“Cha, menikahlah denganku”. Duarrrrrrr! Bagaikan petir menghujam hatiku kala itu, tiba-tiba saja Dion sahabat karibku mengungkapkan maksud hatinya melalui telepon di seberang sana. Aku hanya bisa terdiam dalam bulir air mata yang terasa panas membasahi wajahku. Tak tahu harus berkata apa, tak mengerti dengan perasaan hati. Semuanya gelap dalam fikiran. Sayup-sayup terdengar kumandang Adzan Maghrib bergemuruh di seantero Jakarta. Aku bangkit mengambil wudhu, kumatikan HP tanpa peduli pada Dion yang masih menunggu jawabku.
Aku menangis sejadi-jadinya dalam sujud terakhirku, mengadukan kegundahan dan menumpahkan semua perasaan hati pada-Nya. Entah mengapa, aku merasa begitu lemah saat itu. Hatiku tak berdaya dan benar-benar merasa bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang bisa menenangkanku. Kuambil mushaf usangku, membaca beberapa ayat surat cinta-Nya. Begitu menyejukkan hati, membasuh jiwa yang penuh harap.
Aku mengenal Dion di hari pertamaku menyandang gelar sebagai mahasiswa. Ketika itu kami 1 angkot pulang kampus, ia menjulurkan tangannya sambil menyebut namaya, “Dion, kamu?”. “Aku Icha”, jawabku singkat. Kemudian mengalirlah cerita-cerita diantara kami hingga akhirnya aku pamit karena rumahku lebih dekat dari kampus. Kami sekelas selama 4 tahun masa kuliah. Dengan masa yang cukup banyak hari pertemuan dan interaksi, hubungan kami biasa-biasa saja. Tak ada yang special, dia sibuk dengan aktivitas perkuliahan karena dia masuk dalam kategori mahasiswa yang akademik banget sementara diriku sibuk dengan dunia baru yang begitu menarik hati dan minatku.
Aku memutuskan untuk aktif dalam kegiatan dakwah kampus di akhir tahun 2005. Hal ini cukup banyak kuberikan waktu dan sebagai resikonya aku hanya berada di area Jurusan pada saat jam kuliah, selebihnya kuhabiskan dengan aktifitas bersama teman-teman akhwat yang notabene semuanya tak se-Jurusan denganku. Karena terlalu sibuk di luar Jurusan, akhirnya aku jarang punya waktu-waktu berkualitas tuk berdiskusi atau sekedar bersendagurau dengan teman-teman sekelas. Sesekali mereka menahanku dan kemudian mengalirkan tema diskusi yang cukup panjang dan kompleks. Dion termasuk yang paling aktif dalam bertanya. Sampai terkadang aku sampai kewalahan meladeni mereka, aku hanya seorang (akhwat pula), harus berada dalam forum para lelaki Teknik. Penuh retorika dan argumentatif.
Tak terasa Dion dan beberapa orang teman lainnya sudah menyelesaikan studinya. Sementara aku masih pengen berlama-lama di kampus. Bukan karena mata kuliahnya keteteran, tapi memang masih pengen jadi mahasiswa. Setahun kemudian aku berhasil meraih gelar Sarjanaku, setelah mendapat ultimatum dari Ibu. Klo tidak selesai, semua fasilitas termasuk jatah bulanan bakal dicabut.
Dion langsung bekerja di sebuah Perusahaan Swasta segera setelah wisuda. Komunikasi kami memang tetap berlanjut, apalagi jejaring sosial facebook lagi booming kala itu. Komunikasi via telpon dan sms-pun kadang-kadang kami lakukan. Semua kuanggap biasa-biasa saja, dan memang perasaanku juga mengatakan bahwa Dion tak punya rasa terhadapku. Begitulah otakku meyakinkan hatiku setiap kali Dion menghubungiku.
Setelah wisuda, aku sempat nganggur selama 6 bulan. Berat meninggalkan Makassar, hingga akhirnya Dion menawariku bekerja pada perusahaan tempatnya bekerja. Aku sempat berfikir panjang, susah untuk mengambil keputusan. Apalagi, seingatku ketika masih kuliah, Dion salah satu temanku yang paling sering mencelaku. Yah...meskipun aku tahu bahwa semua itu hanya sebatas candaan dan keisengan dia terhadapku. Tapi tetap saja aku harus berfikir 1000x sebelum mengambil keputusan.
Batam, akhirnya menjadi tempatku melabuhkan cita dan impian masa depan. Memulai hidup dengan kemandirian diri, berharap tak lagi mengandalkan tangan orang tuaku menyuapi diriku dengan suap demi suap nasi kehidupan. Berusaha tetap memampukan diri dalam keterbatasan.
Tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan suasana kantor dan pekerjaan karena di perusahaan tersebut ada banyak wajah yang tak asing lagi bagiku. Apalagi ada Dion yang dengan sabar memperhatikan kebutuhan-kebutuhanku di kantor. Dan kembali kami mengulangi kebiasaan seperti di kampus dulu, berdiskusi. Banyak hal yang kami diskusikan, dan tak jarang kami membicarakan tentang kondisi keluarga masing-masing. Kadang aku merasa aneh, bagaimana mungkin aku bisa bercerita banyak tentang hal pribadiku terhadap satu orang teman lelakiku. Yang aku tahu, hanya Dion diantara sekian banyak teman laki-laki yang kumiliki di dunia ini yang bisa kupercaya untuk sharing tentang berbagai hal.
Melihat kedekatan kami, tak jarang orang-orang berfikiran bahwa kami memiliki hubungan spesial. Ada juga yang suka menjodoh-jodohkan kami. Tapi semua itu tidak membuat hubungan kami mengalami kerenggangan atau berkembang ke arah yang diharapkan orang-orang di sekitar kami. Mungkin karena kami sudah saling memahami karakter dan akan kriteria belahan jiwa idaman masing-masing. Aku bukan kriterianya dan dia bukan idamanku, itu yang kufahami dari hubungan kami. Dia punya pacar dimana-mana sementara aku anti-pacaran sebelum nikah.
Sebagai perempuan normal, perasaan sayang sama Dion pasti ada. Ke-GR-an pun kadang datang menghampiri rasa melihat begitu banyak perhatian yang dia berikan. Apalagi klo dia nelpon tanpa ada urusan yang jelas, hanya sekedar ingin tahu kabarku atau ingin menghabiskan sisa pulsa gratisnya. Sementara aku tak pernah berinisiatif sms apalagi nelpon dia jika tidak ada keperluan mendesak. Aku memang selalu berusaha menunjukkan sikap tak peduliku padanya. Aku akan melakukan apapun agar semua laki-laki yang hadir di hidupku tidak pernah memiliki fikiran bahwa aku ada rasa terhadap mereka. Siapapun itu, apalagi jika laki-laki itu berpotensi mengganggu hatiku, maka semakin keraslah usahaku menjauhinya.
Aku merasa, Dion juga berusaha untuk tidak membuatku GR dengan selalu menceritakan padaku saat dia lagi jatuh cinta sama si A, atau dia akan mengabariku klo dia sudah jadian sama si B. Meskipun aku merasa kadang pacar-pacar dia agak jealous denganku, tapi aku tidak pernah pusing. Dion juga santai-santai saja, jadi tetap saja tak ada yang berubah dalam hubungan kami.
Hingga akhirnya aku mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta setelah 2 tahun berkarir di Batam. Tanpa berfikir panjang segera kuajukan surat resign dan bersiap-siap untuk memulai hidup baru di Jakarta. Selain ingin mengembangkan karir, aku memilih meninggalkan Batam karena aku merasa jodohku ada di tempat lain. Aku harus menjemputnya, melihat usiaku yang akan segera memasuki angka 26. Tiga bulan sudah aku di Jakarta dan selama itu pula aku tak pernah bersapa ria lagi dengan Dion meskipun via facebook. Bahkan saat kami sama-sama online, tak ada tegur sapa darinya.
HP-ku berdering memutuskan alur fikiranku yang berjalan ke bagian masa lalu yang berisikan kenangan bersama Dion. Kulihat Dion yang memanggil. Aku tak mempunyai keberanian tuk mengangkatnya. Kubiarkan HPku terus berdering. Kuarahkan pandanganku ke Laptop yang sejak tadi sore memperdengarkan suara indah As-Sudaish. Facebook-ku masih online, ku klick upload beberapa file foto yang hendak ku-upload ke facebook sebelum Dion nelpon tadi. Dan tanpa ragu men-tag semua nama yang ada di list temanku.
Dion, kamu terlambat sahabatku. Seandainya 2 bulan lalu kamu yang memintaku, maka akan kupilih engkau. Tak peduli dengan kriteria kita masing-masing. Toh, kamu sudah sangat mengenalku. Mengenalku lebih dari orang tuaku sendiri. Bahkan jauh lebih tahu dari orang yang namanya tertulis di undangan walimahan-ku ini. Semuanya sudah tertulis dalam Kitab Lauh Mahfudz-Nya. Kamu dan aku seperti siang dan malam, selamanya tidak akan pernah bersama. Selamat tinggal sahabat, terima kasih untuk telah memberikanku rasa memiliki saudara laki-laki.
Batam, 13 Ramadhan 1432H
(Cerpen ke-2 ku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar