CERPEN :
Pagi mengantar kedamaian menelisik jiwa, diiringi jentik irama hujan menyuarakan nada sendu seperti awan yang menutupi wajah matahari. Kupandangi titik-titik putih yang membentuk garisan air jatuh membasahi tanah dibalik jendela kamarku, “hari libur yang indah”, gumamku dalam hati. Aku segera beranjak ke garasi, niatku sudah bulat untuk mencuci mobilku yang sudah hampir tak pernah dimandikan secara layak, hanya air hujan dan debu jalanan yang selalu memeluknya di setiap perjalanannya membersamaiku meniti jalan-jalan di kota Batam.
“Nina, ada telpon”, suara mbok Asih dari dalam rumah memecahkan konsentrasiku yang tengah asyik menghayal sambil nyuci mobil. Si mbok menyodorkan HP padaku, “Dari siapa mbok?”, “Ini, mas Kamil”. “oh, makasih yah mbok”.
“Hallo...”, sapaku. “Assalamu’alaikum”, terdengar salam dari Kamil. “Wa’alaikum salam warahmatullaah”, jawabku. “Na, kamu udah download WhatsAap kan? Teman-teman pada ngegosipin kamu tuh di sana”. “Gossip apa?” Tanyaku penasaran. “Kamu ada hubungan apa sama si Imam?”. “Imam... hubungan apa, ya temanlah, sama seperti kamu dan lainnya”. “Ah..yang benar, sepertinya Imam suka deh sama kamu Na. Udah, kalian jadian aja. Dia kan baik”. “Jadian dari Hongkong, kamu ini, omongannya asal banget”. “Hahahaha.. Kali aja kamu juga suka sama dia”. Aku paling sebal kalo udah dengar si Kamil ngakak menertawakan kejombloanku.
Akhir-akhir ini aku memang banyak diskusi sama Imam di Facebook melalui berbagai koment di statusku, di status dia ataupun status teman-teman lainnya. Dengan usia kami yang rata-rata 26 tahunan ke atas, sudah bekerja dan masih lajang, omongan tentang pernikahan sudah menjadi tema yang sangat populer bagi kami.
Sebagai perempuan yang berasal dari Sulawesi, masyarakat Indonesia mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah “uang panaek” alias uang pinangan yang merupakan salah satu keberadaan hukum adat yang berlaku di masyarakat Sulawesi. Tak jarang kita temui pernyataan dari orang-orang di luar adat Sulawesi yang mengatakan bahwa perempuan Sulawesi itu mahal, maharnya mahal. Padahal yang sebenarnya adalah, mahar dan uang panaek itu berbeda. Mahar, sebagaimana dalam hukum Islam dan uang panaek adalah ketentuan adat. Jadi, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Wah...makin mahal dong, kan mesti menyiapkan mahar dan uang panaek sekaligus.
Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa uang panaek selama ini sangat memberatkan dan membebani, sehingga tak jarang sejumlah pasangan yang mempunyai niatan menyegerakan pernikahannya terhalang oleh adat tersebut, bahkan banyak rencana pernikahan yang batal. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang menganggap bahwa uang panaek itu mempunyai banyak nilai positif. Salah satunya adalah, dengan nilai uang panaek yang tidak sedikit tersebut, maka semua orang akan berfikir, bukan berfikir untuk tidak menikah, tapi berfikir untuk menjaga niat baiknya yang terbangun di atas keseriusan dan kesungguhan memulai berumah tangga. Sehingga, ketika dalam berjalannya rumah tangga yang diarungi bersama ada konflik-konflik yang cukup mengganggu, maka kemudian tidak akan mudah mengucap kata cerai atau dengan gampangnya ingin berpoligami karena ia tau benar bagaimana kerasnya ia berjuang menuju pintu pernikahan.
Secara umum, uang panaek tidak memiliki standar pasti. Umumnya, hanya ditentukan oleh status sosial, pendidikan ataupun karir sang perempuan. Ketentuan tersebut tidak mutlak adanya, seiring dengan kemajuan zaman, ritual adat pun semakin ditinggalkan, termasuk dengan ada tidaknya atau besar tidaknya nilai uang panaek. Jika kedua belah pihak telah sepakat dan tidak terlalu mempersoalkan masalah uang panaek, maka prosesnya bisa lebih simple dan cepat.
Aku sendiri merasa cukup galau dengan keluarga besarku yang menginginkan nilai uang panaek yang cukup tinggi. Sementara, jauh dari lubuk hatiku tak ingin mempersoalkan masalah uang panaek. Inginku hanya mendapatkan pendamping yang faham dengan agama. Tidak lebih. Aku tidak peduli dengan fisik yang indah, yang kubutuhkan hanyalah tempat untukku bersandar dalam pelukan lelaki tercinta. Aku tak peduli dengan harta, yang kubutuhkan adalah tanggung jawab lelaki sejati untuk hidupku dan keturunanku kelak. Aku tak peduli dengan status sosial, yang aku butuhkan hanyalah kebaikan ucap dan laku dari lelaki yang akan menjadi imam-ku nanti.
Aku termenung di dalam kamar, sayup-sayup musik instrument mengalun pelan mengiringi fikiranku yang melayang jauh. Imam, lelaki yang begitu baik menurutku. Dia cukup pendiam dan lumayan enak dipandang mata. Karirnya pun cukup sukses dibandingkan teman-teman lainnya semasa kuliah dulu. Dan akhir-akhir ini kutahu dia begitu bersemangat belajar agama. Sebagai teman, aku sangat bahagia untuk mengetahuinya. Sebagian besar teman-temanku sering godain kami, bahkan secara terang-terangan mereka menjodoh-jodohkan kami. Aku menanggapinya biasa-biasa saja. Aku tidak lantas ngambek atau memutuskan tali silaturrahim dengan Imam. Aku selalu berusaha sebiasa mungkin menanggapi setiap pembicaraan yang mengarah ke aku dan Imam. Namun seiring berjalannya waktu dan banyaknya dukungan dari teman-teman, kurasakan ada perubahan sikap dari Imam. Dia mulai sering sms bahkan menelponku dengan alasan yang gak penting. Aku khawatir dengan perubahan sikapnya, aku takut dia kecewa jika yang dia rasakan adalah tidak pernah sama dengan yang kurasakan padanya.
Kuhadirkan wajah Kamil, kucoba fahami setiap kata dan nada pembicaraannya di telpon tadi pagi. Kucerna baik-baik apa yang dikatakannya baik tersirat maupun tersurat. Kamil sangat tahu kriteria lelaki yang kuinginkan dalam hidupku. Aku yakin dia pun tahu akan perasaanku terhadap Imam, aku tak memiliki rasa padanya. Banyak hari yang telah kulalui bersama Kamil melebihi hari bersama Imam atau lelaki manapun di dunia ini. Selain ayahku, hanya Kamil tempatku menunjukkan ketidakberdayaanku sebagai perempuan mandiri. Bahwa ada saatnya aku membutuhkan uluran tangan lelaki dalam hidupku.
Aku tak pernah bisa menebak perasaan Kamil kepadaku, aku tak bisa memahami sikapnya. Setiap kali ada laki-laki yang mendekatiku, dia selalu sewot. Dalam kata ia mendukungku, namun pada sikapnya dia tidak menginginkan aku bersama laki-laki lain. Hampir tiap kali bertemu, dia selalu ceck sms-sms yang ada di dalam HP-ku. Aku tidak mengerti dan tidak pernah ingin tahu mengapa dia selalu melakukan itu. Selama ini aku tidak peduli dengan sikapnya, namun akhir-akhir ini aku merasa mulai ingin memikirkan masa depanku, masa depanku dengan laki-laki yang kucintai dan mencintaiku.
Aku merasa ada benteng yang kokoh antara aku dan Kamil, benteng yang sama-sama kami bangun dengan perasaan dan sudut pandang yang berbeda. Aku melihat Kamil jauh dari kriteriaku, sementara Kamil merasa aku semakin jauh, semakin tak terkejar olehnya lantaran kemapanan karir, ditambah lagi embel-embel uang panaek. Bila kuraba hatiku, aku pun tak mengerti akan perasaanku pada Kamil. Apakah karena perasaan nyaman, butuh atau karena aku telah terlanjur membiarkan dia masuk lebih jauh dalam hidupku. Fikiranku masih menyimpan utuh kriteria dan karakter laki-laki impianku, sementara di sisi lain, hatiku menaruh harap bahwa kelak laki-laki itu adalah Kamil.
Dan hari ini, Kamil memintaku menerima Imam sebagai lelakiku. Entah mengapa, hatiku perih mendengarnya. Ada perasaan sedih menggelayuti jiwaku, mematahkan semangatku dan mengiris hatiku. Tak terasa pipiku basah, aku tak tahu untuk apa aku menangis dan untuk siapa air mata ini. Aku merasa seperti perempuan bodoh. Bodoh karena telah membodohi diri sendiri. Aku benci perasaanku, aku benci kelemahanku yang telah membuatku jatuh pada rasa yang seharusnya tak pernah ada. Bukankah aku telah berjanji, untuk memberi hatiku, rasaku dan hidupku hanya untuk lelaki yang telah mengambil sumpah pada Tuhannya untukku? Dan kini, aku lalai.
Setahun berlalu, kudengar Imam telah menikahi adik angkatan kami di kampus dulu. Sementara Kamil, terakhir kudengar kabar ia bekerja di Dubai. Kami sama sekali kehilangan kontak. Karena sejak hari itu, aku telah menutup account Facebook-ku selamanya, termasuk mengubur perasaanku pada Kamil.
Hari ini, aku sudah memutuskan meninggalkan Batam dan kembali ke Sulawesi. Aku akan segera menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan oleh kedua orang tuaku. Jantungku berdetak kencang saat kudapati nama laki-laki yang tertulis dalam undangan pernikahanku adalah Kamil. Sejuta tanya bercokol satu persatu dalam fikiranku, bagaimana mungkin ceritanya seperti ini.
Kucoba menahan diri untuk tak melirik wajahnya saat ia memasang cincin di jariku. Kucium tangannya dan kemudian dia mencium keningku lama, sangat lama, seperti banyak kata yang ia sampaikan dari kecupan dan genggaman erat tangannya. Aku tak bisa menahan luapan air mataku, kuhamburkan tubuhku ke dalam pelukannya. “Mengapa begitu lama? Haruskah dulu aku yang memintamu tuk meminangku meskipun kamu hanya memiliki Allah kala itu?”. Tanyaku pada Kamil dengan isak tangis yang mengharu. “Maafkan aku Na”.
Banyak mata memandang kami kebingungan, banyak tanya melihat kelakuan kami. Tapi kami tidak memperdulikannya. Kami tetap saling berpelukan, menumpahkan gelombang kerinduan pada dermaga jiwa yang kini bersatu dalam ikatan pernikahan.
“Dulu, aku pernah mencintai satu pria sebelum kamu menikahiku”. “Siapa???” Tanya Kamil sambil melepas pelukannya. Kupandangi wajahnya dalam-dalam. Kuraih tangannya dan menciumnya. “Pria itu adalah kamu, sayangku”. Kami saling tersenyum dan kupeluk lagi tubuhnya.
Jodoh, satu kata yang sangat misterius, namun ia selalu menjadi bagian pencarian hidup yang menggairahkan. Jodoh, ia selalu membawa satu jiwa menuju satu jiwa lainnya untuk kemudian bertemu dan bersatu dalam takdir yang telah dituliskan Tuhan dalam kitab Lauh Mahfudz-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar