27 Okt 2011

TENTANG CINTA

Berbicara tentang cinta sejati, sejatinya yaa tentu saja hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Tapi bagaimana dengan cinta sejati terhadap sesama manusia wal khusus manusia yang kita pilih menjadi pasangan kita? Sejauh mana dan sedalam apa rasa kita terhadapnya? Aku sih belum merasakannya (secara belum nikah), tapi kriterianya sudah terpola dalam fikiranku. Cieeeeeee.... yang kayak mana sih? Hehehe.. Ada deh, tapi sebelum aku bercerita panjang lebar, diriku pengen menguraikan satu kisah terlebih dahulu. Sebuah kisah cinta yang sangat baik untuk kita ambil ibrahnya.
Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:
Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.
Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.
Bisa dibayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam pun tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.
Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”
Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata: “Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)
Kasihan yah nasib si Laila, habis manis sepah dibuang. Trus, ada gak yang kasihan sama si Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?. Moga-moga aja gak ada diantara kita dan pembaca yang sholeh dan sholeha yang mengalaminya. Na’udzubillah deh...
Kata nenek moyang kita, “cinta itu buta”, nenek moyangnya orang Arab bilang, “Cintamu terhadap sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli”. Perhatikan saja setiap jengkal tanah di sekitar kita, kebanyakan diisi sama orang-orang yang “buta” ama “tuli”. “Buta” karena tidak mampu lagi membedakan antara yang baik dengan yang salah, pake pakaian minimalis, dan mesranya minta ampun, merasa dunia hanya milik berdua, jadi yang lain dak nampak karena sudah “buta”. Dinasehatin, gak bakal mempan. Punya telinga tapi gak bisa mendengar, kan memang udah “tuli”.
Biasanya yah, klo hubungan cinta masih terlarang alias belum halal, semangatnya minta ampun menggeloranya. Seperti itulah setan menggiring hati dan fikiran yang lebih dikuasai oleh hawa nafsu, jiwa terhanyut dalam badai asmara haram. Tapi, giliran cintanya udah sah, udah halal, tau-tau kebanyakan pengen cerai, atau malah pengen nambah istri 2, 3 dan seterusnya dengan alasan mengikuti sunnah. Padahal, kebanyakan yang mengatakan pengen mengikuti sunnah itu hanya akal-akalan nafsunya saja. Gimana caranya mau mengukur niat itu murni untuk ibadah klo hati sudah memiliki pilihan dan wajah seseorang sudah menari bebas difikiran?
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih).
Siapa sih yang tidak menginginkan wanita cantik menjadi pendampingnya bagi setiap laki-laki, dan perempuan mana yang menolak jika yang menawarkan cinta adalah lelaki bak artis Korea? Akan tetapi, dalam perjalanannya, cinta itu tidak cukup hanya dengan tampang saja, cinta itu tidak cukup hanya dengan kedudukan saja, cinta itu tidak cukup hanya dengan harta saja dan cinta itu juga tidak cukup hanya dengan agama saja. Lo, bukannya kita disuruh sama yang bagus agamanya? Iya, memang. Tapi, yang agamanya gimana dulu? Meskipun dia berlabel ustadz/ustadzah, belum tentu bisa menjadi pilihan utama. Contohnya tuh, si ustadz yang ngaku-ngaku ta’arruf tapi tak ada bedanya dengan pacaran. Gelar boleh saja ustadz, tapi akhlak belum tentu menjamin.
Temans, bila dirimu mencintai pasanganmu karena kecantikan atau ketampanannya, sungguh di luar sana masih banyak yang lebih tampan dan lebih cantik darinya.
Jika dulu cintamu bersemi karena kekayaannya, ketahuilah, harta tidak akan pernah memuaskanmu?
Jika cinta itu tumbuh karena kedudukannya yang tinggi, bukankah tak ada yang abadi di dunia ini?
Namun, jika hatimu terlanjur terpaut dan terbelenggu cinta kepada seseorang yang bukan suami atau istrimu, maka ada baiknya dirimu menguji kadar cinta yang kamu miliki. Kenalilah perasaanmu, rabalah hatimu, ukurlah sejauh mana kesucian dan ketulusan cintamu kepadanya. Duduklah sejenak dan bayangkanlah saat dirimu mendapati kekasihmu dalam keadaan hitam legam, gigi sudah ompong, badan kurus tinggal tulang, pakaian kumal tak terurus yang tinggal di rumah gubuk bak kandang kambing. Adakah cinta itu menggelora sedahsyat yang kamu rasakan saat ini???
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
Karena itu, kesucian cinta hanya akan kita dapati dari hati yang dipenuhi keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta seperti ini akan senantiasa bersemi, tak akan lekang oleh waktu, tak akan habis dimakan usia, tak akan luntur karena hujan dan tak akan pernah putus walau ajal telah menjemput. Tak inginkah kamu mengharapkan agar kekasihmu tetap setia mencintaimu meski telah tua renta bahkan telah menjadi penghuni kubur?
Bukan karena materi, bukan karena kedudukan dan bukan karena wajah yang rupawan, tapi akhlak mulia dan keimanannya yang luruslah yang mampu melahirkan cinta yang suci nan abadi dalam keberkahan Allah.
Wallahu a’alam...

21 Okt 2011

Untukmu Ibu...

Ibu...
Jika ucap bibirku tak mampu mengungkapkan rasaku padamu, maka dengarlah kata hatiku, sungguh engkau telah menetap di sana.

Jika tatap mataku tak bisa memancarkan makna, maka pandanglah jauh isi kepalaku ini. Sungguh tak ada lalai wajahmu mengisi pikiranku.

Jika sikapku tak menyiratkan cinta dalam rasamu, maka ketahuilah bahwa semua perjuanganku ingin kupersembahkan padamu.

Ibu...
Aku tahu, air mata sesalku tak akan pernah sebanding dengan air mata kesakitanmu karenaku. Tapi, tahukah engkau? Di sini dadaku disesakkan rasa cinta yang besar mengisi hatiku untukmu.

Aku tahu, keringatku tak akan pernah menyamai peluhmu membesarkanku. Tapi tahukah engkau? Di sini tersimpan rapih mimpi indah memberimu mahkota di surga-Nya kelak.

Aku tahu, lelahku tak akan pernah menggantikan waktu untuk penjagaanmu yang tidak mengenal kata henti. Tapi tahukah engkau? Di sini beribu langkahku menuju impian terbesarmu.

Aku tahu, doa-doaku untukmu tak akan mampu melampaui bilangan namaku dalam sujud dan tengadah tanganmu. Tapi tahukah engkau? Di sini kusebutkan namamu dalam setiap ibadahku pada-Nya.

Aku tahu, kasih sayangku tak akan bisa melebihi kasih sayangmu padaku. Tapi tahukah engkau? Di sini, di hati ini, di setiap helaan nafas ini, ada cinta yang tak akan pernah habis untukmu.

Ibu..
Maafmu adalah harapku.
Doamu adalah pelitaku.
Cintamu adalah kekuatanku.
Dan..
Ridhomu adalah surgaku.

Ibu, jika kelak aku telah mencintai orang lain lebih dari yang engkau rasakan. Maka ketahuilah, tempatmu tak akan pernah tergantikan.
Karena engkau adalah ibuku..

20 Okt 2011

Hikmah: "Menunggu, Tidak Selamanya Melelahkan"

"Al-hikmatu dhaallatul mu'min, annaa wajadahaa fahuwa ahaqqu bihaa" (Hikmah itu adalah sesuatu yang hilang dari orang beriman, di manapun dan bagaimana pun itu ditemukan, maka ia lebih berhak untuk mendapatkannya)...

Baiklah, hari ini saya akan mencari hikmah lagi
— at Nagoya hill, Batam

Seperti itulah update-an status yang menghiasi dinding Facebook-ku di hari ini. Dan Subhanallah, Allah segera menemukanku pada niat tersebut. Aku menyegerakan diri berangkat lebih awal dari jam istirahat kantor. Tak ingin lagi mendapatkan antrian panjang membayar tagihan air di kantor ATB Nagoya seperti kemarin yang pada akhirnya membuat waktu istirahatku habis namun belum mendapat giliran.
Aku melajukan motorku, jalan-jalan masih cukup lengang dari biasanya. Setelah melewati Masjid Baytus Syakur, kulihat lampu merah berganti hijau, 20 detik bagiku dan kendaraan lainnya untuk mengejarnya sebelum kembali memerah. Antrian mobil kira-kira sepanjang 25m, aku mencoba mengambil sisi paling kiri yang merupakan lajur untuk pengendara yang hendak mengambil arah ke kiri. Tentu saja, kecepatan motor aku naikkan sedikit dari biasanya demi melalui lampu hijau tersebut. Namun tiba-tiba, sebuah taksi keluar dari barisan antrian mengambil lajur kiri dan berhenti di sana untuk mengambil penumpang. Astaghfirullah, sontak aku kaget dan me-ngerem pake rem kaki dan cakram. Hampir saja aku menabrak taksi tersebut, untung kecepatannya normal dan masih bisa kukendalikan. Alhmadulillah, aku mengurut dada dan menghela nafas panjang. Entah apa yang difikirkan oleh temanku yang aku bonceng, yang pastinya aku khawatir, khawatir karena membawa dua nyawa orang lain.
Terkadang, dalam hidup, kita tidak cukup sabar untuk menunggu walau hanya beberapa detik saja untuk sesuatu yang lebih baik bagi diri kita. Pemandangan seperti ini sering kita dapatkan di lampu merah. Berapa banyak dan berapa kali kita harus menerobos lampu merah dengan alasan buru-buru, takut telat, dan lain-lain? Padahal, kita hanya disuruh untuk sedikit bersabar dan menunggu, menunggu beberapa detik, paling lama 2,5 menit, demi satu hidup yang kita miliki.
Hari ini Allah mengingatkanku, mengajarkanku akan arti sebuah kesabaran dan arti dari proses penantian. Bahwa selayaknya, aku tidak perlu terburu-buru dalam menyegerakan keinginanku jika ia tidak berada dalam koridor aturan alam, aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Yang aku butuhkan hanyalah kesabaran yang menyamudera tanpa batas di dalam hatiku, agar aku bisa memahami bahwa 1 detik penantianku dalam kebaikan dan kesabaran, tak akan pernah disia-siakan oleh-Nya. Menunggu itu indah, bila yang ditunggu adalah yang terindah..

12 Okt 2011

Masalah itu..."SEPELE"

Sejak meninggalkan dunia kampus, boleh dibilang kuantitas dan intensitas profesi saya menjadi tempat “sampah” mulai berkurang, bahkan sangat berkurang. Klo dulu, hampir tiap hari dan malam melayani antrian telepon yang cukup bikin panas telinga sampe hati (kadang-kadang), hingga jempol berasa sudah mengalami kekakuan karena sms-an. Tidak berhenti dari itu, sebagaimana kata orang bijak, “kamu tidak akan mampu memberi jika kamu tidak memiliki”, of course saya mesti rajin membaca buku, rajin nanya-nanya mbah Google, sering diskusi sama teman-teman, termasuk menambah wawasan melalui media Radio dan Televisi. Saya juga istiqomah nonton Bola, selain karena Hobby (melototin pemainnya yang guateng-guanteng), Bola merupakan “sesuatu” yang mendunia, membumi namun tidak begitu disukai di kaumku, menurutku itu menantang, dan memang salah satu parameter diriku menganggap bahwa seseorang itu  cerdas dan memiliki wawasan yang luas adalah kefahamannya terhadap dunia Bola, tapi bukan Fans fanatik yah..
Back to the topic... Hampir setiap kita pernah medapatkan curhatan teman atau sahabat tentang masalah-masalah yang tengah membelenggu mereka. Entah masalah keluarga; ibu dan anak perempuan yang tidak sepaham, suami atau istri yang jauh dari ekspektasi awal ketika memutuskan tuk menikah, atau teman kita yang lagi patah hati atau serba-serbi masalah yang ditimbulkan oleh kondisi keuangan, DeEleL. Dalam menyikapi kasus tersebut, pastinya kita memberikan respon yang berbeda, semuanya disesuaikan dengan tema curhatannya, termasuk si empunya masalah.
Berdasar pada eksperience sebagai tempat “sampah” tadi, banyak hikmah yang bisa saya ambil sebagai diri pribadi yang pada akhirnya membuat saya banyak berfikir dan mengambil banyak pertimbangan ketika hendak memutuskan sesuatu hal. Sisi positifnya banyak, namun tak dapat dipungkiri bahwa ianya juga memiliki sisi negatif. Tapi, bukan berarti saya adalah seorang pendengar yang baik, apalagi solutif. Mungkin saya lebih masuk dalam kategori trouble maker daripada seorang problem solver. But, whatever it is, insya Allah, saya selalu punya waktu untuk sekedar meminjamkan telinga.
Ada yang mengatakan, “Ki, kamu itu terlalu menyepelekan masalah. Coba klo kamu yang berada di posisiku?”. Yah, saya tidak bisa tersinggung ketika ada yang mengatakan demikian, karena saya adalah saya, dia adalah dia, dan mereka adalah mereka. Dan saya sebisa mungkin untuk menjadi diri sendiri karena saya bukan dia, juga bukan mereka. Kapasitas setiap manusia itu berbeda, termasuk dalam menyikapi sebuah masalah. Namun memang tak ada salahnya jika memberikan ruang pada diri untuk membayangkan ketika kita menghadapai masalah yang sama dengan orang yang sama, waktu yang sama dengan situasi dan kemampuan diri yang sama pula. Terkadang memberikan nasehat itu mudah, namun ketika kita yang diperhadapkan pada masalah tersebut, tak ada yang tau apa kita mampu berdiri seperti sosok yang kita inginkan dalam untaian nasehat tersebut.
Saya minta maaf jika selama ini saya terkesan “menyepelekan” masalah. Bukan berarti saya tidak memikirkannya atau mencoba menyelesaikannya. Yang namanya hidup, bukan hidup jika tak ada masalah. Tapi, bukankah terkadang satu masalah bisa menjadi solusi bagi masalah lainnya? Dan setiap kita pasti meyakini bahwa bersama masalah pasti ada solusi. Yang menjadi masalah pokok hanyalah pada penyikapan kita. Mau membelenggu diri atau membebaskan diri dari satu masalah untuk menyambut masalah lainnya. Di situlah kita dituntut untuk cerdas dalam menyepelekan masalah demi membuatnya terasa sederhana di hati.
Hal yang paling saya sepelekan adalah patah hati karena telah jatuh hati atau perasaan kecewa yang menggelayuti jiwa, karena sesungguhnya kelukaan dan penderitaan tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri. Mereka yang memelihara perasaan sakit hati dan kecewa adalah kumpulan manusia kerdil yang rela menggadai harga diri dan kemuliaannya untuk sesuatu yang hanya akan mematikan kebahagiaannya.
Ada kalanya dalam hidup kita mendapati pribadi yang rumit, jangan bertanya mengapa. Tanya saja pada setiap orang tua yang memiliki kita-kita sebagai anaknya. Orang tua yang mengambil andil besar dalam proses mencetak dan memproses cetakannya kita sebagai anak sering mengalami benturan yang kuat dalam menyikapi sifat kita, apalagi orang lain. Kita adalah Orang yang sudah jadi pola karakter dan tabiatnya, sehingga akan sulit bagi orang lain untuk mengubahnya. Mungkin karena itu jugalah alasannya mengapa kita sering dinasehatin supaya memilih teman yang baik, termasuk pasangan hidup yang baik pula, biar kita bisa membaikkan diri. Bukankah satu kebaikan akan membawa kebaikan lainnya???
Tidak semua masalah bisa disederhanakan sesederhana mungkin, tapi Allah telah memberi kita akal untuk berfikir bahwa dalam suatu masalah itu berlaku hukum kausalitas. Karena itu, kita harus pandai dalam menguraikan masalah ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Pemilikan rasa empati merupakan pillar penting dalam pemahaman satu pribadi dengan pribadi lainnya, agar kita tidak terjebak dalam “menyepelekan” atau malah semakin membesar-besarkan masalah. Karena masalah itu ada di saat kita menganggapnya masalah. Besar atau kecilnya, itu kembali pada keluasan jiwa masing-masing pribadi.
Saat menimbang-nimbang masalah orang lain, sejenak ada baiknya tuk berandai-andai. “Seandainya mereka adalah saya dan seandainya saya adalah mereka”. Mungkin dari sana kita bisa menyelami makna yang dalam, ketika kita mampu merasakan berada pada posisi mereka. Mencoba memahami dan mengerti tentang mereka dan dimana letak kesalahan mereka, agar kita mampu menemukan kedewasaan diri menerima setiap pribadi yang membersamai langkah kita dalam menjalani hidup.

11 Okt 2011

Aku Ideal, Aku Layak

Menjadi ideal untuk diri sendiri tidaklah mudah bahkan mungkin jauh dari kata bisa, apalagi Ideal menurut orang lain. Oleh karena itu, kita tidak perlu memubadzirkan waktu dan tenaga untuk fokus pada ketenangan diri sendiri atau pada kondisi ideal yang sangat kita inginkan dalam hidup kita. Banyak hal yang bisa kita lakukan selain dari hanya fokus pada proses peng-idealan diri dan keinginan. Karena idealnya kita belum tentu ideal menurut orang lain.
Namun berada dalam posisi ideal menurut kita juga amat penting, apatah lagi bila orang-orang di sekitar kita juga meng-aminkannya. Akan tetapi, sering kita dapati dalam diri sendiri atau diri orang lain yang melakukan pelayakan diri terhadap sesuatu atau kondisi yang jauh lebih baik dari yang sebenarnya ada pada diri kita. Itu masalah, masalah karena “tidak tahu diri”. Jadi, intinya adalah, bila kita mengharapkan sesuatu yang lebih baik maka kita harus mampu membuat diri kita sadar akan kualitas dan kapasitas diri sehingga kita menjadi layak untuk setiap kebaikan yang kita inginkan.
Saya sangat percaya, bahwa sesuatu yang baik itu tidak akan pernah menjadi pantas atau layak untuk diri kita bila kita tidak berusaha untuk melayakkan diri terhadapnya. Jika ingin mengambil banyak, maka jangan mengambil satu, tetapi ambillah lebih dari satu. Karena satu tidak akan pernah menjadi banyak apabila ia tunggal. Begitupun dengan usaha. Semakin banyak usaha kita, maka semakin besar peluang kita dan tentu saja semakin memantaskan kita untuk mempunyai banyak harapan. Mereka yang tidak mempunyai usaha, selamanya tidak akan pantas dan layak untuk berharap.
Intinya, jangan terlalu fokus pada kondisi ideal yang kita inginkan. Yang perlu kita lakukan adalah memperbanyak usaha, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri. Nah, syaratnya hanya mesti punya ilmu. Gak peduli ilmu hitam ataupun ilmu putih, yang penting baik dan bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita. Karena dengan ilmu, dunia dan akhirat yang akan menyesuaikan diri dengan kita. Di samping berilmu, kita juga dituntut untuk membumikan doa dalam hati-hati kita. Karena Allah Yang Maha Baik yang akan mengangkat jiwa kita menjadi pribadi yang baik untuk kemudian dikumpulkan bersama jiwa-jiwa yang baik pula. Amin...

10 Okt 2011

Berbicara Soal Respon..

Ketika beberapa orang diperhadapkan pada satu masalah yang sama, kira-kira apa yang terjadi? Dapatkah kita diperhadapkan pada solusi yang sama pula? Atau minimal kita diperhadapkan pada mimik wajah yang sama ketika pertama kali masalah tersebut diketahui oleh beberapa orang di waktu yang sama. Saya yakin, tak ada yang bisa menjaminnya 100% bisa sama, bahkan pada mereka yang ditakdirkan memiliki saudara kembarpun, bisa memiliki respon yang berbeda.

Yah, seperti itulah adanya kita dan orang-orang di sekitar kita. Menanggapi issu-issue yang ada di lingkungan atau media juga pasti sangat beragam. Ada yang suka menghujat, ada yang mendiamkannya, ada yang ngomel-ngomel gak karuan, ada yang memilih menggudangkan Telivisi dan ada juga yang mampu mengambil sisi positif dibalik issu-issu negatif tersebut.

Saya jadi teringat dengan salah satu teman kantor saat mengantarkannya ke Nagoya Hill Mall. Ketika melewati lampu merah, kami mendapati pengendara motor yang tidak mengenakan Helm. Sontak kami berdua memberi koment, “Gila ni orang”. Kata temanku. “Iya, memang gila. Memang dia ga takut apa ditilang ma pak Polisi, di sini kan ada pos Polisi”. Komentarku. Kemudian temanku melanjutkan, “Ini orang macam punya 1000 nyawa aja. Berani-beraninya gak pake Helm”.

Di sepanjang perjalanan kami sama-sama terdiam. Cukup memberiku waktu untuk berfikir. Ternyata, kami menanggapi satu peristiwa tadi dari sudut pandang yang berbeda. Saya lebih cenderung ke arah tertib lalu lintas, sementara temanku lebih pada keselamatan diri. Kemudian saya teringat lagi dengan setiap pengendara yang suka ugal-ugalan di jalan. Dari survey yang saya lakukan pake hati, hampir semua pengendara yang tidak mengenakan Helm di jalan raya, pasti ugal-ugalan mengendarai motornya, apalagi klo bunyi knalpot-nya yang udah di modif gitu, hmmm...mereka makin berasa deh klo jalanan itu hanya miliknya sendiri, yang lain itu seperti semut aja, ada dan tiada, tancap terus. Dan berlakulah hukum 1000 nyawa tadi. Hehehe...

Tiba di depan Nagoya Hill, kami mendapati seorang BULE bersama perempuan Indonesia dengan pakaian minimalis. Hmmmm... kami saling mengingatkan tuk melihat pemandangan tersebut dan kemudian tertawa lepas. Entah apa yang difikirkan temanku tersebut. Tapi yang jelasnya, fikiranku berkata, “wahai perempuan, apa yang ada di fikiranmu???”. Klo kata kak Vina, katanya kata mas Damar, “semua harga di Batam ini mahal, yang gak mahal itu cuman HARGA DIRI”. Klo kata bang Roma, Sungguh Terlalu!!! Ckckckckck... Dunia..Dunia..

3 Okt 2011

The Good You Do Today Will be Forgotten Tomorrow

Hari ini, setelah 8 tahun, seorang teman menghubungiku via telepon. Karena masih jam kerja, aku memintanya tuk menelpon di jam istirahat. Jam istirahat masih lama, karena penasaran, akhirnya kuputuskan meng-sms dia dan bertanya dia siapa. Sebenarnya, aku sudah tau bahwa dia bukan temanku semasa kuliah dulu maupun rekan kerja. Dari namaku yang dia sebut, aku udah yakin, dia adalah teman sekolahku dulu atau boleh jadi keluargaku. Karena nama panggilan tersebut tidak pernah diberikan oleh mereka yang baru mengenalku 10 tahun terakhir ini.
Maka terjadilah sms berbalas ria yang membuat jempolku berasa kaku. Setelah saling bertanya kabar, dia masih belum menyebutkan namanya. Aku terus mendesak. Akhirnya dia mengaku sebagai teman sekelas di kelas 2 SMU dulu. Kucoba menghadirkan wajah-wajah mereka dari kaum Adam tersebut dalam Flash Back memoriku. Yang terbayang hanya segelintir orang. Aku tau, masih banyak yang belum hadir dalam lintasan memoriku.
Aku mulai merasa jenuh ber-sms-an tanpa menemui kejelasan dengan siapa aku sms-an. Aku desak lagi dia, dalam hati aku udah memutuskan klo dia dak ngaku aku bakal nge-blok nomornya, sama seperti beberapa orang tak jelas lainnya. Akhirnya dia ngasih kata kunci lagi, “orangnya yang paling bandel di kelas, ayo siapa?”. Hmmmm... Ada dua kandidat terkuat di fikiranku, “Klo bukan Atib pasti Dulla Cebo”. Balasku. “Salah satu dari nama itu”. Balasnya...
Tulisan ini bukan tuk bernostalgia kawan, tapi hanya ingin mengambil hikmah dan berbagi hikmah. Dan alangkah indahnya lagi bila ada manfaatnya buat orang lain. Termasuk diri sendiri, mengingat setiap kita memiliki masa lalu, masa-masa yang tidak mungkin terhapuskan namun bisa kita simpan lekat dalam kenangan sendiri tanpa perlu diketahui oleh orang-orang baru yang datang silih berganti dalam hidup, tentunya dengan izin Allah.
Dulu, seorang guru SMU-ku berkata, “Ada 2 hal yang membuat seorang murid itu gampang diingat oleh guru maupun kawannya, yang pertama karena kenakalannya dan yang kedua adalah karena kepintarannya”. Yah, jelas saja aku bisa langsung menebak siapa dia. Padahal, boleh dibilang sifat pelupaku sudah memasuki stadium akut. Dan aku bisa mengingatnya.
Jadi teringat sama petuah Papaku, “jangan pernah membuang tai (maaf) di jalan, karena sekali kamu ketahuan, maka setiap ada tai ditemukan di jalan, maka jangan heran jika yang menjadi tersangka utamanya adalah kamu”. Tak salah memang jika Dr. Kent M. Keith mengatakan bahwa, “The good you do today will be forgotten tomorrow”. Aku tiada mengingat banyaknya kebaikannya, tapi aku lebih mengingat setiap kenakalannya.
Mungkin kita sering mendengar seseorang menceritakan masa kejahiliaannya dengan berapi-api (saya memohon ampun kepada Allah atas yang telah berlalu karena saya pun pernah demikian), seakan-akan bangga dengan dosa-dosanya. Astaghfirullah.. Padahal dalam Hadist disebutkan “Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang menampakkan (perbuatan dosa). Termasuk menampakkan perbuatan dosa adalah seseorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian di pagi harinya – padahal Allah telah menutupi (dosa-dosa tersebut) – ia berkata kepada seseorang; kemarin saya telah me;akukan ini dan itu. Padahal Rabb-nya telah menutupi dosanya satu malam penuh, tapi ia telah membuka tabir (tutup) yang diberikan Allah kepadanya.” (Muttafawun ‘alaih).
Memang tak seharusnya kita menceritakan akan setiap aib kita yang telah lalu, bukankah Allah telah menyimpannya rapat? lalu mengapa kita membukanya setelah ia ditutup? Jika mesti harus ada yang mengetahuinya, maka yakinkanlah hati kita dengan niat yang baik, bahwa semua itu kita ceritakan semata-mata tuk mengambil ibroh (hikmah).
Just do good anyway and everywhere!!! Karena kebaikan yang kita lakukan hari ini akan dilupakan di hari esok, namun setiap keburukan atau kejahatan yang kita lakukan di masa lalu, selamanya akan dikenang meskipun kita tidak pernah melakukaannya di hari ini dan di masa depan. Biarlah mereka yang tidak mengetahui kita di masa lalu tetap pada pengetahuannya di hari ini karena bisa saja keburukan lalu menjadi beban di hari ini dan hari esok.
Rasanya, cukuplah yang mengetahuiku di masa lalu mengenangku dengan cara mereka, dengan apa yang mereka tau. Tapi besar harapanku, kelak kalian dan mereka, mengingatku dalam kebaikan, meskipun yang bisa kulakukan hanyalah memberi senyum.


Batam, 031011