Sebelumnya, aku tidak pernah mengijinkan hati dan perasaanku terpaut pada satu sosok. Meskipun sering kali rasa kagum terlintas dalam benakku pada beberapa orang yang kutemui dalam hidupku, namun selama ini aku selalu berhasil mengelola hatiku. Inginku masih tak mampu mengalahkan idealismeku, tak ada cinta sebelum ada ijab kabul terucap. Tapi kali ini, kurasakan ada yang berbeda. Aku yakin bahwa rasa ini bukan perasaan cinta, hanya saja aku merasa ada sesuatu darinya yang membuatku mau memberikan sedikit waktu untuk berfikir. Bahkan, akhirnya aku menyerah hingga melakukan sholat istikharoh pertamaku.
Lagi-lagi, aku merasa ini bukan perasaan istimewa yang telah lama kusimpan rapih dalam hidupku. Hanya saja, dia datang di saat hatiku mulai memberi ruang bagi diriku untuk memikirkan pernikahan. Jika dulu, setiap cinta yang datang, kupastikan akan kutolak, siapa pun dia. Entah mereka yang aku kenal atau sama sekali belum aku kenal, aku selalu menolak. Dan kali ini, dia datang dengan membawa harapan untukku. Aku bingung, rasaku ingin menolak, namun aku tak mengerti, mengapa mulut ini susah untuk mengatakan tidak.
Aku mulai memikirkan nasehat teman-teman yang selalu menyalahkan sikapku. Aku memang terlalu egois karena tidak pernah memberi kesempatan kepada orang lain dan diriku sendiri untuk sedikit saja maju melangkah satu atau dua langkah untuk mengenal orang lain lebih dalam. Toh kata mereka belum tentu harus berujung dengan pernikahan, jika memang tidak cocok. Namun, bagiku, aku tidak menginginkan banyak proses ta’arruf dalam hidupku. Jika bisa, aku hanya ingin sekali saja melakukannya dalam hidupku dan berharap itu pulalah yang terakhir. Namun, itu memang hanyalah inginku semata. Bagaimanapun semuanya telah ditentukn oleh Allah dalam takdir-Nya.
Muhammad Aslan, dulu ia selalu dipanggil Aan oleh teman-teman angkatannya. Dia setahun dibawahku, intensitas pertemuan kami memang cukup banyak dalam beberapa syuro’ (rapat, red) dan karena memang kami satu jurusan di kampus. Dari syuro tersebut, aku cukup mengenalnya, tahu sedikit karakternya dan pola fikirnya. Dan saya yakin begitupun sebaliknya. Meskipun kebanyakan pembicaraan diantara kami selalu di balik hijab bersama dengan ikhwan akhwat lainnya dan kami tidak pernah membahas masalah pribadi di sana.
***
Tak ingin larut dalam perasaan dan beberapa fikiran yang cukup mengganggu, akhirnya kuputuskan menulis surat melalui inbox facebooknya. Sebenarnya kami sudah sepakat menunjuk satu orang sebagai perantara kami, namun aku tetap berinisiatif untuk mengungkapkannya melalui tulisan. Aku tak bisa mengungkapkan lewat kata untuk hal yang satu ini, aku telah terbiasa dengan hatiku perasaanku sendiri. Perasaan yang tak pernah kubagi dengan siapapun, bahkan itu adalah ibu kandungku sendiri. Sungguh, aku tidak mampu mengungkapkan perasaanku dengan kata.
Dalam surat tersebut, aku hanya mengisyaratkan tentang bagaimana kondisiku saat ini, tentang beberapa mimpi yang ingin kuraih di masa depan dan termasuk masalah jarak yang terbentang begitu jauh diantara kami. Aku memberinya 2 opsi, jika ingin menikah denganku maka pilihannya adalah Long Distance atau dia yang harus ikut aku ke Batam.
Tak lama kemudian dia pun membalas suratku. Tiba giliran dia meminta waktu untuk berfikir. Aku pun mengiyakannya. Sebelumnya aku memang memintanya untuk banyak-banyak mendirikan sholat istikharoh dan memikirkan setiap pertimbangan-pertimbangan akan kondisiku yang sudah kejelaskan padanya. Akupun melakukan hal yang sama, aku berfikir dan dalam doa aku selalu bermohon pada-Nya untuk diberi ketetapan hati dalam mengambil keputusan.
***
Aku memandangi sebuah masjid di hadapanku, masjid ini pernah menjadi tempatku melabuhkan kegelisahan dan kepenatannku kala masih memulai karir di Batam. Selepas sholat maghrib berjamaah, aku mendirikan sholat Istikharoh. Suara tangisku tenggelam dalam derasnya hujan yang membahasahi bumi. Aku memohon pada-Nya untuk keputusan yang terbaik. Aku bangkit dari sujud terakhirku yang panjang, hatiku tersentak dengan satu lintasan dalam hatiku. “Tidak Ra, bukan dia”. Namun, aku masih berusaha melawan kata hatiku tersebut. Mungkin aku masih butuh waktu berfikir dan beberapa kali lagi untuk istikharoh.
Semakin aku memikirkannya, justru semakin aku ragu untuk melanjutkan proses ini. Aku merasa ada benteng yang kokoh memisahkan kami, ada jarak yang tidak bisa disatukan. Rencana masa depan yang kususun rapih tak bersesuaian dengan mimpi-mimpinya. Dan aku belum siap untuk kehilangan mimpi-mimpiku, begitupun dengan dirinya. Hampir saja aku memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ini, tapi aku tak ingin menyakiti perasaannya. Aku tidak ingin dia berfikir bahwa aku tidak bisa melanjutkan proses ini karena masalah duniawi semata. Bukan itu, aku sungguh tidak mempermasalahkan akan usianya, sifatnya, fisiknya ataupun pekerjaannya saat ini. Ini hanya masalah mimpi yang sulit disatukan.
***
Beberapa hari kemudian, dia mengirim sms memberitahuku untuk segera membaca inbox facebook-ku. Ada ketakutan menyelimuti hatiku, aku takut dia tetap bersikeras melanjutkan proses ini. Kubuka pelan-pelan facebook-ku dan membaca suratnya dengan seksama.
“Bismillahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikukum warahmatullaahi wabarokaatuh.
Alhamdulillah saya suduh berdiskusi dengan keluarga tentang masalah ini (maaf kak saya tidak bisa tanya pendapat almh.mama karena beliau sudah berpulang 2 tahun lalu)..mereka banyak memberi masukan, pengertian dan bahan pertimbangan lainnya, tapa intinya bagi mereka semua ini keputusannya kembali pada saya.
Kak... Mungkin baiknya klo saya juga menceritakan kondisi saya saat ini dan rencana-rencana saya ke depanya, semoga ini dapat menjedi sesuatu yang dapat memperjelas semuanya...
Sekarang ini saya sedang mendapat amanah dari keluarga untuk memegang dan melanjutkan beberapa usaha mereka. Karena usahanya masih kecil-kecilan, saya mempunyai banyak rencana untuk mengembangkannya serta mengelolanya secara profesional. Untuk memulai semua itu tentunya saya membutuhkan banyak dana dan alokasi waktu serta tenaga di sana. Kerena kebutuhan tersebut, saya harus meminjam dana dan menyediakan fasilitas yang menunjang berjalannya usaha tersebut. Lagi-lagi saya membutuhkan dana besar untuk itu. Saya ingin kelak, jika usaha ini berhasil maka kemudian saya bisa menembus pasar internasional dan memajukan para petani di daerah saya. Itulah mimpi-mimpi besar saya saat ini kak...lucu dan aneh memang, seorang engineer bercita-cita ingin menjadi pengusaha pertanian. Hehehe...
Kak...kemarin saya banyak berfikir, membuka kembali rancangan impian saya ini dalam pikiran saya, kemudian saya sadar bahwa saya telah melakukan kesalahan...bukan kak..perasaan ini tidak pernah salah...yang salah adalah betapa bodohnya saya telah terbawa oleh perasaan ini sampai tidak berpikir panjang tetang konsekwensinya..betapa bodohnya saya yang berpikir cinta hanya sebuah pengungkapan, saya tidak menyadari bahwa setelah itu cinta akan menuntut sesuatu yg lebih serius dan saya ternyata belum siap. Apa sebenarnya yg membuat saya belum siap??? Kakak lihat saja kondisi saya diatas..saya sementara mau merintis usaha, membangun pondasi kehidupan saya, disana ada rencana meminjam modal untuk biaya operasional dan kebutuhan lainnya...klo saya tetap ngotot untuk menikah..rencana itu jelas batal...kak..klo pun saya memksakan ini semua, saya tidak hanya mendzalimi diri sendiri tapi juga mendzalimi kakak,keluargaku,keluaarga kakak, dan banyak lagi orang yang akan terdzalimi.
Kak, dari sini bagi saya masalahnya bukan lagi dua pilihan yang kakak berikan...masalahnya adalah saya yang tidak mampu UNTUK SAAT INI..walaupun saya juga sadar di satu sisi semampu apapun saya, dua pilihan yang kakak berikan sejujurnya masih tetap terasa berat untuk saya.
Terakhir satu hal yang perlu kakak ketahui, bahwa perasaan ini sungguh benar adanya..kekaguman ini sudah ada sejak kebersamaan di kampus, dirapat-rapat dulu..kakak yang selalu memberi solusi di setiap rapat, kakak yang klo saja adalah seorang ikhwan bahkan lebih pantas menjadi mas'ul dibandingkan saya.. Kakak adalah gambaran sosok akhwat yg paling komplit di mata saya.. terlepas dari kekurangan-kekurangan yang kakak miliki, karena bukankah tak ada yang sempurna di dunia ini? Itulah sebabnya perbedaan itu diciptakan, untuk saling menutupi dan mengisi kekurangan masing-masing.
Kak...saya sungguh mohon maaf atas kebodohan ini..saya mohon maaf telah membuat kakak terganggu beberapa hari belakangan ini hanya untuk memikirkan ini semua..saya mohon maaf atas kebodohan saya kak..tapi yang pasti saya tidak pernah merasa bodoh dengan perasaan yang saya miliki terhadap kakak..
Afwan, jika ada kata yang kurang berkenan..
Wassalam...”
Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar. Takbir bergemuruh dalam hatiku, tak terasa ada bulir panas yang membasahi pipiku. Seperti air yang membasuh jiwa pelepas dahaga, Allah menjawab keraguanku kepadanya. Yah, inilah jawaban dari istikharohku kepada-Nya. Ada kelegaan yang tak terkira dalam hati dan fikiranku. Aku mengingatkan diriku pada sebuah hadits Rasulullah SAW, “Jiwa-jiwa itu bagaikan tentara-tentara berbaris rapi; Jika saling mengetahui (mempercayai) mereka akan bersatu, dan jika saling mengingkari, mereka akan berpisah.” (HR. Bukhari).
Yah, mungkin keraguan inilah yang mengingkarinya dan Allah mengirimkan pesan pada hatinya yang baik untuk melakukan hal lain daripada memaksakan kehendaknya padaku. Kuraih HP-ku dan mengirim sebuah sms padanya, “Aku sudah baca suratnya, terima kasih karena kau mencintaiku”.
“Iya kak, saya berharap suatu saat nanti saya masih mempunyai kesempatan untuk itu”. Balasnya kemudian.
“Kita tidak pernah tahu akan rahasia yang tersembunyi di hari esok, bukankah takdir tidak akan pernah tertukar?”. Balasku padanya.
“Iya kak, i’ll put it in my mind. Forever!”.
Langit begitu cerah dengan senja memerah di ufuk barat. Akhirnya aku bisa tersenyum lepas tanpa beban di hari ini. Rabbi, terimalah rasa syukurku yang menyamudera dan menggunung pada-Mu. Aku hanyalah hamba-Mu yang kecil lagi hina yang selalu mencari keridhoan-Mu dalam setiap langkahku. Aku akan tetap menunggu sang Imam yang telah Engkau takdirkan untukku. Siapa pun dia, karena dari dulu, hari ini dan selamanya, hati ini telah menjadi miliknya. Rabbi, sampaikanlah salamku padanya, bahwa di sini ada gelombang kerinduan yang menanti untuk disandarkan dalam dermaga jiwanya yang mulia. Aku tak peduli, berapa lama lagi penantian ini, karena hatiku telah yakin dengan setiap janji-Mu.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar