5 Mei 2012

Aku dan Hujan

CERPEN
“Toloooooongggggggggggggg!!!”
“Toloooooooooong, Tolooooooooong!!!”
“Tolooooooooooooooooooooooooooooong!!!
Suara itu, sahut menyahut tanpa henti. Tak beraturan, tak seirama. Sekuat kemampuan, berteriak. Berlari dari satu sisi kanan rumah ke sisi kiri. Ibuku, adikku, ayahku dan aku. Silih berganti mondar mandir, bertabrakan, panik!!!. Berteriak lagi, berlari lagi.
Suara dobrakan pintu semakin menjadi-jadi, kepanikan empat manusia dalam rumah pun tak terkira. “Apa yang harus kita lakukan, Buk?” Tanyaku lirih memeluk tangan Ibu.
“Toloooooooooooong”. Suara adikku kian mengecil, tercekak rasa takut.
“Yah, pintu belakang - pintu belakang”. Hanya itu yang terfikirkan oleh Ibuku. Panik. Ya, pintu belakang. Kepanikan membuat akal sehatnya mengendor. Tanpa berfikir panjang, Ayah pun melesat ke belakang, membuka pintu. Hanya dua langkah, “bugggggghhhhhhhhh” sebuah balok menghantam pintu rumah. Beruntung Ayah cepat menyadarinya sehingga setelah dua langkah keluar ia bagai kilat kembali menutup pintu.
Berteriak lagi, berteriak dan terus berteriak. “Tolooooooooooooong!!!”. Di luar, suara gedoran pintu tak menyurut, bersama deras hujan dan gemuruh halilintar. Petir menyambar-nyambar, cahanya menampakkan jumlah mereka dari balik jendela kaca nako yang tanpa kain gorden. Lima orang dengan penutup wajah dan kepala, tapi mungkin lebih. Tak ada keberanian menyalakan lampu, Ah...sialnya, lampu teras sudah beberapa hari ini mati dan belum diganti.
“Tolooooooooooooooooong!”.
“Buggggggghhhhhhhhhhh! Aowwwwwwwww!”
Aku terbangun mengerang kesakitan, sepertinya tanpa sadar kakiku menendang tembok saat tidur tadi. Lagi-lagi kejadian itu hadir menyata dalam mimpiku. Seperti memutar rekaman kaset Video, jelas. Amat jelas.
Hujan begitu deras, langit tak henti-hentinya mengemuruhkan suara guntur menyusul cahaya kilat yang memecah gelapnya malam. Waktu menunjukkan jam dua lewat tiga puluh menit dari jam digital HP. Aku meringsut ke sudut kamar, menarik kedua kakiku dan memeluknya, membenamkan wajah di atas dataran lutut. “Aku takut, Ibu - Ayah!”. Ucapku tanpa suara, gemetar...
*****
Kejadian itu terjadi sekitar dua belas tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP dan adikku kelas enam SD. Pada satu malam yang dingin, ketika semua penduduk di kampungku telah jatuh terlelap dalam tidurnya. Ternyata ada sekelompok laki-laki tak dikenal sejak lepas maghrib telah mengintai sekitaran rumah. Sekelompok laki-laki yang tidak lain adalah orang-orang suruhan Paman untuk menghabisi nyawa Ayahku, dan mungkin juga kami, anak dan istrinya.
Sore itu, tak ada matahari senja karena tertutup awan hitam di langit. Sejak pagi hujan menyelimuti kampung. Bulan yang seharusnya terlihat bulat sempurna dengan keindahannya pun tidak nampak di kala petang beranjak malam. Awan hitam lagi-lagi mendominasi warna langit. Hingga satu dari jutaan bintang pun enggan berpijar.
Ya, jika saja langit menghempaskan selimut hitamnya, maka bulan bulat sempurna itu akan tampak menerangi malam. Ah..tapi siapa yang peduli dengan keindahannya, bagi ayahku yang seorang Petani tambak, dengan bulan membulat sempurna maka itu artinya air pasang akan membesar. Tidak perlu berbicara tentang gravitasi bumi dan bulan yang jika semakin dekat jarak bulan dan bumi maka semakin besar gravitasinya sehingga air pasang di laut juga semakin besar pula dan itu berarti juga berlaku untuk volume air yang mengaliri anak sungai.
Siapalah Ayahku yang harus mengerti teori itu? Toh beliau tamat SR (Sekolah Rakyat) pun tidak. Tetapi alam telah mengajarinya banyak hal. Penduduk di kampungku tidak membutuhkan penyuluh dari Kementrian Perikanan dan Kelautan jika hanya ingin menjelaskan tentang pematang tambak yang kuat, atau tentang apalah yang sulit difahami oleh otak sederhana mereka.
Alam telah membisikkan ke dalam fikiran Petani-petani tambak di sini bahwa tekanan air di dalam tambak harus seimbang dengan tekanan air dari luar sungai jika tidak ingin pematang tambaknya jebol. Sehingga dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran untuk selalu bersahabat dengan siklus alam, terutama dengan perjalanan bulan. Tidak peduli jika sedang panas terik membakar bumi atau hujan deras. Itu sudah resiko, sudah biasa, menunggui pintu air dari sejak pasang hingga surutnya. Memeriksa pematang dengan hati-hati dan cermat. Biasanya, sang Mr.Crab (kepiting) hobby sekali membuat lubang besar di pematang. Tapi menyenangkan juga, ada lubang di pematang berarti di situ ada Mr.Crab. Tangkap!
Dan seharusnya, Ayah dan Ibuku berada di tambak malam itu. Harus!!!
*****
Suara gaduh di ruang tengah cukup memekakkan telinga mengalahkan suara hujan dari luar rumah. Dua orang anak perempuan saling kejar-kejaran mengelili kursi. Berputar lagi, lagi dan lagi. Ruang tamu berukuran 5 x 6 meter itu memang sangat lapang karena hanya diisi oleh satu paket kursi sudut.
Lengkingan suara si kecil akan meningkat jika hampir tertangkap oleh sang kakak. Sesekali mencari perlindungan di dalam pelukan Ibu, melepaskan diri lagi kemudian berlari ke pangkuan Ayah. Aku juga merangsek ke pangkuan Ayah, berusaha menyingkirkan Adikku. Tidak ada yang boleh mengambil posisi itu tanpa seizinku. Itu sudah menjadi hak paten bagiku meskipun tak ada perjanjian secara tertulis dengan siapapun. Akhirnya adikku tersingkir dan berlari ke pangkuan Ibu dengan air mata bercucuran. “Ibuuuu...Hiksss...hikkksss” Adunya manja.
“Ekky! Kamu ini, sudah besar tapi kelakuannya masih saja seperti anak kecil”. Sepertinya Ibu benar-benar marah, soalnya dari tadi kami sudah mendapat beberapa peringatan, tapi tidak digubris. Kulihat adikku menjulurkan lidahnya ke arahku, tanda kemenangan! Dan akupun membalasnya dengan melototkan mata. Ancaman!
“Ayah kok belum berangkat ke tambak, nanti kemaleman loh?”
“Habis maghrib aja, Buk. Sekalian menunggu hujan reda”. Hari ini Ayah hanya duduk santai di rumah. Sudah seharian hujan, dan sampai sekarang masih juga hujan. Mereda, menderas. Mereda lagi, menderas lagi.
Selepas maghrib hujan makin menggila derasnya. Entah berapa kubik air yang sengaja ditumpahkan langit ke bumi seharian ini dan sepertinya belum ada tanda-tanda langit merasa lelah dengan guyuran air itu. Angin kencang seperti tak mau kalah, riuh suaranya memainkan pohon-pohon yang ada di sekitar rumah. Suara atap seng gemericik berpadu dengan hantaman buliran hujan. Ramai sekali suara-suara itu.
Akhirnya Ayah mengurungkan niat menuju tambak. Bahaya memang, jika pematang tambak jebol, maka hilanglah kesempatan untuk panen. Rugi besar!
Dan seharusnya, Ibu marah pada Ayah!!!
*****
Sudah setengah jam kami berteriak, mungkin juga lebih. Terus berteriak berharap para tetangga mendengarnya. Ah..Siapa juga yang suruh punya halaman seluas ini, 5 meter ke depan, 2 meter ke kiri, 8 meter ke kanan dan tak terhingga ke arah belakang. Perkebunan coklat. Ditambah lagi di depan beberapa meter luas jalan dan beberapa meter lagi halaman depan rumah tetangga. Jarak yang cukup jauh. Tidak perlu dibahas jarak kiri kanannya, lebih jauh lagi. Usaha yang sepertinya akan sia-sia. Berharap keajaiban.
Hujan perlahan-lahan mereda menyisakan rintik sebesar gerimis. Dan keajaiban pun kini menyapa. Akhirnya tetangga depan rumah menyalakan lampu rumahnya. Satu, dua, tiga. Tiga rumah kini seperti telah hidup setelah matinya. Allaahu Akbar! Subhanallah! Suara itu menderu dari bibir Ibu dan Ayah. Dan aku, entahlah. Aku mendapati adikku dalam pelukanku, gemetar tangan kecilnya mencengkram lenganku. Kami menangis tanpa air mata, ketakutan!
Laki-laki itu berhamburan meninggalkan teras rumah, seperti kelereng yang berpencar tak beraturan saat dihantam kelereng lainnya. Mereka lari terbirit-birit.
Entah apa yang difikirkan gerombolan laki-laki itu. Seharusnya, bisa saja mereka menghantam pintu itu dengan balok besar yang ada di teras rumah. Atau menghantam jejeran papan kayu yang menutupi celah kosong antara atap dan dinding bagian atas rumah. Atau pecahkan saja kaca jendelanya. Maka empat nyawa bisa melayang malam itu juga. Tapi, bodoh sekali mereka yang otaknya tidak mampu memikirkan semua itu.
Saksikanlah, Allah tidak pernah tidur!!!
*****
Pagi-pagi sekali, aku menyisir sekililing rumah. Jiwa mudaku seperti terbakar amarah, dendam, atau apalah. Dua jerigen bensin tergeletak di belakang rumah. Aku terpekur demi melihatnya. Ya Allah... Sungguh, betapa hujan yang Engkau kirimkan sepanjang hari ini adalah berkah tak terkira dari-Mu.
Tak puas dengan penemuan itu, kembali aku menyusuri jalan menuju tambak. Begitu banyak jejak-jejak kaki yang masih tersisa di sepanjang jalan pematang yang kulalui. Aku terus mengikuti jejak kaki itu. Dan, tiga puluh menit kemudian, kakiku sudah bertumpu di tangga pondok milik Ayahku di tambak. Kudongakkan kepala melihat pintu, pintunya terbuka lebar. Dengan jantung berdegup kencang, menaiki anak tangga satu demi satu. Jejak-jejak kaki itu. Penuh di atas pondok.
Seluruh persendianku luruh, seperti tak mampu menahan beban tubuhku. Aku terduduk, menatap kosong. Mataku nanar, sedikit terasa hangat air yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipiku. Aku tidak habis fikir, jika saja Ayah dan Ibu ke tambak malam tadi, sudah dipastikan pagi ini aku menjadi yatim piatu. Kutatap langit-langit pondok, tanganku mengepal kuat. Menangis!!!
Apa dayaku, aku hanya seorang anak perempuan. Mau melawan, dengan apa? Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis. Menangisi takdirku yang diciptakan sebagai perempuan.
Mungkin ada baiknya jika aku lahir sebagai laki-laki...
*****
Tak ada proses hukum. Kami tidak punya cukup bukti. Sidik jari? Tidak perlu berfikir seperti di dunia Sinetron atau film-film layar lebar. Semua itu hanya ilusi di dunia kami. Dan seperti lazimnya, waktu pasti akan menghapus cerita itu. Selamanya! Tapi tidak bagiku.
Bagiku, kejadian itu seperti sebuah kutukan malam. Seharusnya aku bisa terlelap tenang setiap kali hujan datang menyanyikan lagu kehidupan. Memimpikan diri berada di bawah deburan air terjun. Dingin namun menyenangkan. Menangkap air yang mengembun, sejuk menyapa lembut seluruh wajah.
Dan sekarang, untuk setiap jumlah malam tak berbilang yang kulaui dalam mimpi buruk itu. Aku tak akan pernah mengutuk hujan. Bukankah lebih tak berbilang lagi jumlah malam yang kulali bersama Ayah dan Ibuku?
Hujan! Selalu ada cerita bersamamu, tentang dendam masa lalu, tentang kerinduan, dan tentang cinta dari Sang Pemilikmu. Tak mengapa jika esok kau datang lagi membawa mimpi-mimpi buruk itu, karena aku yakin, hadirmu selalu membawa kesejukan dan keberkahan hidup. Selalu!!!
Seperti air, sejuk dan menyejukkan, suci dan mensucikan...
*****
The End


Tidak ada komentar:

Posting Komentar