22 Des 2011

SAYA TAKUT HUTANG

Memang susah untuk mengatakan kata 'tidak', apalagi jika orang tersebut adalah sahabat, teman dekat, keluarga atau orang-orang yang kita segani. Meskipun merasa berat, merasa terbebani tapi tetap saja kita meng-iyakan permintaan mereka, perasaan tidak enakan akan selalu menjadi pemenang dari sekian rasa yang muncul. Meskipun ada kesadaran bahwa apapun yang kita lakukan bila tidak dilandasi dengan keikhlasan niat maka tidak akan ada nilainya di sisi Allah, tapi tetap saja ada setitik rasa gondok di dalam hati. Manusiawi memang, hanya saja jadinya rugi dua kali, udah capek-capek tapi tidak dapat pengakuan dari Allah..

Tapi kali ini rasanya berbeda, baru kali ini dalam hidupku ada yang memintaku melakukan sesuatu hal yang sangat kuhindari bahkan cukup kutakuti. Saya dimintai tolong oleh seorang teman untuk mengambil kredit di Bank demi membantunya mewujudkan mimpi besar Ibunya.

Oh, ini bukan hal kecil. Jika sejuta atau 2 juta rupiah saja, mungkin saya akan mengusahakan memberikan cash, tapi ini urusan uang yang nilainya besar. Kredit, kredit = UTANG. Bagiku, utang adalah hal yang paling kutakuti setelah Allah, lebih baik menghindari utang daripada menghindari ketemu hantu. Bebannya sangat besar, rasanya saya tidak sanggup. Saya tidak ingin menghabiskan sisa hidupku yang tidak tahu berapa lama lagi hanya untuk menyelesaikan urusan kredit Bank. Saya hanya ingin tidur tenang tanpa harus memikirkan besok bagaimana caranya dapat duit sebanyak-banyaknya tuk bayar utang.

Yah, kita tidak akan mungkin bisa terhindar dari urusan utang-piutang. Tapi ada namanya menghindari semampu mungkin, dan selama ini saya selalu berusaha menghindarinya.

Maaf banget sobat, bukannya saya tidak ingin membantu, tapi untuk hal satu ini saya harus berani mengatakan 'tidak'. Besar rasa hatiku untuk membantumu melebarkan senyum Ibumu dengan memberikan beliau tempat bernaung yang aman dan nyaman di sisa akhir waktunya. Saya cukup memahami keinginanmu itu, jika saya berada di posisimu, hal yang sama juga akan saya lakukan bahkan mungkin lebih dari yang kamu lakukan itu. Apa lagi sih yang kita inginkan dalam hidup jika bukan tuk melihat orang yang kita sayangi hidup dalam limpahan kebahagiaan?

Saya hanya bisa berharap dan berdoa, semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik buat kamu, sobat. Jika doa telah dilangitkan dan usaha sudah dibumikan, maka bertawakkallah, insya Allah pasti ada jalan. “Sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan”.

21 Des 2011

SURAT CINTA UNTUK IBU

 “Aku mencintaimu Ibu, karena Allah”. Dari dulu kata-kata ini ingin kusampaikan langsung padamu, Ibu. Dengan lisanku, dengan hatiku, dan dengan deraian tangisku dalam hangatnya pelukanmu. Maafkan aku jika hingga detik ini, kata-kata itu masih terkunci rapat di bibirku. Kau tahu, ibu... Sesak dadaku menyimpannya, pekak kerongkonganku menahannya, namun apalah dayaku, bagaimanapun aku adalah tetap seorang anak bagimu, anak yang dipenuhi ke-egoisan di dalam rongga dada.
Aku akui ke-egoisanku itu, Ibu. Aku pun tak mengerti, mengapa begitu sulit mengungkapkan perasaanku padamu. Aku selalu bersedih, sedih yang bertambah-tambah jika terkadang kau meragukan rasaku padamu. Kau tahu, Ibu... Puncak kesedihanku adalah ketika menyaksikan kesedihanmu karenaku.
Ibu, kau adalah pahlawanku. Diam-diam aku mengagumimu, sangat mengagumimu melebihi kekagumanku pada bunda Khadija, Aisyah, Fatimah atau seorang Hawa yang menjadi awal dari kehidupan kita. Aku tak tahu, apakah kau menyadari kekagumanku itu, dan bagiku itu tidaklah penting untuk kau ketahui, tapi yang terpenting bagiku adalah mengetahui bahwa kau tidak pernah dan tidak akan pernah menyesal memilikiku sebagai anakmu.
Dulu, kau yang mengajariku mengenal huruf A – Z, mengajariku menulis angka 1 – 10, mengenalkanku pada Al-Qur’an, dan...Oh, ibu...aku tak mampu lagi mengurainya, bukankah aku memulai segalanya sejak bertumbuh dalam rahimmu. Tak akan habis kata untuk mengeja kebaikanmu ibu, tak akan cukup kertas tuk melukiskan indahmu, tak akan kering tinta tuk menuliskan arti hidupmu untukku, Ibu.
Maafkan kebodohanku sebelumnya yang tidak bisa memaknai setiap tutur kata yang terucap dari bibir muliamu, maafkan kelemahanku yang tidak mampu merasakan kelembutan setiap belaian dari tangan sucimu. Maaf telah pernah menantang matamu dengan kemarahanku, maaf telah membentakmu dalam keangkuhanku, maaf telah menjejakkan luka di hatimu karena khilafku. Semua itu kulakukan karena aku belum bisa sepenuhnya mengartikan kasih sayangmu, Ibu.
Cintaku padamu begitu tinggi, Ibu. Hanya Allah yang mengalahkanmu di hatiku. Kau tahu ibu, dalam hidupku, hingga detik ini, aku tak pernah membagi hatiku pada manusia manapun di dunia ini meskipun terkadang besar hasratku tuk membaginya. Akan tetapi, sungguh, aku tak akan pernah rela jika ada satu makhlukpun selain dirimu yang menjadi penyemangatku untuk apa yang kuraih hingga saat ini. Yah, aku sadar, bahwa suatu saat nanti aku akan memiliki hidup lain yang di dalamnya akan kuisi dengan belahan jiwaku dan darah dagingku sendiri. Tapi bagiku, tempatmu tak akan pernah tergantikan dan cintaku tak akan berkurang sedikitpun padamu.
Ibu, jika kelak ternyata aku yang lebih dulu menghadap pada Sang Penggenggam Hidup dan tetap saja lidahku masih kelu mengungkapkan rasaku padamu, ketahuilah, jika kata syukur lebih mulia derajatnya dari kata cinta, maka kukatakan padamu Ibu, demi Allah yang nyawaku ada dalam genggaman-Nya, aku bersyukur memilikimu sebagai Ibuku.

Batam, 111221

THE BEST IS YET TO COME

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca sebuah artikel lepas tentang wanita karir dan pernikahan. Di sana, penulis membahas secara singkat mengenai alasan mengapa para wanita karir yang masih berstatus single kebanyakan menunda pernikahannya, pun bagi ibu rumah tangga yang juga seorang wanita karir yang terkesan lebih mendahulukan karirnya daripada keluarganya. Saya membacanya pelan, biar lebih bisa dicerna dan difahami, yah, lumayan tuk dijadikan nasehat buat diri sendiri, fikirku.

Dari situ, saya kemudian banyak berfikir, sedikit merenung dan mengajukan beberapa pertanyaan ke diri sendiri. Apa benar saya telah menunda pernikahan karena sibuk mengejar karir? Apa benar saya telah menomor bontotkan urusan pernikahan karena lebih fokus pada karir? Atau, adakah alasan lain mengapa sampai saat ini saya belum menikah?

Ketakutan akan kehilangan karir yang saya bangun dengan berdarah-darah harus berakhir begitu saja karena pernikahan pastinya memang ada, resiko. Bagitu banyak mimpi yang akan terenggut, mungkin tak akan terhitung jumlahnya. Harapan-harapan orang tua juga akan hilang tak membekas seiring keihklasannya melihat anak perempuannya hidup bahagia. Kadang saya berfikir, dengan nominal yang saya dapatkan sebulannya sekarang ini, mungkin suami saya kelak tidak akan mampu memberikannya padaku diawal-awal pernikahan. Tapi bukankah pernikahan bukan masalah sense of price? Tapi lebih pada sense of value, respect and peacefull. Subtansinya bukanlah pada pencapaian materi, tapi yang paling utama adalah adanya kesamaan visi misi dalam membangun sebuah ikatan keterikatan yang saling mengikat, saling menumbuhkan dan saling membaikkan untuk kemudian memuliakan satu sama lain.

Saya rasa, kita tidak boleh serta merta menganggap perempuan yang telah cukup umur atau malah telah lanjut usia namun belum menikah itu menunda pernikahannya. Karena di sini, ada kerja-kerja takdir terkait di dalamnya, ada ruang dimana kita diberikan kesempatan oleh Allah untuk bermain teka-teki. Yah, takdir itu bisa kita ciptakan sendiri, tapi ianya itu akan terjadi bila takdir tersebut bersesuaian dengan takdir yang telah ditetapkan Allah.

Kemudian, pernah ada yang mengatakan bahwa jodoh itu adalah sebuah keputusan. Memutuskan apakah ingin berjodoh atau tidak dengan seseorang yang meminangnya. Akan tetapi, kembali kerja takdir berpengaruh di sini. Bagaimana hati dan akal mampu menuntun jiwa untuk mengambil sebuah keputusan.

Kesempatan dan pilihan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebenarnya Allah telah memberikan kita kesempatan untuk memilih, tapi mungkin juga ada yang sama sekali belum mempunyai kesempatan. Kesempatan itu bisa datangnya berkali-kali, akan tetapi terkadang kesempatan itu juga datangnya hanya sekali. Namun, dalam kerangka berfikir dan pembiasaan hati berada pada tatanan persangkaan yang baik pada ketetapan Allah, maka sebenarnya tak ada kesempatan yang datangnya hanya sekali. Kesempatan itu selalu ada, tinggal kita memutuskan untuk memilih atau memutuskan untuk tidak memilih.

Katanya, cinta adalah argumentasi yang sahih untuk menolak atau menerima seseorang untuk menjadi pendamping hidup kita. Berarti, biarkanlah cinta yang melakukan pekerjaannya, hingga takdir mempertemukannya dalam keridhoan Tuhannya. Jadi, bukan berarti menunda apalagi bermaksud tuk menunda, tapi lebih pada proses pencarian pribadi terbaik untuk mendampingi pribadi kita. Karena belum tentu pribadi sebaik Aa Gym itu baik buat kita. Dan dalam konteks prasangka baik pada Allah, seharusnya dimaknai sebagai bonus, bonus waktu yang diberikan oleh kepada kita untuk semakin membaikkan diri dan memaksimalkan potensi diri.

Saya bukannya melakukan pembenaran untuk setiap sikap memilih untuk tidak memilih sebelumnya. Akan tetapi, saya selalu yakin bahwa Allah pasti akan menuntun setiap hati & jiwa pada jiwa yang telah dijanjikan-Nya sejak ruh itu ditiupkan. Jadi, apabila hati belum klop 100% pada satu jiwa, anggap saja bahwa yang terbaik belum datang. Sederhana saja bukan? *Smile..

 

15 Des 2011

DALAM DIAM AKU MENUNGGUMU

Cerpen :

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur, tengkurap. Kubenamkan wajahku sedalam mungkin, menjeda napas panjang dengan kedua tangan menindih di atas kepala, menggaruk-garuknya meskipun tidak gatal. Aku membalikkan badan, menengadah melempar pandangan ke langit lepas lewat jendela kamar yang sedari tadi pagi kubuka demi menyambut hari. Bintang gemintang begitu cerah menemani bulan, seakan tak peduli dengan keanggunan bulan yang siap mengambil habis perhatian dari para pencari cahaya. Sudah terlalu larut tuk memanjakan mata dengan pemandangan ini.

Kucoba memejamkan mata, kutarik sebuah bantal menutupi wajahku, tapi semakin aku berusaha melawan rasa kantukku, semakin mata ini tak mau terpejam. Seperti binatang peliharaan yang tak mau tunduk dan mulai berontak pada majikannya. Bukan, bukan mataku yg memberontak. Pemberontak itu adanya di dada. Di sana ada seonggok daging yang sedang menyimpan kegelisahan. Kegelisahan yang sulit tuk diartikan oleh akal.

Rinai hujan bernyanyi pelan di atas genteng, desah angin membelai mesra dalam keagungan subuh-Nya. Semilir suara Adzan lirih pelan, samar-samar terdengar dari kejauhan. Berat mataku melebihi berat dua buah kakiku melangkah menuju kamar mandi. Kuambil air wudhu, kuresapi setiap tetesannya. Biar sejuknya sampai menusuk kalbu. Dalam sholat aku mengadu pada Sang Maha Pendengar. Mengadukan rasa hatiku yang tak bisa kukendalikan lagi. Sebuah rasa muncul begitu saja, bersemi bermekaran bak sekuntum bunga yang menyeruput embun di kala pagi. Ingin kuhentikan penumbuhan itu, ingin segera kukembalikan pada pemiliknya. Selama ini, dalam prinsip hidup yang kubangun, rasa itu belum saatnya tuk kumiliki dan kemudian sepenuhnya kuberikan pada satu jiwa, belahan jiwaku.

***

"Rani, telah lama kupendam rasa ini padamu. Sejak dulu, sejak kamu masih di kampus. Senyummu selalu menyejukkan, seperti oase di tengah gurun pasir. Namun, bukanlah karena senyuman itu. Ini adalah tentang sebuah keyakinan akan kedalaman rasa di palung jiwaku. Sebuah rasa yang dititipkan Allah pada sepotong hatiku. Ia kini masih terbingkai rapih di satu sudut hatiku, untuk sepenuhnya menjadi milikmu kelak. Akan tetapi, kini kamu begitu jauh. Rasanya sulit bagiku tuk meraihmu. Engkau begitu tinggi, seperti aku yang hanya bisa mendongakkan kepala pada sebuah puncak gunung tertinggi. Kamu tahu, kamu memang tinggi, karena kamu telah berada di puncak hatiku setelah Tuhanku. Lalu, katakanlah padaku. Apakah salah bagiku jika berharap penuh suatu saat nanti kamulah perempuanku? Aku harap tidak. Sebenarnya, tak ingin kuusik sepotong hati ini hingga datang waktu yang tepat, karena aku sadar, sayapku belum mampu membawaku datang padamu apalagi mengajakmu ikut terbang bersamaku mengarungi samudera langit kehidupan. Tapi, bolehkah kutitipkan satu rasa ini padamu untuk kamu jaga sementara waktu? Kupastikan, suatu saat nanti aku akan datang mengambilnya dengan ijin Allah. Maaf, siapalah aku yang begitu lancang ingin mengikat harimu dengan janji, siapalah aku yang dengan beraninya membuatmu menali waktu dalam penantian untukku? Tapi, gunungan hatiku meminta setitik kesabaran dalam samudera hatimu. Hari ini, kuserahkan hatiku padamu. Jika kamu bersedia, diam-mu adalah jawaban pasti bagiku
Salam, Radika Yudha Rahman."

Sudah seminggu email itu aku terima dari Dik, namun entah mengapa aku selalu kehabisan kata ketika ingin membalasnya, jariku terasa kelu. Maju mundur keinginanku, bolak balik keteguhan hatiku, perasaan tak pasti menguasai akal sehatku. Oh..kesadaranku membuncah pada satu tanya, bagaimana jika aku benar-benar mencintainya, sanggupkah aku bertahan dalam satu penantian yang tiada pernah kuketahui ujungnya?
***
Awan hitam menggantung di atas langit negara yang di juluki Abode of Peace, seakan masih malu-malu menyeruakkan kristal putih dari pelukannya. Setahun yang lalu aku memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari salah satu perusahaan Oil & Gas di Brunei Darussalam ini. Aku memilih tinggal di Kampong Ayer, letaknya tidak jauh dari tempat aku bekerja sekarang. Sebuah kota kecil yang sangat indah, dimana sungai Brunei mengalir di sini. Menurut cerita, pemukiman ini telah dihuni lebih dari 1300 tahun dan tidaklah berlebihan bila  Antonio Pigafetta  menamakan tempat in sebagai Venizia dari timur pada sekitar awal abad ke 16.
Menikmati secangkir Capucino hangat di teras Apartemenku di lantai 3. Di sini aku bisa memandang lepas sejauh mataku bisa memandang. Sebuah kursi malas dan meja berbentuk kotak melengkapinya. Jejeran buku-buku memenuhi hampir keseluruhan bagian bawah meja tersebut. Teras yang di design bak Aquarium, kaca putih mengelilinya dan dilengkapi dengan tirai di sekelilingnya. Jadi, aku bisa tetap merasa nyaman di sini tanpa harus khawatir dilihat orang jika diriku tidak mengenakan jilbab. Ini adalah tempat favoritku ketika menghabiskan waktu libur kerja di apartemen. Membaca buku, dan sesekali melayangkan pandangan ke sekitar.
Tiba-tiba saja aku teringat akan Dik. Sudah setahun lebih aku tak mendengar kabar darinya. Aku pun tak tahu, apakah dia tahu akan keberadaanku sekarang atau tidak. Dan lebih lagi, aku tak tahu apakah dia masih memegang janjinya atau mungkin dia sudah melupakannya.
Kadang, bejibun pertanyaan menghantam otakku, resah dan gelisah menggelayuti dadaku, keinginan tuk mengakhiri penantian ini pun semakin nyata di pelupuk mata. Ah, apa yang harus kuakhiri? Bukankah aku tidak pernah memulainya? Betapa bodohnya aku membiarkan hatiku mempercayai isi email tersebut. Mengapa aku baru sadar sekarang? Namun, setitik kesadaran selalu saja membangkitkan prasangka baikku pada Dik, entahlah, aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku begitu mempercayainya. Aku tak begitu mengenalnya, yang aku tahu kami pernah 4 tahun bersama menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Tak pernah terjadi tegur sapa yang cukup berarti. Hanya beberapa kali saja, seingatku dan tak satupun yang berkesan menurutku. Kami hanya berinteraksi untuk satu kegiatan kampus yang masing-masing kami terlibat di dalamnya. Aku tak pernah tahu tentang asal usul keluarganya, bagaimana ia menjalani harinya atau apapun tentangnya. Aku hanya tahu wajah dan namanya. Lalu, bagaimana mungkin aku begitu mempercayainya?
***
Libur akhir tahun telah tiba, setidaknya aku bisa mengambil satu bulan cuti untuk kembali ke Indonesia. Aku begitu merindukan kedua orang tuaku. Tapi, dibalik kerinduan itu, aku ingin menjalankan sebuah misi. Yah, aku sudah memantapkan hati untuk mencari tau keberadaan Dik. Setidaknya, setelah menjalankan misi ini, aku akan menemukan titik terang dari penantian panjangku selama ini. Aku sudah berusaha mempersiapkan diri untuk semua kenyataan yang akan kutemui nantinya. Aku harus siap, begitulah aku meyakinkan diriku.
Pesawat mendarat di Bandara Hasanudin Makassar. Jantungku berdetak kencang tak beraturan. Aku menyewa sebuah taxi menuju sebuah penginapan, setelah registrasinya selesai, aku hanya meninggalkan barang-barangku di sana dan kemudian menuju terminal Bus Makassar. Aku tak langsung ke rumah orang tuaku, yang ada difikiranku sekarang adalah menemui Dik. Bagaimanapun aku harus mendapatkan jawabannya secepat mungkin.
Aku mendapatkan alamat Dik dari Adam teman kampus kami dulu. Adam pun tak tahu kabar terakhir dari Dik, bukan hanya aku dan Adam yang kehilangan kontak dengannya, tapi semua teman-temannya pun demikian. Namun Adam hanya yakin, bahwa Dik pasti masih di kota asalnya. Dik tidak mungkin pergi jauh dari tanah kelahirannya. Berbekal alamat tersebut, aku pun menuju kota di mana Dik tinggal.
Irama detak jantungku semakin tak beraturan, ia berdenyut lebih cepat dari sebelumnya. Kakiku kaku tak bisa bergerak. Tubuhku bergetar, nanar mataku memandang Dik yang berdiri sekitar 5 meter di depanku. Dik menggendong seorang bayi mungil di teras rumahnya, di sisinya duduk seorang perempuan cantik yang bermain manja menggoda sang bayi di tangan Dik. Air mataku tumpah seiring mata Dik bersitatap dengan mataku.
Aku menghamburkan tubuhku, berlari. “Ra, Rani... Tunggu”. Wajah Dik panik melihatku, dia mencoba menahanku dan ikut berlari di belakangku. Aku terus mengayuh langkahku, sekencang mungkin, semampu yang kubisa. Perlahan, Dik semakin dekat menghampiri langkahku yang kian melemah. Dia berlari mendahuluiku dan berusaha menghentikanku. “Ra, dengerin dulu penjelasanku. Please, Ra!”. Aku berhenti, mematung di hadapannya dengan napas terengah. Aku tertunduk dalam tangisku. Tubuhnya yang jangkung berusaha menatap wajahku dengan sedikit menunduk. “Bisa kita bicara di rumah saja?”. Tanyanya kemudian dengan wajah yang masih lekat menatapku.


***
Aku terdiam mengikuti langkahnya, perasaanku berkecamuk. Rasa malu dan kecewa menggantung di wajahku. Penantianku selama ini, untuk apa? Aku membatin, jika saja hatiku tak menyimpan sedikit iman, ingin rasanya kucabik-cabik tubuh Dik dengan kedua tanganku. Ternyata, aku sakit dengan kenyataan ini.
“Duduklah”. Suara Dik, memecah lamunanku yang membuatku tersadar bahwa aku telah sampai di beranda rumah Dik. Aku mengikut saja kata Dik, aku duduk di atas kursi yang paling dekat denganku. Perempuan tadi dengan bayi di pangkuannya tersenyum ramah padaku. Aku getir memaksakan sebuah senyum untuknya. “Kak Mila, ini Rani, perempuan yang sering kuceritakan selama ini”. Wajahku terangkat memandang wajah Dik, kemudian mataku menuju perempuan yang dipanggil Kak Mila oleh Dik. “Ra, kenalkan, ini kak Mila, kakak kandungku, dan yang dipangkuannya itu adalah Azzam anak pertama kak Mila, ponakanku”. Dik berusaha menjelaskan sedetail mungkin tentang hubungannya dengan perempuan dan bayi itu. Seakan dia paham betul dengan isi kepalaku saat ini. Lagi-lagi aku hanya tertunduk, aku merasa malu dan tidak tahu harus berkata apa.
“Maafkan aku, Ra! Setelah mengetahui kepergianmu ke Brunei, hatiku hancur. Kupikir kamu pergi menghindariku. Sempat goyah perasaanku padamu”. Dik menghela napas panjang kemudian melanjutkannya lagi, “Namun, satu keyakinan muncul dalam hatiku untuk sikap diam-mu. Aku merasa cukup memahami karakter dan prisip hidupmu dari setiap tulisanmu di Blog. Kadang aku mencari makna dari tulisan-tulisan itu, apakah di sana ada sedikit kata untukku, tapi ternyata tidak ada.” Senyum Dik memekar seakan menertawai dirinya sendiri. “Kemudian aku berpikir, biarlah Allah yang menentukan skenario akhir dari perasaanku padamu. Bukannya aku pasrah begitu saja. Di sini, aku selalu menjaga hati untukmu, berusaha siang dan malam demi memantaskan diriku menjadi lelaki belahan jiwamu. Kamu tahu, Ra... Diam-diam aku menjalin kerjasama bisnis dengan ayahmu, demi mengetahui kabarmu dari negeri seberang.” Hening.
Aku termangu mendengarkan penjelasan Dik, kulihat ada aliran bening membasahi wajahnya yang tirus. Azzam menggeliat dari pangkuan kak Mila memecah keheningan yang sempat terjeda oleh sikap diam kami. “Klo begitu, aku pamit pulang.” Aku seperti kehabisan kata, kebingungan. Sekilat Dik dan kak Mila melayangkan pandangannya padaku. “Lo, mau pulang kemana dek? Ini sudah hampir maghrib”. Sela kak Mila menahanku yang sudah mulai bangkit berdiri. “Kamu nginap saja di rumah malam ini. Besok aku dan keluarga akan mengantar kamu pulang, sekalian melamar kamu”. Dengan entengnya Dik mengeluarkan kata-kata tersebut dari bibirnya, memandangku penuh makna, sementara aku, aku seperti orang yang baru bangun tidur, pangling, berjuang menahan luapan bahagia di hatiku.
Sesungging senyum dari wajah Dik membuatku salah tingkah. “Hei, sebentar lagi aku akan menjadi suamimu”. Sedikit berbisik suara Dik sambil berlalu dari hadapanku. “Dik, aku ingin sekarang”. Suaraku lantang hingga menahan langkah Dik dan kemudian dia membalikkan tubuhnya. “Bersabarlah, Adinda. Kamu tidak ingin menikah tanpa wali kan?”. Dik tersenyum dan pergi begitu saja. Perasaan bahagia terpancar dari gerak tubuhnya yang menghilang di balik pintu. Ah, ingin rasanya aku berlari dan memeluknya erat, sangat erat hingga hilang semua penat di dada selama penantian panjang ini. Tapi benar kata Dik, aku harus bersabar. Bukankah setelah dia menikahiku semua sentuhan adalah halal, semua pelukan adalah ibadah dan yang paling pasti aku bisa melihat senyumnya di setiap aku membuka mata di pagi hari dan memeluknya sepanjang usiaku.


***


The End

7 Des 2011

Anak Lampu Merah

Pernah suatu ketika, aku pengen banget ke Masjid Raya Batam merasakan atmosfer sholat jum’at di sana. Tanpa fikir panjang, segera setelah dari kantor aku langsung menuju ke sana. Sebenarnya sih, godaan perut sangat hebat kala itu karena memang sudah waktunya makan siang. Tapi, setelah kufikir-fikir, sekali-kali telat makan siang tak masalah, toh hanya sekali ini saja. Dan Alhamdulillah, pertarungan antara cacing di perutku melawan milyaran sel yang ada di otakku dimenangkan oleh sel-sel otakku tersebut.
Tiba di Masjid Raya, suasana keramaian sangat terasa. Ada ragu menghampiri hatiku untuk berbelok arah, tapi kuurungkan perasaan tersebut. Aku terus melaju memasuki lapangan parkir. Kudapati banyak jama’ah yang sudah memenuhi sekitaran Masjid dan semuanya laki-laki. Aku masih terus berusaha tidak peduli dengan suasana tersebut dan langsung menuju tempat wudhu wanita. Tapi, saat menyusuri jalan menuju tempat wudhu, aku mulai merasa tidak nyaman, tak satupun kudapati jama’ah perempuan, semuanya laki-laki yang jumlahnya sangat banyak. Entah karena waktu itu memang lagi ada demo kecil-kecilan di depan kantor Walikota Batam atau memang jumlah jama’ah di Masjid tersebut selalu sebanyak ini setiap jum’atnya, entahlah.
Aku merasa tidak tahan berada dalam kumpulan jama’ah tersebut, akhirnya kuputuskan segera meninggalkan Masjid yang sebenarnya aku baru berada di tempat wudhunya. Aku keluar dari lapangan parkir dan menuju Mega Mall. Pas di lampu merah, aku memanggil salah seorang anak yang sering mangkal jualan koran di simpang tersebut. Usia anak perempuan tersebut mungkin sekitar 6 - 7 tahun. Keberi dia sejumlah uang tetapi tidak mengambil korannya (maaf; diriku tidak begitu suka baca koran yang ada di Batam, beritanya aneh-aneh). Tapi diluar dugaanku, anak tersebut masih maksa aku untuk mengambil korannya. Entahlah, apa dia ingin aku membelinya lagi atau dia tidak mengerti bahwa dengan diriku tidak mengambil koran yang dia jual tersebut, dia akan mendapatkan keuntungan dari situ. Wallahu’alam.
Malam minggu kemaren, tepatnya di lapangan parkir Mega Mall, anak tersebut kembali mendatangiku. Kembali kuberi dia uang dan tidak mengambil korannya. Tapi kali ini dia tidak memaksa diriku tuk mengambil korannya. Kulihat temanku mengajak anak tersebut bicara, aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku malah sibuk dengan fikiranku, “sepertinya anak itu sudah mulai faham yah?”, fikirku.
Cerita ini mungkin biasa saja, toh hampir tiap saat kita melihatnya atau mengalaminya sendiri. Tapi bagiku, ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berarti dalam hidupku. Aku memaknainya sebagai pengingat, pengasah kepekaan hati dan fikiranku terhadap lingkungan yang ada di sekitar. Dunia ini sudah terlalu semrawut dengan segala hingar bingarnya, namun di banyak sudut kehidupan, tetap saja ada sebagian besar penduduk bumi yang masih memerlukan uluran tangan kita. Tidak hanya sekedar rupiah kita, tapi lebih dari itu. Pendidikanlah yang sangat diperlukan oleh Indonesiaku ini, pendidikan yang layak jauh lebih berharga daripada penghidupan yang layak. Bantuan terhadap pemahaman yang baik, melihat kehidupan dari sisi pandang mereka, mungkin akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih bijak. Sehingga, kita mampu menjadi pribadi yang senantiasa menebar kemanfaatan di bumi Allah ini. Yah, aku selalu berdoa kepada Allah yang Maha Kaya, untuk selalu memperkaya hatiku dengan kebaikan dan kebeningan fikiran, memperindah wajah-wajah yang ada di sekitarku dengan kemuliaan akhlak untukku menjadikan sebuah cerminan hidup, untuk kemuliaan hidup di sisi Tuhan-ku. Aamiin..

3 Des 2011

Mulia Putri..

Hilang tak berjejak, haruskah itu yang kukatakan pada setiap orang yang menanyakan dirimu, saudariku? Sudah berbulan-bulan kamu tak menghubungiku, tak pernah lagi terdengar kabar tentangmu. Tak satupun nomor HPmu yang aktif, akun Facebook-mu pun sudah tidak aktif lagi. Yang aku tahu kamu kin di Jakarta bersama suamimu, tapi, Jakarta itu luas saudariku. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa melihatmu lagi, atau sekedar say hello di telpon, atau bisa melihat senyummu di wall Facebook-mu.
Saudariku, bagaimana hidupmu di sana sekarang? Hidup dengan laki-laki yang baru kamu kenal dengan baik setelah menjadi suamimu. Bahagiakah kamu? Sungguh aku ingin mendengar ceritamu akan kegagahan suamimu menjagamu, menyayangimu dan memuliakanmu seperti namamu, Mulia Putri. Aku yakin, kamu pasti bahagia di sana, bersamanya. Mungkin sekarang kamu sedang mengandung anak pertamamu, ah...aku selalu penasaran ingin mengetahuinya, Put.
Aku tak ingin berfikiran macam-macam tentang kehidupanmu saat ini. Terlepas dari adanya sedikit kejanggalan dan kecurigaanku saat terakhir kamu bercerita padaku. Kamu hanya perlu beradaptasi, fikirku. Aku tetap menyimpan prasangka baik pada keluarga barumu, seperti prasangka baikku pada Allah.
Put, aku rindu padamu. Ada banyak lembaran ceritaku yang belum kamu baca, belum kamu dengar secara langsung dari bibirku. Aku kangen melihat senyummu. Kamu tahu, aku selalu senyum-senyum sendiri jika membayangkan kamu menatapku yang sedang curhat padamu. Kamu selalu ingin aku curhat padamu kan, tapi aku selalu menutup diri. Kali ini, aku hanya mau kamu yang mendengarkan curhatanku. Aku tahu, kamu akan menertawakanku, tapi aku tidak peduli jika orangnya adalah dirimu. Aku ingin kamu yang menertawakan semua kebodohanku, Put.
Put, kamu dimana sekarang? Tak bisakah kamu kirimkan aku penanda lewat doa Robithohmu? Agar aku bisa merasakan keberadaanmu, saudariku. Aku ingin, kelak kita masih punya waktu, menghabiskan malam di Pantai Losari. Aku suka membayangkan, di waktu itu kita akan duduk bersama lelaki kita masing-masing, ditemani suara lengkingan anak-anak kita.
Put, ingatlah selalu. Ada aku, saudarimu yang selalu menunggu ceritamu.

Salam kangend buatmu selalu saudariku..
Kiki

Batam

1 Des 2011

Kau Perempuan

Banyak perempuan yang lebih memilih menumpahkan isi hatinya atau curhat kepada laki-laki dengan alasan merasa lebih nyaman. Namun, dia tidak berhenti di situ saja. Dia kembali membangun opini bahwa perempuan itu adalah salah satu makhluk yang tidak asyik, mungkin dia lupa klo dirinya berasal dari jenis yang sama.

Apa dia tidak sadar bahwa di saat yang sama dia telah merendahkan dirinya sendiri, membuka aibnya di hadapan laki-laki yang tidak tepat. Sungguh sebuah proses pembunuhan karakter diri yang sangat memalukan. Setan-setan tertawa histeris dibalik tatapan mata iba para lelaki yang dirasuki nafsu hewani. Kemudian sang Iblis memberikan petuah pada hati sang lelaki, katakanlah, “ceritakanlah semua kesedihanmu, tumpahkanlah perasaanmu, menangislah. Bersandarlah di bahuku, aku selalu punya tangan lembut tuk menghapus air matamu, aku mempunyai jiwa yang hebat untuk memelukmu rapat dalam dekapanku”. Sedang di sisi lain langit dan bumi turut menangis, menangis karena harus menanggung beban manusia-manusia penuh lalai.

Wahai, perempuanku. Ketahuilah, tak ada yang bisa memahami sebesar yang bisa dipahami oleh perempuan lainnya. Jika kamu merasa tak ada yang menerimamu, maka lihatlah dirimu secara menyeluruh. Adakah kamu mampu menerima perempuan lain dalam hidupmu? Pernahkah kamu meluangkan waktu tuk sekedar merasai kehadiran perempuan lain di sekitarmu? Pahamilah mereka sebelum kamu meminta tuk dipahami, ketahuilah bahwa bukan hanya kamu seorang perempuan di dunia ini. Maka luaskanlah hatimu, wawasanmu dan penerimaanmu.

Instropeksi diri adalah pilihan yang bijak, jangan terlalu terbawa perasaan sendiri yang malah semakin menyempitkan hati. Laki-laki tidak akan tahan mendengar celotehmu, laki-laki tidak akan sabar menahan kebosanannya dengan keluh kesahmu, karena dia bukan Ayahmu, bukan Suamimu dan bukan Anakmu, dia hanyalah laki-laki yang menganggapmu lemah. Maka berhati-hatilah dengan kebaikan penuh pamrih yang ada di sekitarmu.