13 Agu 2011

Takdir Kita Hanya Sebagai Sahabat, Tak Lebih!

“Cha, menikahlah denganku”. Duarrrrrrr! Bagaikan petir menghujam hatiku kala itu, tiba-tiba saja Dion sahabat karibku mengungkapkan maksud hatinya melalui telepon di seberang sana. Aku hanya bisa terdiam dalam bulir air mata yang terasa panas membasahi wajahku. Tak tahu harus berkata apa, tak mengerti dengan perasaan hati. Semuanya gelap dalam fikiran. Sayup-sayup terdengar kumandang Adzan Maghrib bergemuruh di seantero Jakarta. Aku bangkit mengambil wudhu, kumatikan HP tanpa peduli pada Dion yang masih menunggu jawabku.


Aku menangis sejadi-jadinya dalam sujud terakhirku, mengadukan kegundahan dan menumpahkan semua perasaan hati pada-Nya. Entah mengapa, aku merasa begitu lemah saat itu. Hatiku tak berdaya dan benar-benar merasa bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang bisa menenangkanku. Kuambil mushaf usangku, membaca beberapa ayat surat cinta-Nya. Begitu menyejukkan hati, membasuh jiwa yang penuh harap.

Aku mengenal Dion di hari pertamaku menyandang gelar sebagai mahasiswa. Ketika itu kami 1 angkot pulang kampus, ia menjulurkan tangannya sambil menyebut namaya, “Dion, kamu?”. “Aku Icha”, jawabku singkat. Kemudian mengalirlah cerita-cerita diantara kami hingga akhirnya aku pamit karena rumahku lebih dekat dari kampus. Kami sekelas selama 4 tahun masa kuliah. Dengan masa yang cukup banyak hari pertemuan dan interaksi, hubungan kami biasa-biasa saja. Tak ada yang special, dia sibuk dengan aktivitas perkuliahan karena dia masuk dalam kategori mahasiswa yang akademik banget sementara diriku sibuk dengan dunia baru yang begitu menarik hati dan minatku.

Aku memutuskan untuk aktif dalam kegiatan dakwah kampus di akhir tahun 2005. Hal ini cukup banyak kuberikan waktu dan sebagai resikonya aku hanya berada di area Jurusan pada saat jam kuliah, selebihnya kuhabiskan dengan aktifitas bersama teman-teman akhwat yang notabene semuanya tak se-Jurusan denganku. Karena terlalu sibuk di luar Jurusan, akhirnya aku jarang punya waktu-waktu berkualitas tuk berdiskusi atau sekedar bersendagurau dengan teman-teman sekelas. Sesekali mereka menahanku dan kemudian mengalirkan tema diskusi yang cukup panjang dan kompleks. Dion termasuk yang paling aktif dalam bertanya. Sampai terkadang aku sampai kewalahan meladeni mereka, aku hanya seorang (akhwat pula), harus berada dalam forum para lelaki Teknik. Penuh retorika dan argumentatif.

Tak terasa Dion dan beberapa orang teman lainnya sudah menyelesaikan studinya. Sementara aku masih pengen berlama-lama di kampus. Bukan karena mata kuliahnya keteteran, tapi memang masih pengen jadi mahasiswa. Setahun kemudian aku berhasil meraih gelar Sarjanaku, setelah mendapat ultimatum dari Ibu. Klo tidak selesai, semua fasilitas termasuk jatah bulanan bakal dicabut.

Dion langsung bekerja di sebuah Perusahaan Swasta segera setelah wisuda. Komunikasi kami memang tetap berlanjut, apalagi jejaring sosial facebook lagi booming kala itu. Komunikasi via telpon dan sms-pun kadang-kadang kami lakukan. Semua kuanggap biasa-biasa saja, dan memang perasaanku juga mengatakan bahwa Dion tak punya rasa terhadapku. Begitulah otakku meyakinkan hatiku setiap kali Dion menghubungiku.

Setelah wisuda, aku sempat nganggur selama 6 bulan. Berat meninggalkan Makassar, hingga akhirnya Dion menawariku bekerja pada perusahaan tempatnya bekerja. Aku sempat berfikir panjang, susah untuk mengambil keputusan. Apalagi, seingatku ketika masih kuliah, Dion salah satu temanku yang paling sering mencelaku. Yah...meskipun aku tahu bahwa semua itu hanya sebatas candaan dan keisengan dia terhadapku. Tapi tetap saja aku harus berfikir 1000x sebelum mengambil keputusan.

Batam, akhirnya menjadi tempatku melabuhkan cita dan impian masa depan. Memulai hidup dengan kemandirian diri, berharap tak lagi mengandalkan tangan orang tuaku menyuapi diriku dengan suap demi suap nasi kehidupan. Berusaha tetap memampukan diri dalam keterbatasan.

Tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan suasana kantor dan pekerjaan karena di perusahaan tersebut ada banyak wajah yang tak asing lagi bagiku. Apalagi ada Dion yang dengan sabar memperhatikan kebutuhan-kebutuhanku di kantor. Dan kembali kami mengulangi kebiasaan seperti di kampus dulu, berdiskusi. Banyak hal yang kami diskusikan, dan tak jarang kami membicarakan tentang kondisi keluarga masing-masing. Kadang aku merasa aneh, bagaimana mungkin aku bisa bercerita banyak tentang hal pribadiku terhadap satu orang teman lelakiku. Yang aku tahu, hanya Dion diantara sekian banyak teman laki-laki yang kumiliki di dunia ini yang bisa kupercaya untuk sharing tentang berbagai hal.

Melihat kedekatan kami, tak jarang orang-orang berfikiran bahwa kami memiliki hubungan spesial. Ada juga yang suka menjodoh-jodohkan kami. Tapi semua itu tidak membuat hubungan kami mengalami kerenggangan atau berkembang ke arah yang diharapkan orang-orang di sekitar kami. Mungkin karena kami sudah saling memahami karakter dan akan kriteria belahan jiwa idaman masing-masing. Aku bukan kriterianya dan dia bukan idamanku, itu yang kufahami dari hubungan kami. Dia punya pacar dimana-mana sementara aku anti-pacaran sebelum nikah.

Sebagai perempuan normal, perasaan sayang sama Dion pasti ada. Ke-GR-an pun kadang datang menghampiri rasa melihat begitu banyak perhatian yang dia berikan. Apalagi klo dia nelpon tanpa ada urusan yang jelas, hanya sekedar ingin tahu kabarku atau ingin menghabiskan sisa pulsa gratisnya. Sementara aku tak pernah berinisiatif sms apalagi nelpon dia jika tidak ada keperluan mendesak. Aku memang selalu berusaha menunjukkan sikap tak peduliku padanya. Aku akan melakukan apapun agar semua laki-laki yang hadir di hidupku tidak pernah memiliki fikiran bahwa aku ada rasa terhadap mereka. Siapapun itu, apalagi jika laki-laki itu berpotensi mengganggu hatiku, maka semakin keraslah usahaku menjauhinya.

Aku merasa, Dion juga berusaha untuk tidak membuatku GR dengan selalu menceritakan padaku saat dia lagi jatuh cinta sama si A, atau dia akan mengabariku klo dia sudah jadian sama si B. Meskipun aku merasa kadang pacar-pacar dia agak jealous denganku, tapi aku tidak pernah pusing. Dion juga santai-santai saja, jadi tetap saja tak ada yang berubah dalam hubungan kami.

Hingga akhirnya aku mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta setelah 2 tahun berkarir di Batam. Tanpa berfikir panjang segera kuajukan surat resign dan bersiap-siap untuk memulai hidup baru di Jakarta. Selain ingin mengembangkan karir, aku memilih meninggalkan Batam karena aku merasa jodohku ada di tempat lain. Aku harus menjemputnya, melihat usiaku yang akan segera memasuki angka 26. Tiga bulan sudah aku di Jakarta dan selama itu pula aku tak pernah bersapa ria lagi dengan Dion meskipun via facebook. Bahkan saat kami sama-sama online, tak ada tegur sapa darinya.

HP-ku berdering memutuskan alur fikiranku yang berjalan ke bagian masa lalu yang berisikan kenangan bersama Dion. Kulihat Dion yang memanggil. Aku tak mempunyai keberanian tuk mengangkatnya. Kubiarkan HPku terus berdering. Kuarahkan pandanganku ke Laptop yang sejak tadi sore memperdengarkan suara indah As-Sudaish. Facebook-ku masih online, ku klick upload beberapa file foto yang hendak ku-upload ke facebook sebelum Dion nelpon tadi. Dan tanpa ragu men-tag semua nama yang ada di list temanku.

Dion, kamu terlambat sahabatku. Seandainya 2 bulan lalu kamu yang memintaku, maka akan kupilih engkau. Tak peduli dengan kriteria kita masing-masing. Toh, kamu sudah sangat mengenalku. Mengenalku lebih dari orang tuaku sendiri. Bahkan jauh lebih tahu dari orang yang namanya tertulis di undangan walimahan-ku ini. Semuanya sudah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfudz-Nya. Kamu dan aku seperti siang dan malam, selamanya tidak akan pernah bersama. Selamat tinggal sahabat, terima kasih untuk telah memberikanku rasa memiliki saudara laki-laki.



Batam, 13 Ramadhan 1432H

(Cerpen ke-2 ku)

10 Agu 2011

Nasehat untuk Diri di Hari Ini...

Gak berasa, 10 Ramadhan sedang membersamai kita di hari ini. Apa kabar Iman? Masihkah ia melemah? Atau semakin menaikkah kadarnya? Semoga Allah merahmati kita dengan kebaikan Iman dan Akhlak yang mulia. Ramadhan terlalu indah tuk dilalui tanpa memberi berjuta makna di langit jiwa.


Di kantor lagi senggang banget, jadi kepikiran tuk nulis lagi. Udah hampir sebulan gak melakukan corat-coret di my sweatest blog. Kali ini temanya tentang kabar iman, tentang imanku dan imanmu mungkin. Melemahkah, atau menguatkah ia selama Ramadhan ini.

Ada yang bilang, klo iman itu ibarat sebuah deretan gunung. Ada yang tinggi, ada pula yang rendah. Tidak sama rata lah penampakannya. Begitupun dengan kondisi iman. Tapi klo dirasa-rasa, kondisi iman itu hanya ada dua, makin membaikkah atau malah makin memburuk. Klo kondisi stabil, hmmm...kayaknya ga ada deh. Atau ada yang merasa saat ini imannya stabil-stabil aja? Klo iya, jangan lupa lapor sama pak RT yah (loh, apa hubungannya? Hehehe)

Saya yakin, setiap kita di dunia ini pasti pernah merasakan imannya lagi tinggiiiiiiiiii banget. Nah di saat itu ibadah akan terasa nikmat, lisan jadi kekontrol, dan hidup rasanya adem ayem meskipun cobaan datang silih berganti, istilahnya, hidup gak bakalan nikmat klo ujiannya cmn segede biji sawi. Tapi, klo si iman lagi down, semuanya bakal terasa berat. Bahkan ngangkat nasi ke mulut aja rasanya mo ngangkat 1 ton beras. Hati gampang emosian, nasehat baik dianggap kritikan pedas dan kebiasaan buruk yang dilakukan kembali malah terasa nikmat. Minim rasa bersalahnya, malah suka menyalahkan orang lain, deelel.

Sebenarnya lemah adalah hal manusiawi, termasuk lemah iman. Dalam Al-Qur’an Allah sudah mengatakan bahwa manusia itu sesungguhnya lemah. Kita lemah, serba kekurangan, suka bergantung sehingga memerlukan tempat tuk bergantung yang lebih kuat dan agung. Persoalannya; pada siapa kita sandarkan harapan kita, pada siapa kita tujukan segala keluhan dan keresahan jiwa kita dan pada siapa kita meminta pertolongan. Jangan sampe harapan itu kita sandarkan pada pohon Beringin tuk ngurus diri-diri kita, trus klo lagi sedih dan punya seabrek masalah ngadunya sama si mbah Facebook, and pas lagi butuh pertolongan, mintanya sama ketik REG (sapsi) UstadCinta kirim ke neraka...Ckckckck, sungguh terlalu.

Jadi lemah iman itu bukanlah suatu penyakit, soalnya obatnya gak ada dijual di apotek. Tapi bukan berarti lemah iman itu tidak ada penawarnya. Klo kita mau ambil sisi positifnya, lemah iman itu adalah sebuah kenikmatan loh, kenapa? Karena di saat itulah kita akan merasakan kerasnya berjuang, mengiba dan mengemis di hadapan Allah untuk meraih cinta-Nya. Coba klo gak, pasti usaha kita gak akan sekeras itu. Iya kan?

Nah, mumpung masih Ramadhan nih. Momen-momen indah tuk berkhalwat ma Allah lagi banyak-banyaknya neh. Sampe pahalapun di obral sama Allah. So, mari kita maksimalkan usaha kita tuk meraih simpati-Nya. Gratis kok, gak pake modal duit. Modal niat dan kemauan dah cukup. Gak pake repot bin ribet. Nikmati aja prosesnya, masalah hasil itu urusan belakangan. Kekuatan iman memang hasil, ketenangan, keikhlasan, keteguhan hati, jiddiyah juga hasil, tapi semua itu hanya bisa kita peroleh dari kesungguhan doa-doa kita, munajat kita di sepanjang malam dan setiap tangisan-tangisan kita yang mengiba pada-Nya.

Bawalah Allah dalam hatimu, selalu. Karena setiap yang kita miliki hari ini dan yang akan datang pasti akan meninggalkan kita, kecuali Allah. Yaa..Allah lindungilah setiap langkah kami, janganlah Engkau biarkan kami tersesat setelah Engkau beri nikmat iman. Karena hanya kepada-Mulah kami menggantungkan segala asa.



Wallahu’alam



Batam, 10th August 2011