Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca sebuah artikel lepas tentang wanita karir dan pernikahan. Di sana, penulis membahas secara singkat mengenai alasan mengapa para wanita karir yang masih berstatus single kebanyakan menunda pernikahannya, pun bagi ibu rumah tangga yang juga seorang wanita karir yang terkesan lebih mendahulukan karirnya daripada keluarganya. Saya membacanya pelan, biar lebih bisa dicerna dan difahami, yah, lumayan tuk dijadikan nasehat buat diri sendiri, fikirku.
Dari situ, saya kemudian banyak berfikir, sedikit merenung dan mengajukan beberapa pertanyaan ke diri sendiri. Apa benar saya telah menunda pernikahan karena sibuk mengejar karir? Apa benar saya telah menomor bontotkan urusan pernikahan karena lebih fokus pada karir? Atau, adakah alasan lain mengapa sampai saat ini saya belum menikah?
Ketakutan akan kehilangan karir yang saya bangun dengan berdarah-darah harus berakhir begitu saja karena pernikahan pastinya memang ada, resiko. Bagitu banyak mimpi yang akan terenggut, mungkin tak akan terhitung jumlahnya. Harapan-harapan orang tua juga akan hilang tak membekas seiring keihklasannya melihat anak perempuannya hidup bahagia. Kadang saya berfikir, dengan nominal yang saya dapatkan sebulannya sekarang ini, mungkin suami saya kelak tidak akan mampu memberikannya padaku diawal-awal pernikahan. Tapi bukankah pernikahan bukan masalah sense of price? Tapi lebih pada sense of value, respect and peacefull. Subtansinya bukanlah pada pencapaian materi, tapi yang paling utama adalah adanya kesamaan visi misi dalam membangun sebuah ikatan keterikatan yang saling mengikat, saling menumbuhkan dan saling membaikkan untuk kemudian memuliakan satu sama lain.
Saya rasa, kita tidak boleh serta merta menganggap perempuan yang telah cukup umur atau malah telah lanjut usia namun belum menikah itu menunda pernikahannya. Karena di sini, ada kerja-kerja takdir terkait di dalamnya, ada ruang dimana kita diberikan kesempatan oleh Allah untuk bermain teka-teki. Yah, takdir itu bisa kita ciptakan sendiri, tapi ianya itu akan terjadi bila takdir tersebut bersesuaian dengan takdir yang telah ditetapkan Allah.
Kemudian, pernah ada yang mengatakan bahwa jodoh itu adalah sebuah keputusan. Memutuskan apakah ingin berjodoh atau tidak dengan seseorang yang meminangnya. Akan tetapi, kembali kerja takdir berpengaruh di sini. Bagaimana hati dan akal mampu menuntun jiwa untuk mengambil sebuah keputusan.
Kesempatan dan pilihan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebenarnya Allah telah memberikan kita kesempatan untuk memilih, tapi mungkin juga ada yang sama sekali belum mempunyai kesempatan. Kesempatan itu bisa datangnya berkali-kali, akan tetapi terkadang kesempatan itu juga datangnya hanya sekali. Namun, dalam kerangka berfikir dan pembiasaan hati berada pada tatanan persangkaan yang baik pada ketetapan Allah, maka sebenarnya tak ada kesempatan yang datangnya hanya sekali. Kesempatan itu selalu ada, tinggal kita memutuskan untuk memilih atau memutuskan untuk tidak memilih.
Katanya, cinta adalah argumentasi yang sahih untuk menolak atau menerima seseorang untuk menjadi pendamping hidup kita. Berarti, biarkanlah cinta yang melakukan pekerjaannya, hingga takdir mempertemukannya dalam keridhoan Tuhannya. Jadi, bukan berarti menunda apalagi bermaksud tuk menunda, tapi lebih pada proses pencarian pribadi terbaik untuk mendampingi pribadi kita. Karena belum tentu pribadi sebaik Aa Gym itu baik buat kita. Dan dalam konteks prasangka baik pada Allah, seharusnya dimaknai sebagai bonus, bonus waktu yang diberikan oleh kepada kita untuk semakin membaikkan diri dan memaksimalkan potensi diri.
Saya bukannya melakukan pembenaran untuk setiap sikap memilih untuk tidak memilih sebelumnya. Akan tetapi, saya selalu yakin bahwa Allah pasti akan menuntun setiap hati & jiwa pada jiwa yang telah dijanjikan-Nya sejak ruh itu ditiupkan. Jadi, apabila hati belum klop 100% pada satu jiwa, anggap saja bahwa yang terbaik belum datang. Sederhana saja bukan? *Smile..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar