15 Des 2011

DALAM DIAM AKU MENUNGGUMU

Cerpen :

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur, tengkurap. Kubenamkan wajahku sedalam mungkin, menjeda napas panjang dengan kedua tangan menindih di atas kepala, menggaruk-garuknya meskipun tidak gatal. Aku membalikkan badan, menengadah melempar pandangan ke langit lepas lewat jendela kamar yang sedari tadi pagi kubuka demi menyambut hari. Bintang gemintang begitu cerah menemani bulan, seakan tak peduli dengan keanggunan bulan yang siap mengambil habis perhatian dari para pencari cahaya. Sudah terlalu larut tuk memanjakan mata dengan pemandangan ini.

Kucoba memejamkan mata, kutarik sebuah bantal menutupi wajahku, tapi semakin aku berusaha melawan rasa kantukku, semakin mata ini tak mau terpejam. Seperti binatang peliharaan yang tak mau tunduk dan mulai berontak pada majikannya. Bukan, bukan mataku yg memberontak. Pemberontak itu adanya di dada. Di sana ada seonggok daging yang sedang menyimpan kegelisahan. Kegelisahan yang sulit tuk diartikan oleh akal.

Rinai hujan bernyanyi pelan di atas genteng, desah angin membelai mesra dalam keagungan subuh-Nya. Semilir suara Adzan lirih pelan, samar-samar terdengar dari kejauhan. Berat mataku melebihi berat dua buah kakiku melangkah menuju kamar mandi. Kuambil air wudhu, kuresapi setiap tetesannya. Biar sejuknya sampai menusuk kalbu. Dalam sholat aku mengadu pada Sang Maha Pendengar. Mengadukan rasa hatiku yang tak bisa kukendalikan lagi. Sebuah rasa muncul begitu saja, bersemi bermekaran bak sekuntum bunga yang menyeruput embun di kala pagi. Ingin kuhentikan penumbuhan itu, ingin segera kukembalikan pada pemiliknya. Selama ini, dalam prinsip hidup yang kubangun, rasa itu belum saatnya tuk kumiliki dan kemudian sepenuhnya kuberikan pada satu jiwa, belahan jiwaku.

***

"Rani, telah lama kupendam rasa ini padamu. Sejak dulu, sejak kamu masih di kampus. Senyummu selalu menyejukkan, seperti oase di tengah gurun pasir. Namun, bukanlah karena senyuman itu. Ini adalah tentang sebuah keyakinan akan kedalaman rasa di palung jiwaku. Sebuah rasa yang dititipkan Allah pada sepotong hatiku. Ia kini masih terbingkai rapih di satu sudut hatiku, untuk sepenuhnya menjadi milikmu kelak. Akan tetapi, kini kamu begitu jauh. Rasanya sulit bagiku tuk meraihmu. Engkau begitu tinggi, seperti aku yang hanya bisa mendongakkan kepala pada sebuah puncak gunung tertinggi. Kamu tahu, kamu memang tinggi, karena kamu telah berada di puncak hatiku setelah Tuhanku. Lalu, katakanlah padaku. Apakah salah bagiku jika berharap penuh suatu saat nanti kamulah perempuanku? Aku harap tidak. Sebenarnya, tak ingin kuusik sepotong hati ini hingga datang waktu yang tepat, karena aku sadar, sayapku belum mampu membawaku datang padamu apalagi mengajakmu ikut terbang bersamaku mengarungi samudera langit kehidupan. Tapi, bolehkah kutitipkan satu rasa ini padamu untuk kamu jaga sementara waktu? Kupastikan, suatu saat nanti aku akan datang mengambilnya dengan ijin Allah. Maaf, siapalah aku yang begitu lancang ingin mengikat harimu dengan janji, siapalah aku yang dengan beraninya membuatmu menali waktu dalam penantian untukku? Tapi, gunungan hatiku meminta setitik kesabaran dalam samudera hatimu. Hari ini, kuserahkan hatiku padamu. Jika kamu bersedia, diam-mu adalah jawaban pasti bagiku
Salam, Radika Yudha Rahman."

Sudah seminggu email itu aku terima dari Dik, namun entah mengapa aku selalu kehabisan kata ketika ingin membalasnya, jariku terasa kelu. Maju mundur keinginanku, bolak balik keteguhan hatiku, perasaan tak pasti menguasai akal sehatku. Oh..kesadaranku membuncah pada satu tanya, bagaimana jika aku benar-benar mencintainya, sanggupkah aku bertahan dalam satu penantian yang tiada pernah kuketahui ujungnya?
***
Awan hitam menggantung di atas langit negara yang di juluki Abode of Peace, seakan masih malu-malu menyeruakkan kristal putih dari pelukannya. Setahun yang lalu aku memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari salah satu perusahaan Oil & Gas di Brunei Darussalam ini. Aku memilih tinggal di Kampong Ayer, letaknya tidak jauh dari tempat aku bekerja sekarang. Sebuah kota kecil yang sangat indah, dimana sungai Brunei mengalir di sini. Menurut cerita, pemukiman ini telah dihuni lebih dari 1300 tahun dan tidaklah berlebihan bila  Antonio Pigafetta  menamakan tempat in sebagai Venizia dari timur pada sekitar awal abad ke 16.
Menikmati secangkir Capucino hangat di teras Apartemenku di lantai 3. Di sini aku bisa memandang lepas sejauh mataku bisa memandang. Sebuah kursi malas dan meja berbentuk kotak melengkapinya. Jejeran buku-buku memenuhi hampir keseluruhan bagian bawah meja tersebut. Teras yang di design bak Aquarium, kaca putih mengelilinya dan dilengkapi dengan tirai di sekelilingnya. Jadi, aku bisa tetap merasa nyaman di sini tanpa harus khawatir dilihat orang jika diriku tidak mengenakan jilbab. Ini adalah tempat favoritku ketika menghabiskan waktu libur kerja di apartemen. Membaca buku, dan sesekali melayangkan pandangan ke sekitar.
Tiba-tiba saja aku teringat akan Dik. Sudah setahun lebih aku tak mendengar kabar darinya. Aku pun tak tahu, apakah dia tahu akan keberadaanku sekarang atau tidak. Dan lebih lagi, aku tak tahu apakah dia masih memegang janjinya atau mungkin dia sudah melupakannya.
Kadang, bejibun pertanyaan menghantam otakku, resah dan gelisah menggelayuti dadaku, keinginan tuk mengakhiri penantian ini pun semakin nyata di pelupuk mata. Ah, apa yang harus kuakhiri? Bukankah aku tidak pernah memulainya? Betapa bodohnya aku membiarkan hatiku mempercayai isi email tersebut. Mengapa aku baru sadar sekarang? Namun, setitik kesadaran selalu saja membangkitkan prasangka baikku pada Dik, entahlah, aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku begitu mempercayainya. Aku tak begitu mengenalnya, yang aku tahu kami pernah 4 tahun bersama menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Tak pernah terjadi tegur sapa yang cukup berarti. Hanya beberapa kali saja, seingatku dan tak satupun yang berkesan menurutku. Kami hanya berinteraksi untuk satu kegiatan kampus yang masing-masing kami terlibat di dalamnya. Aku tak pernah tahu tentang asal usul keluarganya, bagaimana ia menjalani harinya atau apapun tentangnya. Aku hanya tahu wajah dan namanya. Lalu, bagaimana mungkin aku begitu mempercayainya?
***
Libur akhir tahun telah tiba, setidaknya aku bisa mengambil satu bulan cuti untuk kembali ke Indonesia. Aku begitu merindukan kedua orang tuaku. Tapi, dibalik kerinduan itu, aku ingin menjalankan sebuah misi. Yah, aku sudah memantapkan hati untuk mencari tau keberadaan Dik. Setidaknya, setelah menjalankan misi ini, aku akan menemukan titik terang dari penantian panjangku selama ini. Aku sudah berusaha mempersiapkan diri untuk semua kenyataan yang akan kutemui nantinya. Aku harus siap, begitulah aku meyakinkan diriku.
Pesawat mendarat di Bandara Hasanudin Makassar. Jantungku berdetak kencang tak beraturan. Aku menyewa sebuah taxi menuju sebuah penginapan, setelah registrasinya selesai, aku hanya meninggalkan barang-barangku di sana dan kemudian menuju terminal Bus Makassar. Aku tak langsung ke rumah orang tuaku, yang ada difikiranku sekarang adalah menemui Dik. Bagaimanapun aku harus mendapatkan jawabannya secepat mungkin.
Aku mendapatkan alamat Dik dari Adam teman kampus kami dulu. Adam pun tak tahu kabar terakhir dari Dik, bukan hanya aku dan Adam yang kehilangan kontak dengannya, tapi semua teman-temannya pun demikian. Namun Adam hanya yakin, bahwa Dik pasti masih di kota asalnya. Dik tidak mungkin pergi jauh dari tanah kelahirannya. Berbekal alamat tersebut, aku pun menuju kota di mana Dik tinggal.
Irama detak jantungku semakin tak beraturan, ia berdenyut lebih cepat dari sebelumnya. Kakiku kaku tak bisa bergerak. Tubuhku bergetar, nanar mataku memandang Dik yang berdiri sekitar 5 meter di depanku. Dik menggendong seorang bayi mungil di teras rumahnya, di sisinya duduk seorang perempuan cantik yang bermain manja menggoda sang bayi di tangan Dik. Air mataku tumpah seiring mata Dik bersitatap dengan mataku.
Aku menghamburkan tubuhku, berlari. “Ra, Rani... Tunggu”. Wajah Dik panik melihatku, dia mencoba menahanku dan ikut berlari di belakangku. Aku terus mengayuh langkahku, sekencang mungkin, semampu yang kubisa. Perlahan, Dik semakin dekat menghampiri langkahku yang kian melemah. Dia berlari mendahuluiku dan berusaha menghentikanku. “Ra, dengerin dulu penjelasanku. Please, Ra!”. Aku berhenti, mematung di hadapannya dengan napas terengah. Aku tertunduk dalam tangisku. Tubuhnya yang jangkung berusaha menatap wajahku dengan sedikit menunduk. “Bisa kita bicara di rumah saja?”. Tanyanya kemudian dengan wajah yang masih lekat menatapku.


***
Aku terdiam mengikuti langkahnya, perasaanku berkecamuk. Rasa malu dan kecewa menggantung di wajahku. Penantianku selama ini, untuk apa? Aku membatin, jika saja hatiku tak menyimpan sedikit iman, ingin rasanya kucabik-cabik tubuh Dik dengan kedua tanganku. Ternyata, aku sakit dengan kenyataan ini.
“Duduklah”. Suara Dik, memecah lamunanku yang membuatku tersadar bahwa aku telah sampai di beranda rumah Dik. Aku mengikut saja kata Dik, aku duduk di atas kursi yang paling dekat denganku. Perempuan tadi dengan bayi di pangkuannya tersenyum ramah padaku. Aku getir memaksakan sebuah senyum untuknya. “Kak Mila, ini Rani, perempuan yang sering kuceritakan selama ini”. Wajahku terangkat memandang wajah Dik, kemudian mataku menuju perempuan yang dipanggil Kak Mila oleh Dik. “Ra, kenalkan, ini kak Mila, kakak kandungku, dan yang dipangkuannya itu adalah Azzam anak pertama kak Mila, ponakanku”. Dik berusaha menjelaskan sedetail mungkin tentang hubungannya dengan perempuan dan bayi itu. Seakan dia paham betul dengan isi kepalaku saat ini. Lagi-lagi aku hanya tertunduk, aku merasa malu dan tidak tahu harus berkata apa.
“Maafkan aku, Ra! Setelah mengetahui kepergianmu ke Brunei, hatiku hancur. Kupikir kamu pergi menghindariku. Sempat goyah perasaanku padamu”. Dik menghela napas panjang kemudian melanjutkannya lagi, “Namun, satu keyakinan muncul dalam hatiku untuk sikap diam-mu. Aku merasa cukup memahami karakter dan prisip hidupmu dari setiap tulisanmu di Blog. Kadang aku mencari makna dari tulisan-tulisan itu, apakah di sana ada sedikit kata untukku, tapi ternyata tidak ada.” Senyum Dik memekar seakan menertawai dirinya sendiri. “Kemudian aku berpikir, biarlah Allah yang menentukan skenario akhir dari perasaanku padamu. Bukannya aku pasrah begitu saja. Di sini, aku selalu menjaga hati untukmu, berusaha siang dan malam demi memantaskan diriku menjadi lelaki belahan jiwamu. Kamu tahu, Ra... Diam-diam aku menjalin kerjasama bisnis dengan ayahmu, demi mengetahui kabarmu dari negeri seberang.” Hening.
Aku termangu mendengarkan penjelasan Dik, kulihat ada aliran bening membasahi wajahnya yang tirus. Azzam menggeliat dari pangkuan kak Mila memecah keheningan yang sempat terjeda oleh sikap diam kami. “Klo begitu, aku pamit pulang.” Aku seperti kehabisan kata, kebingungan. Sekilat Dik dan kak Mila melayangkan pandangannya padaku. “Lo, mau pulang kemana dek? Ini sudah hampir maghrib”. Sela kak Mila menahanku yang sudah mulai bangkit berdiri. “Kamu nginap saja di rumah malam ini. Besok aku dan keluarga akan mengantar kamu pulang, sekalian melamar kamu”. Dengan entengnya Dik mengeluarkan kata-kata tersebut dari bibirnya, memandangku penuh makna, sementara aku, aku seperti orang yang baru bangun tidur, pangling, berjuang menahan luapan bahagia di hatiku.
Sesungging senyum dari wajah Dik membuatku salah tingkah. “Hei, sebentar lagi aku akan menjadi suamimu”. Sedikit berbisik suara Dik sambil berlalu dari hadapanku. “Dik, aku ingin sekarang”. Suaraku lantang hingga menahan langkah Dik dan kemudian dia membalikkan tubuhnya. “Bersabarlah, Adinda. Kamu tidak ingin menikah tanpa wali kan?”. Dik tersenyum dan pergi begitu saja. Perasaan bahagia terpancar dari gerak tubuhnya yang menghilang di balik pintu. Ah, ingin rasanya aku berlari dan memeluknya erat, sangat erat hingga hilang semua penat di dada selama penantian panjang ini. Tapi benar kata Dik, aku harus bersabar. Bukankah setelah dia menikahiku semua sentuhan adalah halal, semua pelukan adalah ibadah dan yang paling pasti aku bisa melihat senyumnya di setiap aku membuka mata di pagi hari dan memeluknya sepanjang usiaku.


***


The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar