Sekarang saya benar-benar mulai mengerti. Mengapa sampai sekarang saya belum menikah. Bukannya Allah tidak memberikan saya kesempatan untuk mengenal orang-orang baik dalam hidupku, yang tidak baik itu bukanlah mereka, tapi diriku sendiri. Saya selalu mencari sosok yang sempurna di mata dan nalarku, sementara jauh di dasar hatiku mengetahui bahwa saya bukanlah orang baik. Saya belum pantas untuk setiap kebaikan yang kuinginkan.
Kebanyakan menilai dari luarnya saja, yang bisa dilihat oleh mata saja. Padahal, yang sesungguhnya saya tidaklah sebaik dari yang dipikirkan orang-orang di sekitarku. Sebenarnya saya sering muak dengan pengakuan-pengakuan itu, tapi itu hak mereka, mungkin itulah yang dirasakannya.
Jika saya lebih banyak tersenyum, cenderung cuek dan sering memilih diam atau pergi begitu saja ketika saya menemukan kondisi yang tidak saya sukai, bukan berarti saya tidak bisa marah, apalagi ada yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang tidak bisa marah. Yang sesungguhnya adalah bahwa saya seorang pemarah. Saya diam ketika marah karena takut mengeluarkan kata-kata yang tidak ingin kalian dengar, dan saya sadar konsekuensinya, kalian bukanlah orang tuaku atau saudara kandungku yang seberapapun marah dan kasarnya ucapanku, dalam hitungan detik atau menit, semuanya bisa terlupakan, seperti buih yang tertelan ombak. Tapi jika itu kalian, saya tau akan susah membuatnya seperti semula. Begitupun jika saya lebih memilih untuk beranjak pergi, saya malas berdebat.
Itu masalah sifat pemarahku. Kemudian masalah tanggung jawab. Mengurus diri sendiri saja saya sudah kewalahan. Apalagi harus mengurusi anak orang lain, ditambah lagi anak-anakku kelak. Saya tidak mungkin selalu membebani suamiku kelak dengan setiap hari memintanya memasang kancing lengan kemejaku karena saya begitu sulit melakuknnya sendiri. Saya tidak mungkin menjadikan suamiku seperti alarm seumur hidupnya untuk sekedar mengingatkan aku agar tidak lupa memakai kacamata, tidak lupa membawa dompet, tidak lupa mengunci pintu rumah, dll sebagainya. Saya sendiri sudah pusing dengan sifat pelupaku, bagaimana dengan orang lain???
Bagaimana mungkin saya akan memijat suamiku yang kelelahan mencari rezeki untukku nanti jika saya masih sering berpikir 1000x untuk mencuci piring di dapur. Kemudian, apakah saya masih akan meminta pakaian di londry saja karena takut kulit tanganku rusak? Ahhh...aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya suamiku kelak karena mendapatkan aku sebagai istrinya.
Suamiku makan apa nanti, jika sampai sekarang memasak sayur sup saja saya tidak tau? Tidak mungkin kami akan makan di warung terus kemudian akan meng-delivery order jika malas keluar rumah seperti yang selama ini kulakukan. Itu bukanlah rumah tangga, tapi sebuah kehidupan yang pincang.
Lalu, bagaimana dengan anak-anakku kelak? Bisakah saya mengalirkan kasih sayang dan cinta mengikuti aliran darah mereka? Betapa diri ini begitu diselimuti kekurangan. Saya tidak tau menunjukkan perhatian yang baik buat anak-anak kecil. Saya tidak tau bagaimana cara mendapatkan hati mereka. bayangkan saja, 2 minggu tinggal di rumah bersama 3 orang ponakanku, dan saya tidak bisa menjinakkan si bungsu untuk dengan ikhlas menuju pangkuanku. Betapa sakitnya perasaanku melihat pemandangan itu.
Saya masih butuh banyak waktu untuk belajar, menata hati dan pikiran biar bisa bersikap lebih dewasa dan bertanggung jawab. Saya tidak bisa mengharapkan orang lain untuk membantuku keluar dari urusan pelik ini, apalagi bermimpi ada laki-laki baik melebihi malaikat mau memaklumi semua kekurangan-kekuranganku tersebut. Yaa Allah, sungguh berat urusan ini bagiku, tapi kumohon, mampukan aku untuk bisa memperbaiki semuanya...
Aamiin yaa Rabb...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar