12 Okt 2011

Masalah itu..."SEPELE"

Sejak meninggalkan dunia kampus, boleh dibilang kuantitas dan intensitas profesi saya menjadi tempat “sampah” mulai berkurang, bahkan sangat berkurang. Klo dulu, hampir tiap hari dan malam melayani antrian telepon yang cukup bikin panas telinga sampe hati (kadang-kadang), hingga jempol berasa sudah mengalami kekakuan karena sms-an. Tidak berhenti dari itu, sebagaimana kata orang bijak, “kamu tidak akan mampu memberi jika kamu tidak memiliki”, of course saya mesti rajin membaca buku, rajin nanya-nanya mbah Google, sering diskusi sama teman-teman, termasuk menambah wawasan melalui media Radio dan Televisi. Saya juga istiqomah nonton Bola, selain karena Hobby (melototin pemainnya yang guateng-guanteng), Bola merupakan “sesuatu” yang mendunia, membumi namun tidak begitu disukai di kaumku, menurutku itu menantang, dan memang salah satu parameter diriku menganggap bahwa seseorang itu  cerdas dan memiliki wawasan yang luas adalah kefahamannya terhadap dunia Bola, tapi bukan Fans fanatik yah..
Back to the topic... Hampir setiap kita pernah medapatkan curhatan teman atau sahabat tentang masalah-masalah yang tengah membelenggu mereka. Entah masalah keluarga; ibu dan anak perempuan yang tidak sepaham, suami atau istri yang jauh dari ekspektasi awal ketika memutuskan tuk menikah, atau teman kita yang lagi patah hati atau serba-serbi masalah yang ditimbulkan oleh kondisi keuangan, DeEleL. Dalam menyikapi kasus tersebut, pastinya kita memberikan respon yang berbeda, semuanya disesuaikan dengan tema curhatannya, termasuk si empunya masalah.
Berdasar pada eksperience sebagai tempat “sampah” tadi, banyak hikmah yang bisa saya ambil sebagai diri pribadi yang pada akhirnya membuat saya banyak berfikir dan mengambil banyak pertimbangan ketika hendak memutuskan sesuatu hal. Sisi positifnya banyak, namun tak dapat dipungkiri bahwa ianya juga memiliki sisi negatif. Tapi, bukan berarti saya adalah seorang pendengar yang baik, apalagi solutif. Mungkin saya lebih masuk dalam kategori trouble maker daripada seorang problem solver. But, whatever it is, insya Allah, saya selalu punya waktu untuk sekedar meminjamkan telinga.
Ada yang mengatakan, “Ki, kamu itu terlalu menyepelekan masalah. Coba klo kamu yang berada di posisiku?”. Yah, saya tidak bisa tersinggung ketika ada yang mengatakan demikian, karena saya adalah saya, dia adalah dia, dan mereka adalah mereka. Dan saya sebisa mungkin untuk menjadi diri sendiri karena saya bukan dia, juga bukan mereka. Kapasitas setiap manusia itu berbeda, termasuk dalam menyikapi sebuah masalah. Namun memang tak ada salahnya jika memberikan ruang pada diri untuk membayangkan ketika kita menghadapai masalah yang sama dengan orang yang sama, waktu yang sama dengan situasi dan kemampuan diri yang sama pula. Terkadang memberikan nasehat itu mudah, namun ketika kita yang diperhadapkan pada masalah tersebut, tak ada yang tau apa kita mampu berdiri seperti sosok yang kita inginkan dalam untaian nasehat tersebut.
Saya minta maaf jika selama ini saya terkesan “menyepelekan” masalah. Bukan berarti saya tidak memikirkannya atau mencoba menyelesaikannya. Yang namanya hidup, bukan hidup jika tak ada masalah. Tapi, bukankah terkadang satu masalah bisa menjadi solusi bagi masalah lainnya? Dan setiap kita pasti meyakini bahwa bersama masalah pasti ada solusi. Yang menjadi masalah pokok hanyalah pada penyikapan kita. Mau membelenggu diri atau membebaskan diri dari satu masalah untuk menyambut masalah lainnya. Di situlah kita dituntut untuk cerdas dalam menyepelekan masalah demi membuatnya terasa sederhana di hati.
Hal yang paling saya sepelekan adalah patah hati karena telah jatuh hati atau perasaan kecewa yang menggelayuti jiwa, karena sesungguhnya kelukaan dan penderitaan tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri. Mereka yang memelihara perasaan sakit hati dan kecewa adalah kumpulan manusia kerdil yang rela menggadai harga diri dan kemuliaannya untuk sesuatu yang hanya akan mematikan kebahagiaannya.
Ada kalanya dalam hidup kita mendapati pribadi yang rumit, jangan bertanya mengapa. Tanya saja pada setiap orang tua yang memiliki kita-kita sebagai anaknya. Orang tua yang mengambil andil besar dalam proses mencetak dan memproses cetakannya kita sebagai anak sering mengalami benturan yang kuat dalam menyikapi sifat kita, apalagi orang lain. Kita adalah Orang yang sudah jadi pola karakter dan tabiatnya, sehingga akan sulit bagi orang lain untuk mengubahnya. Mungkin karena itu jugalah alasannya mengapa kita sering dinasehatin supaya memilih teman yang baik, termasuk pasangan hidup yang baik pula, biar kita bisa membaikkan diri. Bukankah satu kebaikan akan membawa kebaikan lainnya???
Tidak semua masalah bisa disederhanakan sesederhana mungkin, tapi Allah telah memberi kita akal untuk berfikir bahwa dalam suatu masalah itu berlaku hukum kausalitas. Karena itu, kita harus pandai dalam menguraikan masalah ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Pemilikan rasa empati merupakan pillar penting dalam pemahaman satu pribadi dengan pribadi lainnya, agar kita tidak terjebak dalam “menyepelekan” atau malah semakin membesar-besarkan masalah. Karena masalah itu ada di saat kita menganggapnya masalah. Besar atau kecilnya, itu kembali pada keluasan jiwa masing-masing pribadi.
Saat menimbang-nimbang masalah orang lain, sejenak ada baiknya tuk berandai-andai. “Seandainya mereka adalah saya dan seandainya saya adalah mereka”. Mungkin dari sana kita bisa menyelami makna yang dalam, ketika kita mampu merasakan berada pada posisi mereka. Mencoba memahami dan mengerti tentang mereka dan dimana letak kesalahan mereka, agar kita mampu menemukan kedewasaan diri menerima setiap pribadi yang membersamai langkah kita dalam menjalani hidup.

1 komentar: