan melakukan itu karena kita tidak punya cincinnya. Kamu mengganti cincin itu dengan sebuah keteguhan janji yang kamu sematkan di hatiku sampai habis waktumu, itu janjimu. Dan aku merasa itu lebih bulat, lebih kokoh, dan lebih indah daripada sebuah cincin emas putih dengan batu merah delima yang selama ini aku impikan. Sesederhana itu.
Kadang aku memegang jari manis tangan kananku dan berharap akan ada cincin di situ. Tapi rasanya tidak akan pernah ada. Ada banyak hal yang kemudian kita urus dan lebih penting daripada sebuah cincin. Ada banyak pekerjaan dan kesibukan. Tapi aku juga merasakan ada begitu banyak cinta yang bertebaran di sekitar kita.
Aku pun mulai melupakan kalau aku tidak punya cincin kawin.
Sebuah ciuman di pipiku yang kamu berikan ketika kamu bangun dan beranjak untuk shalat subuh memberikanku harapan bahwa hari ini akan jadi lebih baik. Teh manis yang biasa kamu siapkan di dekat tempat tidur membuatku yakin bahwa pagi ini akan jadi begitu manis, hangat, dan sempurna.
Ketika kamu membantuku mencuci pakaian atau menyapu rumah, aku tahu bahwa banyak hal yang lebih berat yang seharusnya bisa kita lewati tanpa harus jadi hancur setelahnya. Waktu yang kita habiskan bersama sebelum tidur dengan membaca buku atau berdiskusi menyadarkanku kalau kita sedang membangun sebuah tempat tepat untuk berteduh dan menghabiskan usia. Dan ketika kamu menciumku sebelum tidur, aku berdoa semoga malam ini bukan malam terakhir kita. Aku berdoa semoga besok akan ada pagi yang lebih indah dan lebih menyenangkan.
Memahami pernikahan bukan sebuah pesta sehari tapi sebuah kerja keras seumur hidup ternyata sulit. Banyak orang yang merayakan hari pernikahan tapi tidak merayakan pernikahan itu sendiri. Aku tidak ingin kita seperti itu.
Aku ingin merayakan pernikahan kita setiap waktunya. Aku ingin kita tidak hanya bahagia di bulan pertama, kedua, atau ketiga saja, tapi untuk waktu yang masih tersisa di sepanjang umur kita. Aku ingin kita bekerja keras untuk membuat pernikahan ini berjalan sebagaimana yang kita rencanakan, bukan hanya memasrahkannya pada nasib saja. Walaupun Allah yang akan memutuskan apakah rencana kita akan berjalan seperti yang kita inginkan, tapi aku ingin Allah melihat kalau kita berusaha sebaik yang kita bisa.
Ketika aku memilihmu, itu bukan tanpa pertimbangan. Kamu bukan hanya selembar biodata buatku. Kamu hidup, kamu bernyawa, kamu punya jiwa. Bukan kamu sendiri yang ketika itu mendatangiku, kamu tahu itu. Ada kamu dan ada yang lain. Karena pernikahan buatku bukan hanya masalah sebesar apa cinta ketika itu, bukan hanya masalah siapa yang datang untuk dinikahi, maka aku mempertimbangkan untuk memilihmu.
Bila aku mendahulukan cinta, maka aku tidak akan menikahimu. Bila aku hanya memikirkan tentang apa yang terjadi satu atau dua tahun ke depan setelah pernikahan, maka aku tidak akan melirikmu sama sekali.
Tapi memahami sebuah pernikahan, buatku, tidak seperti itu. Pernikahan buatku adalah kerja keras. Dan aku akan menikah dengan orang yang akan menemaniku bekerja keras untuk membuat sebuah pernikahan menjadi lebih dari sebuah akad dan hidup bersama setelahnya, tapi juga sebuah kehidupan. Aku ingin membangun sebuah kehidupan denganmu.
Dan ketika aku memilihmu, aku tahu kita akan memulainya dengan benar-benar tanpa apa-apa. Bila ada orang yang memulai sebuah pernikahan dari 0, maka kita mungkin memulainya dari -1. Kita berusaha dengan keras menyatukan hati, hidup, dan juga pemikiran. Kita akan bekerja keras tepat setelah akad itu selesai diucapkan. Aku tahu itu, aku menerima itu, dan aku menjalani itu.
1. Demi langit dan yang datang pada malam hari
2. tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
3. (yaitu) bintang yang cahayanya menembus
4. tidak ada suatu jiwapun kecuali ada penjaganya
Ketika di malam pertama kita kamu membisikkan Ath-Thaariq di telingaku dengan lembut, aku tahu bahwa aku sedang menggenggam jemari seseorang yang tepat. Yang telah dipilihkan Allah untukku, yang kusambut kehadirannya dengan hamdallah; bintang cemerlang yang cahayanya mampu menembus hatiku.
Bahkan aku tidak punya cincin kawin karena mungkin aku tidak perlu memilikinya.
Aku punya keteguhan janji yang akan kamu sematkan di hatiku sampai habis waktumu sebagai gantinya. Dan aku merasa itu lebih bulat, lebih kokoh, dan lebih indah dari cincin manapun yang bisa kamu dapatkan dan berikan padaku.
Dan hingga kini, belum satu janji pun yang kamu ingkari. Semua makin terasa kokoh. Aku pun mulai melupakan cincin kawin itu. Kalau aku melihat jari manis tangan kananku, aku melihat sebuah lingkar indah yang menakjubkan di sana; keteguhan janjimu.

The End...

Sumber: Unknown

18 Jan 2012

Syukur Alhamdulillah

Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran terpahat di bibir senyuman
-Kahlil Gibran-

Sungguh indah bait syair tersebut, penuh makna menyemai setiap jiwa yang dilanda lelah penat untuk sebuah urusan hidup. Meletihkan memang, tapi ada baiknya kita belajar pada burung. Kala fajar menyapa, ia pun bersegera menjemput rezekinya. Kadang ia kembali dengan perut kenyang dan kadang juga ia mendapatkan tidak lebih seperti biasanya, namun ia tidak pernah mengeluh apalagi menyerah.
Apa yang kita inginkan dalam hidup bila suatu saat menjadi nyata, maka sejatinya itu belum tentu bisa menjadi jaminan untuk merasakan kebahagiaan. Semuanya berpangkal pada rasa syukur. Karena kebahagiaan hanya bisa muncul dari sikap syukur atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada kita. Namun, untuk mendapatkan rasa syukur itu sendiri, dibutuhkan kejujuran dan kesederhanaan, agar kita bisa lebih bijak dan seimbang dalam menjalani hidup sehingga tidak berlebihan dalam menyikapi berbagai hal. Besar kecil, sedikit banyak yang kita dapatkan, maka itu akan tetap terasa indah.
Kita tidak memiliki apapun dan tidak dimiliki oleh siapapun, kecuali kesemuanya adalah milik Allah semata. Semoga kita bisa membebaskan diri dari ambisi dan jeratan hawa nafsu yang menggelisahkan karena selalu ingin lebih dan lebih lagi sehingga tidak pernah merasa puas dan cukup dengan apa yang dimiliki. Karena, seberapapun yang kita dapatkan hari ini maka itu tidak akan pernah kita nikmati jika hati tidak mengenal rasa syukur. Maka mari bersyukur, Alhamdulillah...

12 Jan 2012

Karena Kita Bukan Siang & Malam

Siang datang bukan tuk mengejar malam dan malam tiba bukan tuk menunggu siang. Selamanya tak akan pernah dipertemukan dalam satu waktu. Sudah takdirnya untuk hadir silih berganti, tak berjodoh...

Kamu lahir bukan tuk mengejarku dan aku tercipta bukan tuk menunggumu. Tapi bukan berarti tak bisa dipertemukan dalam satu waktu. Boleh saja dalam banyak hari yang terlewati tak sekalipun ditempatkan pada tempat dan waktu yang sama, tapi tidak tertutup kemungkinan sebelumnya telah tercipta kepadatan interaksi, hanya saja hati belum menyadarinya. Jodoh! Bukankah jodoh tak akan pernah tertukar???

Karena aku bukanlah malam dan kamu bukanlah siang, maka pertemuan itu adalah sebuah keniscayaan. Biarlah takdir yang membawa hati ini berlabuh di hatimu. Agar tiada pengkhianatan cinta pada Sang Maha Cinta. Kamu tahu, aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana, sesederhana harap dalam doaku.

Untukmu Imam-ku, siapapun, dimanapun dan kapanpun...

10 Jan 2012

IMAM-KU

Aku menyukai ayahku. Di mataku, dia begitu sempurna. Bagiku, kekurangannya hanya satu. Dia begitu keras kepala. Akan tetapi, bukan berarti sulit tuk meluluhkan hatinya. Aku adalah anaknya, jadi bagiku mudah saja tuk melunakkan sifat keras kepalanya. Aku hanya butuh sedikit merayunya, jika rayuan belum mempan maka aku akan merengek. Dan tercapailah apa yang kuinginkan pada ayahku. Aku tahu, ayahku tidak akan pernah tega melihat mataku dialiri buliran tangis karenanya.

Tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa aku adalah tukang gombal sejati, bukan hanya teman laki-lakiku saja yang mengatakan demikian, tapi juga dengan teman perempuanku. Tapi kata ayahku, aku juga keras kepala, buktinya dia harus selalu mengalah dan melelehkan batu hatinya ketika berhadapan dengan keinginanku.

Aku tidak perlu jauh-jauh mencari sosok pria idaman di hatiku, ayahku telah mewakili kesempurnaan seorang suami dan ayah di hidupku. Apalagi yang kurang jika di setiap tutur katanya adalah bahasa yang santun, bernada rendah, tidak keras dan tidak ada umpatan ataupun kata-kata kotor. Tak sekalipun kulihat dia mengangkat tangan apalagi hendak menendang ibuku, seberapapun kesalahan ibuku. Ayahku tidak pernah berjudi, tidak minum minuman keras dan juga tidak merokok. Dia selalu mencurahkan seluruh cintanya buat ibuku dan kami anak-anaknya. Dia adalah teman diskusiku di rumah. Pengetahuan keagamaannya lebih dari diriku yang meskipun aku lebih banyak membaca buku daripada dia. Ah, hanya dia laki-laki yang mampu membuatku jatuh cinta selama ini.

Aku tidak bisa membayangkan, jika kelak suamiku jauh dari yang kurasakan dari cinta yang telah diberikan ayahku. Rasanya aku tidak siap. Menghadapi sikap keras kepala ayahku saja terkadang suka bikin puyeng, apalagi klo perokok, suka marah, main tangan dan sampai main hati. Na’udzubillah min zaalik yaa Allah. Hal yang paling aku takutkan adalah suara keras laki-laki ketika marah, mendengarnya apalagi melihatnya bisa membuat tubuhku bergetar dan kaku. Mendapatkan suami pemarah rasanya sama saja dengan membuat diriku terbunuh pelan-pelan.

Aku harap tak ada lagi yang men-judge diriku pemilih. Aku bukanlah siapa-siapa, tak ada yang bisa dibanggakan jika dilihat dari fisik dan materi, apalagi keimanan. Aku hanya takut, takut mentalku tidak sanggup menanggung kemungkinan-kemungkinan yang akan kudapatkan dalam sikap dan sifat suamiku kelak. Aku belum pernah jatuh cinta dan tidak mau jatuh cinta jika bukan pada suamiku. Karena aku tahu, jika aku jatuh cinta maka aku akan sangat mencintainya lebih dari cintanya padaku. Dan jika ternyata suamiku bukanlah laki-laki baik-baik, itu berarti aku akan sangat mencintai orang yang salah. Mencintai orang yang salah akan tetapi dia adalah suamiku, maka bagiku tidak ada alasan untuk berhenti mencintainya. Karena, cinta ini hanya ada 1 kali dalam hidup dunia akhiratku.

Aku tidak pernah takut dengan sedikitnya materi yang akan diberikan suamiku kelak, aku juga tidak peduli dengan tampilan fisiknya, yang aku takutkan adalah bahwa ternyata aku mencintai orang yang salah. Dan jika saja Allah mengabulkan doaku, maka lebih baik aku tidak pernah jatuh cinta selamanya jika harus mencintai orang yang salah. Karena laki-laki yang kucintai itu adalah imam-ku dan aku tidak mau menjadi makmum dari laki-laki yang tidak memelihara Allah di dalam hatinya.

9 Jan 2012

Ya SUDAHLAH

Ketika mimpimu yang begitu indah


Tak pernah terwujud ya BERJUANGLAH!!!

Saat kau berlari mengejar anganmu

Dan tak pernah sampai ya BERUSAHALAH!!!



Sedikit mengubah lirik lagu dari Bondan Prakoso. Tidak bermaksud sebagai plagiat, apalagi mengubah hak cipta orang lain, akan tetapi ini sebagai bentuk apresiasi saya terhadap karya Mas Bondan Prakoso. Jujur saja, saya sangat suka lagu tersebut, tapi tidak dengan kata YA SUDAHLAH.

Ya Sudahlah, sebuah kata yang lebih terkesan MENYERAH. Lalu, mengapa harus MENYERAH jika mimpi itu menawarkan keindahan? Mengapa memilih MENYERAH jika angan itu sejatinya adalah cita-cita? Apa yang tidak memampukan kita sehingga nemutuskan untuk MENYERAH?

Hidup ini sederhana, yang dibutuhkan hanya keyakinan bahwa apapun yang kita perjuangkan dan usahakan dalam hidup ini tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Lalu, apa yang tidak memampukan kita? Bukankah nafas masih dikandung badan?

Tidak ada yang sulit jika kita tahu apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Fokus pada tujuan, itulah intinya. Jangan sampai kita bergerak berlari kencang menjauh dari tujuan hidup kita. Tak ada kata MENYERAH. Jika harus mundur, bukan karena ingin MENYERAH, tapi semata-mata hanya untuk menyusun kekuatan baru, memperhatikan jejak langkah yang pernah tercipta, untuk kemudian bisa melakukan akselerasi peraihan mimpi.

Sederhana doaku yaa Allah, kabulkanlah...