16 Mei 2012

Kesempatan Kedua

Cerpen:

Malam ini dia datang, setelah sekian lama, masih dengan hati yang sama dan senyum yang sama. Lesung pipi yang tampak begitu indah sempurna mencerahkan wajahnya. Tatapan matanya... Ah, sungguh aku tak kuat bersitatap lama dengannya. Masih tertulis jelas setiap bahasa yang tumpah dari tatapan mata itu. “Diamlah, tak perlu berkata satu patah pun. Tatapan matamu sudah cukup bercerita banyak hal, jadi tidak usah menambahkannya lagi dengan kata-kata yang hanya akan melukai dirimu sendiri”. Sekiranya, begitulah bahasa mata kami kala sejenak bersitatap.
Apa yang kita lakukan? Puluhan menit telah berlalu dalam diam. Duduk bersisian di teras rumah, memandangi langit yang berhias bintang - gemintang. Cahaya temaram bulan sabit menyisir daun pohon jambu yang menaungi. Dan kita masih saling mendiamkan diri.
Aku tau, dia tidak akan pernah beranjak pergi dan berhenti memandangi bulan saat aku berada di sisinya. “Kau tau, dari 24 jam kepingan waktu yang kumiliki dalam sehari, bersamamu menatap takzim sinaran bulan adalah yang paling membahagiakan bagiku” begitu katanya, dulu, di satu waktu setelah dia melamarku. Ya, dulu...ketika hidup masih berjalan datar-datar saja tanpa hantaman gelombang perbedaan pandangan hidup. Saat dua hati masih dipenuhi keyakinan akan kekuatan cinta yang mampu menyingkap segala aral yang merintang, dan saat hati – hati itu, lalai. Bahwa cinta saja tidak pernah cukup hanya dalam kata yang diucapkan, bahwa cinta selalu meminta tuk difahami, bahwa cinta akan meminta semua yang kita miliki. Dan kita, mimpi – mimpi kita terlalu jauh berbeda. Mimpi – mimpi itu begitu kejam membawa kita berjalan berjauhan, semakin lama semakin jauh dan tidak mungkin membawa kita pada satu ujung yang sama. Mimpi – mimpi itu ibarat gunting yang berjalan untuk memisahkan.
“Tiga tahun, tidak terasa yah?”. Akhirnya suara itu memecah kebisuan malam. Suara yang begitu kurindukan hingga menggigil hatiku menahannya. Wajah itu tertunduk, memainkan Handphone di jemari tangannya. Aku menatapnya lamat-lamat, menunggu ucap kata demi kata berikutnya.
“Bagaimana pekerjaan kamu? Ah, iya. Ibu Manager”. Sesungging senyum di balik wajah menunduk itu.
Aku kembali memalingkan wajahku ke arah bulan. “Lancar, semuanya berjalan seperti yang aku rencanakan, bahkan lebih dari itu. Kamu sendiri, bagaimana?”. Ah..bodohnya aku. Betapa angkuhnya jawaban itu.
“Baguslah!” Arya mendesah panjang, selintas memalingkan pandangannya ke arahku, kemudian menunduk lagi. “Aku... sekarang masih seperti dulu. Melanjutkan bisnis orang tua sembari mencoba merambah bisnis lainnya. Alhamdulillah, hasilnya sudah lumayan. Lumayan menggemukkan dompet dan perutku. Hehehe...”. Aku ikut tertawa, tanpa suara. Dia memang masih seperti yang dulu, ada-ada saja kata-katanya yang bisa membuatku tertawa. Bahkan ketika aku marah pun, dia selalu sukses meredakannya.
*****
Sampai sekarang, akupun masih belum mengerti. Sejak memutuskan untuk mengakhiri rencana pernikahan yang tinggal tiga puluh hari itu, ketika undangan sudah dicetak, ketika cincin sudah dipesan, ketika sumringah bahagia terpancar di wajah-wajah keluarga besar kami, ketika itu juga satu keputusan bodoh mengubah 180 derajat rencana kami. Berhenti, itulah solusi akhir dari perdebatan kami malam itu. Masalah sepele, tapi rasa ego lebih mendominasi.
“Bukankah sudah kutegaskan dari awal bahwa di kota inilah hidupku? Di kota inilah tempatku akan memulai langkah tuk mewujudkan mimpi-mimpi besarku dan aku tidak mungkin meninggalkan semuanya begitu saja walau apapun yang terjadi, walau siapapun yang memintanya. Dan bukankah dulu kamu tidak pernah mempermasalahkannya? Tidak mengapa katamu. Tapi sekarang, apa? Arya, sebentar lagi kita akan menikah. Kamu sadar itu kan?”. Emosiku meluap pada Arya, tiba – tiba saja dia mengungkapkan keinginannya untuk membawaku ikut pergi bersamanya, kemanapun ia pergi. Padahal dia sangat tau, aku mau menerima lamarannya karena dia berjanji tidak akan berkeberatan dengan resiko long distance jika dia tetap bersikukuh menjadikan aku istrinya. Mengapa juga aku menerimanya?
“Maafkan aku, tapi sungguh ini akan terasa berat, Rana. Coba kamu fikir baik-baik. Untuk apa kita menikah jika tidak bisa bersama? Aku ingin ketika kamu sudah menjadi istriku, kamu  selalu bersamaku, di sampingku, setiap waktu. Aku akan mampu memenuhi semua kebutuhanmu. Di sana juga kamu bisa bekerja lagi, apapun itu, tapi aku tidak ingin jaraknya sejauh ini. Dan kamu juga tau, aku tidak mungkin bisa hidup di kota ini. Hidupku, ada di tempat lain. Bukan di sini, Rana”. Arya memelas, memohon pengertianku.
“Arya...” aku terdiam cukup lama. Menggantung kata-kata dalam fikiran. “Baiklah...sepertinya ke depannya memang akan sangat sulit. Jujur, aku pun ingin selalu menghabiskan waktu bersama suami yang kucintai, tak ada yang menginginkan pernikahan yang berjarak. Tapi, kondisi kita saat ini sangat tidak memungkinkan. Kamu dengan rencanamu dan aku dengan rencanaku, semuanya tidak bersesuaian. Aku masih sangat ingin melakukan banyak hal di sini. Mewujudkan satu per satu mimpi – mimpi yang kubangun di waktu yang lalu. Entahlah, aku tidak bisa menjanjikan apa – apa padamu bahwa satu, dua atau tiga tahun ke depan aku akan menghentikan langkahku di sini dan melabuhkan seluruh hidupku kemanapun kamu membawanya. Aku tau, suatu saat nanti aku akan melakukan itu untukmu. Bahkan tanpa diminta pun. Tapi, aku tidak bisa memastikan kapan waktunya”. Arya diam seribu bahasa, berfikir keras mungkin. Sesekali terdengar desahan nafasnya dari pulau seberang sana.
“Jadi, mau kamu gimana, Ra?” suara Arya terdengar parau, datar.
Tangisku hampir pecah seketika demi mendengar pertanyaan Arya itu. Dia laki-laki, seharusnya dia yang memutuskan. Tapi...sudahlah. Sifat ketidaktegasannya inilah yang paling aku benci. Sekali saja aku melihat dia mempertahankan pendapat dan keinginannya, tapi justru di situlah letak masalahnya. Aku terkadang heran, untuk beberapa kebiasaan burukku dia selalu memakluminya, tidak sekalipun dia complaint. Padahal, aku merasa tidak akan keberatan jika saja dia melarangku. Entahlah...
Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mataku sudah basah. Kukuatkan hatiku dan mengatur nada bahasaku. “Arya, sekarang aku tanya dan tolong dijawab dengan jujur. Apa ada di hatimu, sedikit saja perasaan tidak ridho terhadapku jika setelah menikah nanti aku masih tetap melanjutkan karir di sini?”
“Perasaan itu pasti ada, Ra. Tapi...iii”.
“Sudahlah, Ya. Aku ngerti”. Aku langsung memotong kata-kata Arya tanpa memberinya waktu untuk berbicara lagi. Bagiku jawaban itu sudah cukup. “Batalkan saja pernikahan kita!!!” suaraku bergetar. Seperti ada sembilu tajam yang menghujam hatiku. Sakit...
“Maksud kamu apa, Ra? Kamu jangan main-main”. Arya mulai emosi.
“Aku tidak main-main, Ya. Inilah solusi terbaik untuk kita. Tidak perlu memaksakan keadaan”.
“Ra, kamu sudah gila yah? Apa kata orang tua kita nantinya? Kamu ini gak mikir apa?”.
“Keputusanku sudah bulat. Tidak akan ada pernikahan. Maaf!!!” aku langsung mematikan Handphone dan melemparkannya ke sembarang arah. Plaaakkkkk...berserakan!
Aku menangis sejadi-jadinya. Membenamkan wajah di atas bantal. Bagaimanapun keputusan ini sangat menyakitkan. Baru kali ini aku merasakan sebuah perasaan sakit yang hebat. Mimpi-mimpi indah yang pernah terangkai akan kehidupan bahagia selamanya bersama Arya, musnah seketika.
*****
Tak bisa kupungkiri, bahwa hatiku mulai berharap banyak pada Arya setelah semua proses lamaran selesai. Perasaan itu tumbuh begitu cepat, membesar dan mengalir deras tanpa bisa kuhentikan. Apalagi kami sempat bertemu sekali. Maka semakin memekarlah rasa hatiku.
Sempat tidak percaya, dan malah bingung awalnya ketika orang tuaku memberi kabar kalau seorang teman melamarku. Apalagi pas tau itu Arya. Sekalipun tidak pernah terlintas di fikiranku. Kami memang sudah lama saling kenal. Bagaimana tidak, lima tahun kuliah hampir tiap hari ketemu. Teman sekelas. Hanya saja, meskipun kami sekelas tapi kami tidak cukup akrab. Dia jarang menyapaku dibandingkan teman-teman yang lain. Aku juga bukan tipe perempuan yang suka sok kenal sok dekat, jadi kalau aku merasa dicuekin sama seseorang maka akupun akan bersikap demikian. Aku tidak pernah berusaha membangun hubungan keakraban dengan siapapun teman lelakiku. Rasanya, membiarkan mengalir begitu saja, bertemu, saling sapa, bercanda, berbagi tugas, dan lainnya. Bersikap apa adanya, tidak memaksakan untuk tampil sempurna di hadapan orang lain, menghindari konflik dan sebisa mungkin tidak menyakiti sesama bagiku adalah modal terbesar dalam bergaul. Begitu sudah cukup.
Sebenarnya, Arya sudah seperti kenangan yang hilang bagiku. Hampir saja sudah tak ada bagian kebersamaan dengannya yang tertinggal di memoriku. Hanya satu yang tertinggal. Suatu waktu aku tidak masuk kampus selama tiga hari karena kurang enak badan. Tiba-tiba saja dia datang menjengukku di tempat kos. Ya, kos kami memang berada di kompleks yang sama, hanya saja beda gang dan aku sering mendapatinya sholat berjamaah di Masjid dekat kos-ku. Oh yah, ada lagi yang kuingat. Pernah beberapa kali kami jalan bareng pergi dan pulang kampus. Tapi, aku sudah kapok jalan sama dia. Terlalu cepat, aku tidak bisa mengimbanginya. Malah jadi tidak nyaman karena dia harus selalu berhenti beberapa kali, demi menungguku pas menyadari bahwa aku tertinggal jauh di belakangnya. Setelah itu, aku memutuskan naik angkot. Lagian lumayan jauh juga jalan kaki untuk ukuranku. Capek. Belum lagi kalau dilihat sama teman-teman, ada-ada saja yang menatap curiga. Selama perjalanan juga garing banget, lebih banyak diam. Yang dibicarakan paling tugas kuliah, setelah itu, tak pernah ada tema lain. Bosan kan?
Setelah lulus kuliah dan masing-masing sudah meninggalkan kota Makassar, hampir-hampir sudah tidak ada lagi komunikasi. Tak ada sms apalagi teleponan. Paling lewat facebook. Itupun pembahasannya umum-umum saja. Misalnya, sama-sama di tag pada photo yang sama atau di group khusus satu angkatan ketika kuliah dulu. Barulah sesekali dia mention namaku dan kadang-kadang ikutan menggodai aku, apalagi kalau Manchester United kalah, dialah yang paling semangat menghina-dina diriku. Semua sikapnya tampak normal-normal saja, tidak ada kesan dia menyukaiku. Mungkin aku yang terlalu naif untuk menyadarinya.
Hingga suatu hari dia muncul di chat room-ku. Menanyakan alamat lengkap orang tuaku. Tanpa curiga sedikitpun, aku memberi tau dia. Fikirku, paling dia lagi pengen jalan – jalan di sana sekalian nyari tempat beristirahat gratis. Soalnya, dulu di kampus aku sering bilang ke teman-teman, kalau misalnya ada diantara mereka yang jalan-jalan ke kotaku, silahkan saja singgah di rumah. Di sana hanya ada ayah-ibuku, jadi kalau mau nginap, boleh-boleh saja.
Sebuah proses yang sangat singkat dan tidak bertele-tele. Arya mendatangi rumah, menyampaikan niat baiknya langsung ke Ayah dan Ibuku. Setelah itu Ayah dan Ibu menanyakan kesediaanku. Meskipun shock, tiga hari kemudian nyatanya aku meng-iyakan. Aku menerima lamaran itu.
Sembari persiapan pernikahan berjalan, komunikasi diantara kami pun ikut berjalan, termasuk perasaan cinta. Hingga pada puncaknya ada satu hal yang tidak bisa dikompromikan. Aku seperti diperhadapkan pada pilihan yang sulit, menikah atau tetap berkarir.
*****
“Kenapa belum nikah?” pertanyaan itu sontak membuyarkan lamunanku. Putaran rekaman kejadian-kejadian itu terhenti seketika. Aku sedikit kikuk, tidak tau harus menjawab apa. “Atau jangan-jangan kamu menunggu aku yah? Ayo ngaku!!!” Arya semakin membuatku nervous, apalagi melihat senyum renyahnya yang seakan menunjukkan rasa kemenangan karena berhasil membuatku mati kata.
“Iihhhh...GeEr...!!!” aku pun ikut tersenyum. Tidak, tertawa tepatnya. Tanpa suara.
“Jadi gimana, Ra. Kamu masih mau kan jadi istriku?”. Ringan saja kata-kata itu keluar dari mulut Arya. Menatapku serius. “Ini sudah lamaranku yang kedua loh, aduhhh...jangan ditolak yah. Pleaseeeee!!!”.
Aku yang demi melihat ekspresi wajah Arya malah ngakak. Kali ini benar-benar tertawa dengan suara. “kamu ini apa-apan sih, Ya?”. Pura-pura bodoh, pura-pura gak ngerti, pura-pura tidak percaya, pura-pura tertawa. Semua kepura-puraan itu, asli untuk menutupi sejumput rasa bahagia yang seketika membuncah di hatiku.
“Rana, demi Allah. Aku serius”.
Aku menghentikan tawaku. Terdiam. Aku benar-benar mati kata, mulut seperti terkunci rapat dan otakku seakan berhenti berfikir. Seolah-olah bumi pun ikut berhenti berputar.
“Aku ingin kita menikah, Ra. Aku yakin, hingga detik ini hanya aku laki-laki yang ada di hatimu, di fikiranmu bahkan dalam setiap mimpimu. Kurasa, keyakinanku ini tidaklah berlebihan apalagi kamu menyebutku narsis. Terserah. Tapi, itulah keyakinanku. Aku tidak peduli, jika setelah pernikahan kita nanti kamu tetap memilih mengejar mimpimu, aku tidak lagi peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan kita. Karena aku tau kamu sangat mencintaiku. Cintamu selalu lebih besar dari yang kumiliki untukmu, seberapapun besarnya cintaku padamu tapi cintamu padaku akan selalu lebih besar. Dan aku ingin mendapatkan kehormatan itu. Emmmm... lagian, karena kamu yang lebih mencintaiku. Logikanya, yah, kamu yang bakal tidak tahan berpisah sama aku. Iya kan? Kan? Kan? Hehehe...”.
“Ugghhh..Dasar”. Aku sudah seperti terbang hingga ke langit ke tujuh, eh...malah berasa langsung terhempas lagi ke bumi. Tapi... tidak sakit sih. Aku pun ikut tertawa. Saling menertawakan.
“Heiiii.. Jadi bagaimana, Ra? Kamu mau kan jadi Ibu Manager di rumahku???”.
Lagi-lagi muka memelas itu mengusik hatiku. Menggemaskan, lucu. Ingin rasanya kucubit bagian lesung pipinya, tapi sayang tidak bisa. Belum muhrim!!!
Malam yang cerah, tak secerah biasanya. Meskipun malam kemarin ada bulan dan bintang yang sama, tapi kali ini berbeda. Sangat berbeda. Ada seorang pangeran di sampingku, pangeran hatiku.
*****
Tentang kesempatan dan pilihan, sudah satu paket. Seperti ada hidup ada mati, ada laki-laki dan ada perempuan. Pasangan sejati, sempurna. Terkadang, kesempatan itu datangnya hanya sekali akan tetapi bukan berarti dalam kata “terkadang” segala kemungkinan datangnya kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya tidak ada lagi. Bukankah Allah selalu memberikan kita kesempatan? Tinggal kita yang memutuskan. Memilih kesempatan pertama atau kesempatan selanjutnya sebagai pilihan yang terbaik. Dan pilihan apapun yang kita ambil, maka itulah takdir. Ah, kesempatan itu akan selalu ada sebagaimana sebuah harapan, selama masih ada waktu maka tidak ada alasan untuk berhenti berharap. Ketahuilah, ini hanya masalah waktu.
The End!

*Cerpen terlama yang pernah kutulis. Butuh 1 minggu tuk merampungkannya. Alhamdulillah, selesai juga...

2 komentar:

  1. hmmmm.....
    kalimat2 paragraf terakhir pernah dengarlah...!!!
    di blok GR no 20. hehe

    BalasHapus
  2. hehehe... jangan diingat2 semua pembicaraan di malam itu. sy ini suka berasumsi, takutnya menyesatkan :)

    BalasHapus