Senja di sore itu, membawaku berjalan menyusuri jalan sekitar kantor. Malam perlahan menyelimuti matahari, seperti bilangan keluh kesah menyertai langkah demi langkah kaki. Hingga ia tak berbilang lagi.
*****
Siang itu, jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Aku bergegas menuju parkiran, ingin segera menyenangkan cacing-cacing di perutku. Aku sedikit menarik mundur motorku, tp kok rasanya berat, tidak s...perti biasanya. Aku menunduk sedikit, mencurigai ban. Dan Alhamdulillah, kecurigaanku adalah nyata. Ban motorku kempes.
Aku menghela napas, dan kubisikkan hatiku dengan kata penenang hati, 'Sudahlah Ki, waktumu tuk berbagi dengan mereka yang berprofesi sebagai penambal ban jalanan'. Aku merasa senang bisa membuat hatiku mengambil sisi positifnya, dan mulai mengikhlaskannya.
*****
Aku memandangi kak Karol yang semakin jauh meninggalkanku, ia begitu semangatnya menggiring motorku. Sementara aku, aku yang hanya membawa diri mulai merasa lelah dan hampir saja menyetop ojek. Hampir saja rasa lelahku membuang rasa empatiku.
'Capek banget kak, kita jalan berapa kilo nih? Ada 2 kilo yah kak? Coba aku tau sejauh ini, mending aku tungguin kaka di office tadi'. Kak Karol hanya tersenyum sambil menawarkan air minum. Kemudian ia menertawakanku yang masih terlihat kecapean.
Aku mengalihkan pandanganku pada sosok perempuan yang mulai mengangkat paku pada ban motorku. Awalnya aku fikir, ah..mungkin dia senang aja bantu-bantu suaminya di bengkel. Namun aku semakin terpaku, pandanganku tetap pada perempuan itu, nampak di mataku ia membuka Ban, kemudian menggantinya dan sesekali ia meladeni pelanggan lain yang juga mengalami masalah pada ban motornya.
Menyadari diriku yang semenjak tadi memperhatikan perempuan tersebut sampe mangap, kak Karol kemudian berkata, 'bersyukurlah kamu, karena kamu berpendidikan'. 'Iya kak, seharusnya sy bersyukur, bukannya mengeluh seperti tadi'. Jawabku dengan nada lemah.
*****
Temans, hikmah itu memang selalu ada dimana-mana. Tinggal bagaimana kita mau mengambilnya atau malah mengacuhkannya. Hari ini Allah memberiku pelajaran bahwa berprasangka baik saja pada Allah itu tidaklah cukup jika kita belum ikhlas akan apa yang telah ditetapkan-Nya pada diri kita. Dan keihklasan itu belumlah sempurna jika kita tidak mensyukuri tiap nikmat yang kita rengkuh dalam detik waktu kita. Kini aku baru mengerti, mengapa para Sufi menempatkan rasa syukur setelah takwa, ikhlas, iman dan islam.
Dalam perjalanan pulang yang diiringu kumandang adzan maghrib, kembali aku teringat kata-kata kak Karol. Mengacak-acak kesadaranku bahwa sebisanya Perempuan memang harus berpendidikan dan profesional serta menjadi pribadi yang tercerahkan. Karena kita tidak pernah tau, sampai kapan para lelaki kita membersamai langkah perjuangan hidup.
Allah.. Malu aku mengeluh pada makhluk-Mu.
*****
Siang itu, jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Aku bergegas menuju parkiran, ingin segera menyenangkan cacing-cacing di perutku. Aku sedikit menarik mundur motorku, tp kok rasanya berat, tidak s...perti biasanya. Aku menunduk sedikit, mencurigai ban. Dan Alhamdulillah, kecurigaanku adalah nyata. Ban motorku kempes.
Aku menghela napas, dan kubisikkan hatiku dengan kata penenang hati, 'Sudahlah Ki, waktumu tuk berbagi dengan mereka yang berprofesi sebagai penambal ban jalanan'. Aku merasa senang bisa membuat hatiku mengambil sisi positifnya, dan mulai mengikhlaskannya.
*****
Aku memandangi kak Karol yang semakin jauh meninggalkanku, ia begitu semangatnya menggiring motorku. Sementara aku, aku yang hanya membawa diri mulai merasa lelah dan hampir saja menyetop ojek. Hampir saja rasa lelahku membuang rasa empatiku.
'Capek banget kak, kita jalan berapa kilo nih? Ada 2 kilo yah kak? Coba aku tau sejauh ini, mending aku tungguin kaka di office tadi'. Kak Karol hanya tersenyum sambil menawarkan air minum. Kemudian ia menertawakanku yang masih terlihat kecapean.
Aku mengalihkan pandanganku pada sosok perempuan yang mulai mengangkat paku pada ban motorku. Awalnya aku fikir, ah..mungkin dia senang aja bantu-bantu suaminya di bengkel. Namun aku semakin terpaku, pandanganku tetap pada perempuan itu, nampak di mataku ia membuka Ban, kemudian menggantinya dan sesekali ia meladeni pelanggan lain yang juga mengalami masalah pada ban motornya.
Menyadari diriku yang semenjak tadi memperhatikan perempuan tersebut sampe mangap, kak Karol kemudian berkata, 'bersyukurlah kamu, karena kamu berpendidikan'. 'Iya kak, seharusnya sy bersyukur, bukannya mengeluh seperti tadi'. Jawabku dengan nada lemah.
*****
Temans, hikmah itu memang selalu ada dimana-mana. Tinggal bagaimana kita mau mengambilnya atau malah mengacuhkannya. Hari ini Allah memberiku pelajaran bahwa berprasangka baik saja pada Allah itu tidaklah cukup jika kita belum ikhlas akan apa yang telah ditetapkan-Nya pada diri kita. Dan keihklasan itu belumlah sempurna jika kita tidak mensyukuri tiap nikmat yang kita rengkuh dalam detik waktu kita. Kini aku baru mengerti, mengapa para Sufi menempatkan rasa syukur setelah takwa, ikhlas, iman dan islam.
Dalam perjalanan pulang yang diiringu kumandang adzan maghrib, kembali aku teringat kata-kata kak Karol. Mengacak-acak kesadaranku bahwa sebisanya Perempuan memang harus berpendidikan dan profesional serta menjadi pribadi yang tercerahkan. Karena kita tidak pernah tau, sampai kapan para lelaki kita membersamai langkah perjuangan hidup.
Allah.. Malu aku mengeluh pada makhluk-Mu.
*Thanks buat kak Karol yang mau berlelah ria untukku :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar