13 Feb 2012

Baik dan Buruk

“Suatu kebaikan tidak dikatakan baik jika pada akhirnya berujung pada keburukan. Dan suatu keburukan juga tidak dikatakan buruk jika pada akhirnya membawa kebaikan”. Saya tidak ingat, itu hadits apa sebuah pepatah bijak. Tapi saya sangat tertarik tentang esensi dari kalimat tersebut.
Sering kita mendapatkan orang-orang atau diri sendiri sibuk melakukan pembenaran atas tindak tanduk dan kata-kata yang kita ucapkan. Sadar atau tidak sadar, sejatinya banyak hal buruk yang kita lakukan yang kemudian dicari pembenarannya oleh akal. Semua berawal dari niat dan diakhiri dengan niat pula, itulah hasilnya.
Ada suatu kejadian di Batam, dimana ada sebuah komplotan perampok profesional yang juga memiliki beberapa Lembaga Sosial. Jadi, dari hasil pencuriannya tersebut, mereka gunakan untuk kegiatan amal. Tujuan mereka memang baik, yakni membantu sesama, tapi caranya yang tidak baik. Kalau dilihat dari pepatah di atas, ini tidak bisa dikatakan hal buruk yang kemudian menjadi baik karena bagaimanapun mereka telah mencuri. Juga tidak bisa dikatakan hal baik karena pada akhirnya yang namanya hasil curian tetap tidak baik untuk dikonsumsi. Haram..
Mungkin kita sudah familiar dengan istilah “white lie”. Terkadang kita dikondisikan untuk melakukan sebuah kebohongan demi yang kita anggap kebaikan untuk seseorang. Namun terkadang, dari kebohongan ini ada pihak lain yang kita rugikan. Jadi tetap saja hasilnya buruk meskipun niat awalnya baik. Yah, kecuali bohongnya menyangkut nyawa seseorang, mungkin bisa ditolerir-lah.
Atau sikap keras & tegas orang tua terhadap anaknya. Banyak kita jumpai orang tua yang kemudian memukul anak-anaknya lantaran ingin melihat kebaikan pada anak-anaknya. Sekilas kita melihat itu buruk, namun pada akhirnya itu akan membawa kebaikan buat sang anak. Untuk itu, KOMNASHAM harus jeli melihat kasus seperti ini.
Jadi untuk memahami pepatah tersebut diperlukan kedewasaan dan kejernihan pikiran serta wawasan yang luas pula. Terkadang kita hanya mau menerima suatu kebenaran dari sudut pandang kita sendiri atau dari orang-orang yang kita “anggap” benar tanpa mau menerima kebenaran dari sisi sudut pandang orang lain.
Adakalanya, kita sudah menggunakan dalil yang sama kemudian sudah dikuatkan oleh pendapat ulama terdahulu yang sama pula, namun karena yang kembali mengatakannya dari kelompok yang berbeda maka kebenaran itu kemudian kita tolak. Ini masalah, masalah mental atau kejiwaan. Pemikiran yang sempit, egoisme tinggi selalu saja membutakan hati kita. Padahal tidak ada celahnya jika mengakui kebenaran itu, jika memang benar. Klopun kita bersebrangan pendapat, seharusnya kita tidak saling menghujat tapi menjadikannya sebagai tambahan wawasan.
Kembali lagi ke masalah niat, karena segala sesuatunya itu berpangkal pada niat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar