CERPEN:
“Jomblo???”
“Hahahahaha...”
“27 tahun? Belum pernah pacaran? Gilaaaaa!!!”. Mata Lola terbelalak menatapku. Tertawa terbahak-bahak. Terdiam sejenak. Menatapku lagi, memicingkan mata dengan dahi berkerut. Sebuah ekspresi keheranan, ketidakpercayaan, atau “kasihan banget, umur segini kok gak laku-laku juga”, mungkin seperti itulah yang ada di dalam fikirannya sekarang. Entahlah...
“Iya, ...aku memang belum pernah pacaran--”. Sekali lagi, aku mencoba menegaskan.
“Kalau dilihat dari tampang kamu ini... Emmm, sepertinya gak bakal ada orang yang percaya klo kamu jomblo sepanjang masa. Coba deh ngaca!” Tanpa ba bi bu, bak penyulap, seketika cermin seukuran HP sudah bertengger di depan mukaku. Si Lola memang paling perfect dalam hal dandan – berdandan. “Salon berjalan”, begitu kata teman-teman menyebutnya.
“Husssshhhhh....!” aku menyibak tangan Lola yang memegang cermin, “memangnya kamu fikir gak ada kaum Adam yang suka sama aku apa? Ini bukan masalah ada atau tidak ada cowok yang suka sama aku tau, tapi... ini adalah soal pilihan hidup, my life style. No man no cry! Hehehe...” Bak seorang pujangga, dengan bangga aku mengeluarkan kata-kata itu di depan Lola, teman kantor baruku yang sudah entah berapa kali berganti pacar dan sudah berapa malam yang dia habiskan dengan linangan air mata karena sesuatu. Dan sesuatu itu adalah tidak lain tidak bukan yang biasa disebut orang-orang, C I N T A.
“Jadi, sampai kapan kamu mau menjomblo? Jangan bilang seumur hidup yah!!!”
“Yeeeeee... Tunggu aja undangannya yah buk Lola yang manis dan baik hati. Insya Allah, aku bakal nikah di umur 27 ini juga”. Jawabku yakin dengan seyakin-yakinnya.
“Wahhhh...udah punya calon suami dong. Siapa???”
“Belum”. Dengan wajah memelas dan sedikit senyum yang dipaksakan, aku menjawab hasrat rasa penasaran Lola yang sudah membuncah sampai ke ubun-ubun.
“Dasar!!!”. Lola kemudian beranjak meninggalkanku yang sedari tadi nongkrong di meja kerjaku demi..., yah..demi menertawakan kejombloanku.
“Tenang, ini hanya masalah waktu kok”. Lola tidak menghiraukan lagi kata-kataku, tiba-tiba saja dia seperti begitu sibuk di depan komputernya yang berjarak lima langkah dariku.
Aku hanya bisa tersenyum dan melanjutkan pekerjaan. Mau bilang apa lagi, toh kenyataannya memang seperti itu. Aku jomblo dan belum ada tanda-tanda pensiun dari predikat tersebut meskipun usiaku kini sudah menjejaki angka 27. Angka itu, seperti second sweet 17. Jika diumur 17 tahun menjadi indikator kematangan usia remaja, maka di angka 27 tahun inilah usia yang paling matang untuk menuju gerbang pernikahan, apalagi buat seorang perempuan. Katanya sih gitu...
*****
Hidup ini singkat, jadi tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk melakukan semua jenis kesalahan jika ingin menjadi manusia pembelajar sejati. Lihatlah orang-orang terdahulu atau mereka yang ada di sekitar kita. Bukankah itulah sebabnya mengapa Tuhan menciptakan kisah – kisah manusia yang melakukan kesalahan dan memperoleh kegagalan, agar kita mengambil pelajaran darinya jika kita adalah orang-orang yang berfikir.
Melihat kegagalan-kegagalan hubungan beberapa pasangan yang berlabel pacar, dan setiap efek negatif yang ditimbulkan sudah cukup membuatku untuk memilih menjomblo daripada mengikuti keinginanku. Untuk apa? Jelas-jelas lebih banyak mudhorat daripada manfaatnya. Apalagi, aku belum ada niat untuk menikah. Lagian, seberapa jauh sih yang bisa dilakukan dengan labelisasi pacaran. Pegangan tangan saja sudah dosa, apalagi kalau lebih. Jadi apa asyiknya??? Gak ada kan?
Baiklah, tidak perlu munafik atau terlalu picik dalam menyikapi perasaan hati. Pastinya, setiap orang pernah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenisnya. Karena sejatinya itu adalah normal dan manusiawi bagi manusia yang normal. Nabi saja jatuh cinta, apalagi kita ini. Toh, asalnya cinta adalah suci. Kalaupun banyak menimbulkan maksiat dan kedurhakaan, itu bukan kesalahan cinta, tapi pelaku cintalah yang bersalah.
Lagian, jika bukan karena cinta, untuk apa Tuhan menciptakan alam raya dan segala isinya? Kalau bukan karena cinta, mana mungkin ada seorang laki-laki yang dengan ikhlas menginfakkan harta dan hidupnya untuk istri dan anak-anaknya? Jika bukan karena cinta, masih adakah seorang perempuan yang rela membawa beban bertambah-tambah di rahimnya selama 9 bulan lamanya dan mempertaruhkan nyawanya untuk satu nyawa lainnya? Bahkan, seekor macan pun tidak pernah memangsa anaknya sendiri, karena apa? Karena cinta.
Jika cinta adalah ketertarikan, maka munafik juga bila mengatakan “aku belum pernah jatuh cinta”. Hanya saja kadarnya tentu berbeda. Ada yang sudah masuk pada taraf keinginan tuk memiliki tapi ada juga yang sekedar hanya tertarik, mengagumi, menyukai, sebatas itu saja.
Cinta lahir dari pesona, pesona dari seseorang yang kita cintai, entah dari tampilan fisiknya, dari kemapanan karir dan finansial, dari caranya tersenyum, dari pintar dan cerdasnya cara ia berfikir, atau dari bahasanya yang puitis, mungkin juga karena dandanannya, atau suka jenggotnya, atau melihat ujung jilbabnya saja sudah mampu menggetarkan hati, dan lain-lain... Dari semua pesona itu, tentu saja ada hal yang paling dominan.
Ketika mencintai seseorang karena bahasanya yang puitis, cukup dengan nongkrongin notes yang ada di blognya, atau wall facebooknya, atau bukunya maka perasaan cinta itu akan terpenuhi. Rekayasa perasaan. Ya, setiap orang pasti bisa merekayasa perasaannya untuk tidak terfokus kepada keinginan tuk memiliki, apalagi menikah.
Dan mungkin cinta seperti itulah yang selama ini aku rasakan. Tak sekalipun muncul rasa keinginan tuk memiliki seseorang yang aku kagumi.
Pada akhirnya, di suatu titik dalam hidup kita. Kita tidak lagi mencintai seseorang karena fisiknya atau apalah yang bersifat duniawi. Pesona non fisik, sebuah pesona yang tidak memerlukan defenisi. Dimana tulang rusuk itu sendiri yang mampu mengenali pemiliknya. Kode ruh!
*****
Hari yang melelahkan, tidak juga. Bukankah seharian di kantor hanya duduk manis di depan komputer? Tapi, entah mengapa perasaanku mengatakan “aku lelah”. Sendiri, sunyi. Apa bedanya?
Kurebahkan tubuhku di atas kasur, terlentang. Menatap langit-langit kamar, seperti menembus ke angkasa luas, menuju langit ke tujuh mungkin. Teringat pembicaraan dengan Lola tadi siang. Umurku... usia yang matang tuk menikah. Tapi mau nikah sama siapa?
Si Ali, teman sejak SMP yang satu tahun angkatannya di bawahku. Sampai sekarang memang dia masih mengharapkan cintaku, tapi apa boleh buat, sedikitpun hatiku tidak pernah tersentuh dengan perasaannya. Bukankah perasaan tidak bisa dipaksakan?
Ardi... Ardi, teman kuliahku dulu. Tapi kerjaan kami berdebat mulu. Tiada hari tanpa berdebat, meskipun itu hal sepele. Dia memang pernah menyatakan niatnya, tapi setelah kufikir-fikir. Dengan karakternya yang suka berdebat, aku pun demikian, mau dibawa kemana rumah tangga kami kelak? Kalau hari ini hanya sebatas berdebat, besok-besok malah bisa meningkat jadi bahan pertengkaran. Lah, aku kan nikah bukan buat cari partner debat atau bertengkar, tapi partner hidup.
Atau beberapa nama-nama lain, yang datangnya panas-panas tai ayam. Ditolak, langsung kabur. Ah...bukan pejuang sejati. Ngapain mikirin mereka, kalau memang mereka serius, pasti mereka akan berusaha berjuang merebut hatiku hingga titik darah penghabisan. Buktinya, ibarat debu, ditiup angin saja, semuanya sudah menghilang tak bersisa. Payah!!!
“Mereka memang bukan takdirmu, Mira. Bersabarlah! Jodohmu sekarang sedang berlari kencang menujumu. Sebentar lagi dia akan datang, menjemputmu. Dan jiwamu akan mengenalinya, dia tidak akan pernah tertukar. Percayalah!”. Aihhh... pandai sekali jiwaku membesarkan hatiku.
Seperti menanti keajaiban. Keajaiban bahwa jiwaku mampu mengenali pasangannya...
*****
“Hallo, Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikum salam. Ini dengan siapa yah?” Sedikit ragu aku menjawab panggilan tersebut, nomor yang tidak terdeteksi di phone book.
“Ini benar dengan Mira, kan?” suara asing di balik telpon bertanya memastikan.
“Iya, benar. Ini siapa?” tanyaku lagi.
“Ok, seperti ini. Sebelumnya aku minta maaf terlebih dahulu. Aku tidak begitu yakin apa kamu mengenalku, tapi yang jelasnya kita dulu kuliah di tempat yang sama. Hanya saja beda angkatan dan jurusan. Dulu aku sering memperhatikanmu setiap kali melihatmu berkunjung ke jurusanku. Sampai-sampai aku hapal, hari dan jamnya. Nomormu aku ambil dari seorang teman, sudah lama sekali. Tapi aku tidak pernah punya keberanian menghubungimu. Dan sekarang, keberanian itu telah muncul.”
“Ooo...gitu. Terus?” jawabku takzim mendengar penjelasannya.
“Ehhmmm...mmm... boleh bertanya hal pribadi gak?” tanyanya dengan nada sedikit ragu.
“mmm..iya, boleh. Tapi, aku juga berhak dong mau menjawab atau tidak”.
“Ok! Kamu udah nikah belum? Maksud sa.......yaaa”
“Belum!” Oh...kecepatan mulutku menjawab ternyata lebih cepat dari pertanyaannya usai. Aku jadi kikuk sendiri, malu-.
“Alhamdulillahhhhhhhhhhhh... Tuuut...tuuut...tuuut...”
*****
The End!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar