Entah mengapa, setiap kali mendengar kata PEJABAT, saya langsung sensitif. Yang terlintas kemudian adalah KORUPTOR. Namun, ada satu kata lagi yang tidak bisa terpisahkan dari dua kata tersebut dalam otakku; PENGEMIS. Akhir-akhir ini sering muncul di dalam fikiranku bahwa Pengemis lebih mulia kedudukannya daripada mereka; “Pejabat”.
Saya selalu jijik setiap kali melewati tumpukan sampah yang ada di sekitaran jalan raya, tapi saya lebih jijik lagi dengan kata “Pejabat”. Geram rasanya, pikiran seperti tercampur aduk. Pengen marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Pengen teriak, tapi takut dikirain orang gila. Maka jadilah ia penyakit hati, dongkol, menumbuh jadi jerawat, seandainya hati itu bisa nampak seperti kulit wajah, mungkin jerawat yang menumbuhinya sudah tak berjarak lagi. Penuh, disesaki oleh beban hati yang tak terluapkan.
Ah, lupakanlah jerawat itu, biarkan ia membatu di dalam hati. Toh, suatu saat batu itu akan hancur luluh karena tetesan hujan air mata dari langit hati. Yang masalah itu adalah batu yang ada di hati para “Pejabat” kita. Entah apa yang ada di dalam fikirannya ketika menyaksikan kemiskinan yang semakin menjamur dimana-mana. “Siapa suruh malas, siapa suruh bodoh”, mungkin seperti itu saja yang ada di dalam hatinya.
Pengemis memang lebih mulia daripada mereka. Seorang pengemis, yang jika mendapatkan rezeki, mereka tidak akan tanggung-tanggung dalam mendoakan sang dermawan. Doa kebaikan dan kemurahan rezeki akan selalu dilangitkannya bagi jiwa-jiwa yang tersentuh dengan ketidakberdayaan mereka. Sementara “Pejabat”, bersyukur sama Allah saja belum tentu, apalagi mau mendoakan ratusan juta rakyat Indonesia yang telah meng-gajinya. Ironi memang, tetapi begitulah kenyataannya..
Entah sampai kapan Negeri ini akan berada dalam genggaman manusia-manusia tamak. Manusia-manusia yang moralnya lebih rendah dari binatang. Yah, mereka memang lebih rendah dari binatang. Seekor kucing saja, yang ketika ditawarkan makanan seenak apapun dan sebanyak apapun akan menolak jika merasa sudah kekenyangan. Tetapi, manusia rakus, tamak akan materi, dia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Jika sudah berlebih untuk diri dan keluarganya maka dia tidak akan berhenti di situ saja, karena masih ada turunan ke-8 yang menunggu pembagian jatah. Na’udzubillah min zaalik.
Semoga kalian yang terhormat, yang duduk di atas kursi empuk, disejukkan dengan AC tanpa perlu berpanas-panas ria bisa segera dibukakan pintu hatinya oleh Allah agar kalian bisa melihat apa sesungguhnya yang terjadi di luar gedung mewah itu. Kami tidak meminta anda memilih hidup dalam kemiskinan seperti yang dipilih oleh Rasulullah SAW karena kami tahu anda tidak akan sanggup. Kami tahu, beban yang dibebankan di atas pundak kalian itu tidak ringan. Tapi, tolonglah! Jangan sakiti kami dengan merampas hak-hak kami. Karena kami pun berhak mendapatkan penghidupan yang layak dari belaian Ibu pertiwi, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar