CERPEN :
Aku menikahinya karena terpaksa. Aku terjebak, atau lebih tepatnya dijebak. Aku terjebak dalam cerita yang diciptakan oleh kedua orang tuaku. Hingga akhirnya aku tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Bukan karena orang tuaku punya penyakit jantung atau mau bunuh diri jika keinginannya tidak kupenuhi seperti yang ada di dalam cerita sinetron, tapi ini tentang harga diri, sebuah pertaruhan kehormatan keluarga yang dibebankan di atas pundakku. Jika aku peduli, menikahinya adalah keputusan paling bijak yang pernah aku ambil seumur hidupku.
Selama ini aku selalu lari dari tanggung jawab tersebut, aku bersikeras merantau meskipun yang kudapatkan jauh lebih kecil dari yang bisa dipenuhi oleh kedua orang tuaku. Tapi, aku tetap bertahan. Bertahan dalam kekurangan selama 2 tahun awal berada di perantauan dan akhirnya mendapatkan gaji yang layak di tahun berikutnya.
***
Ijab telah melangit menuju Arasy-Nya, menggetarkan langit dan bumi, dan di-aminkan oleh para malaikat dan seluruh penduduk bumi. Prosesi walimahan yang begitu hikmad, tepat seperti yang kuinginkan, adikku telah memahami betul konsep yang selalu kuceritakan padanya selama ini. Namun, hatiku tak bergetar dengannya. Aku seperti kehilangan rasa, tak ada air mata, yang ada hanyalah kebekuan hati.
Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin aku menikah dengan laki-laki seperti dia, seorang perokok. Bukan hanya karena dia perokok, dalam beberapa interaksiku dengannya setelah dia resmi menjadi Kuasa Hukum Ayahku, aku tidak suka dengan caranya menatapku, aku tidak suka dengan gaya bahasanya, dan di raut wajahnya bisa kurasakan bahwa dia seorang pemarah. Namun, entah bagaimana ceritanya aku wajib menjadi istrinya. Mengetahui ini membuatku shock tingkat tinggi, tapi apa dayaku, aku akan kehilangan semuanya jika aku menolak.
Aku sengaja tidur lebih awal di malam pertama kami. Kurasakan dia menciumi keningku dan menggenggam jari tangan kananku yang tidur membelakanginya. Aku benci nafasnya. Aku tak bergeming dan tetap berpura-pura tidur. Selimut tebal telah menutupi tubuhku dengan pakaian lengkap beserta jilbabku yang juga tidak kulepas. Besok, aku akan ikut bersamanya, ke rumahnya. Aku akan menjalani hari sebagai istrinya. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana harus melalui hari depan bersamanya, suamiku. Yah, dia adalah suamiku kini dan aku adalah istrinya.
***
Rumah yang cukup sederhana, dengan tiga kamar. Ruang tamu nampak begitu rapih dengan satu lemari besar yang di dalamnya berjejer buku-buku, menandakan bahwa dia suka membaca. Ruang dapur amat tertata dan bersih, dari penampilannya sepertinya dia memang suka kebersihan. Aku melongokkan badan ke bagian belakang rumah, sepertinya bagian tersebut digunakan tuk menjemur cucian. Sebuah rumah yang cukup berkesan menurutku, sederhana dan rapih. Tak bisa kupungkiri, rumah seperti inilah yang kuidamkan selama ini.
"Pakaian kamu dimasukkan ke lemari yang berwana hijau yah" Dia mengagetkanku dengan satu tepukan di pundakku, "yang bagian bawah buat pakaian kamu, di bagian atasnya itu pakaiaanku. Nah, untuk lemari yang satunya itu buat pakaian kita yang tidak dilipat". Aku hanya terdiam menatapnya kemudian mengikuti langkahnya yang membawa koporku masuk ke dalam kamar. "Aku ingin kita pisah kamar". Dia respek terpaku tak bergerak yang sebelumnya sibuk membuka kopor-kopor pakaianku kemudian berdiri membalikkan badan dan menatapku tajam. "Aku belum siap, mungkin aku masih butuh waktu". Lanjutku kemudian yang menunduk dengan air mata yang tak terbendung. Tanpa bicara sepatah pun, segera dia menutup kembali kopor-koporku dan mengangkatnya ke kamar sebelah. Lagi-lagi aku mengikuti langkahnya.
"Kamar kamu sudah siap, ini ada ATM dan kredit card buat keperluan sehari-hari kamu dan ini ATM beserta buku tabunganku, semua itu milik kamu sekarang. Kamu bebas menggunakannya". Aku tak tahu harus berkata apa, aku hanya terdiam dan terpaku melihatnya berlalu dari kamar yang sudah dia siapkan untukku.
Dadaku sesak dengan sikapku ini. Logika dan perasaanku berperang. Mengapa aku tega seperti ini kepada suamiku, bukankah dia adalah Imamku? Bukankah surgaku ada dalam ridhonya? Prinsip hidup telah membelengguku. Menarik diriku untuk mengkhianati sebuah janji dan sebuah prinsip. Janjiku, aku bersumpah akan mencintai laki-laki yang telah mengucap Ijab Kabul untukku selamanya, siapapun dia. Namun prinsipku selalu berkata, tak akan pernah ada ruang kosong di hatiku untuk seorang perokok, siapa pun dia..
Bagiku, salah satu jenis manusia terdzhalim di dunia adalah perokok. Mereka adalah kumpulan manusia egois yang hanya mementingkan kepuasan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Hidup terlalu murah dibandingkan sebatang rokok, lalu bagaimana mungkin mempercayakan mereka menjadi imam kita.
***
Setelah sholat subuh dan tilawah beberapa halaman, aku memaksakan diriku menuju dapur dengan niat menyiapkan sarapan untuknya. Yah, semalaman aku berpikir keras dan kuputuskan untuk berusaha berlaku seperti layaknya sikap seorang istri terhadap suaminya. Aku akan memasak untuknya, mencucikan pakaiannya dan memelihara rumahnya. Kurasa ini sudah impas untuk sikapnya yang tidak memaksakan kehendaknya padaku, padahal dia bisa saja melakukannya.
Sarapan sudah siap dan kulihat dia pun sudah bersiap-siap berangkat kerja. Sebatang rokok mengepul di tangan kirinya, kemudian mengambil satu sendok nasi goreng ke mulutnya. ”Uhuk..uhuk..uhuk..” dia sigap meneguk segelas air kemudian menatap ke arahku yang sudah terlihat panik. “Makanannya tidak enak yah?” Tanyaku dengan nada khawatir. “mmmmm... klo enak sih, memang gak klo dibandingkan sama yang di restoran. Tapi, ini bukan masalah enak atau tidaknya, pedas banget. Aku gak bisa makanan pedas”. Aku hanya manggut-manggut dan berjalan menghampirinya dengan memberinya secarik kertas. “Apa ini?” Tanyanya penasaran. “Tulis aja jawabannya sesuai dengan daftar pertanyaan di situ?”.
Aku cukup terbantu oleh secarik kertas tersebut. Dari situ aku tahu kebiasaan dia di pagi hari, daftar makanan yang dia sukai, jam berapa pulang kerja termasuk nomor HPnya. Aku mulai belajar memasak, berbagai usaha kulakukan, mulai dari nonton acara TV sampai browsing di Internet. Seminggu, dua minggu, tiga minggu hingga satu bulan pernikahan kami, tak ada yang berubah dalam hubungan kami. Aku melakukan tugasku seperti biasanya kemudian mengurung diri di dalam kamar setelahnya. Setiap malam minggu dia mengajakku nonton, tapi aku selalu menolaknya. Dan, sekalipun aku tidak pernah membuka jilbabku di hadapannya.
“Besok ada acara kantor, aku harap kamu mau ikut”.
“Jam berapa, dimana?” tanyaku kemudian.
“Di pantai, jam 7 pagi. Kami ada acara mancing bareng, sekalian ngajak keluarga masing-masing, biar bisa saling kenal”.
“Baiklah...” jawabku singkat. Kulihat semburat bahagia menggantung di senyum tipisnya.
Aku merasa sangat tidak nyaman saat dia tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Saat ingin kulepas, semakin ia mengeratkan pegangannya. Sesekali ia merangkulku saat bercengkrama dengan teman-temannya. Aku hanya bisa tersenyum, senyum kecut tepatnya dan entah berapa banyak cubitan yang kuberikan padanya di sekitar pinggangnya. Dia tidak pernah mengeluh kesakitan, malah semakin menyemangatinya merangkulku. Lagi-lagi, aku sangat benci jika harus mengadu nafas dengannya.
***
“Eky... kamu ada gunting kuku gak?”
“Ada tuh, di laci lemari, di dalam kamarku” tanpa berpikir panjang aku menyuruhnya masuk ke dalam kamar karena sedang fokus di dapur. Sekitar satu menit kemudian dia datang menghampiriku, kemudian mematikan kompornya dan menarik lenganku menuju kamar.
“Apa maksud semua ini, Ky?” nanar matanya menatapku dan seakan semua energinya dia sematkan dalam genggaman tangannya di lenganku. “Lihat, jadi selama ini kamu tidak pernah memakai uang yang kuberikan”. Suaranya meninggi kini. “Kamu pikir kamu siapa, haa..? Laptop ini, laptop ini masih tersegel. Apa maksud kamu Ky? Apa?”
“Prakkkkkkkkkk...” Dibantingnya Laptop tersebut ke lantai dan dipatah-patahkannya ATM yang masih terbungkus rapih di dalam amplop. “Aku benar-benar kecewa sama kamu Ky”. Dia berlalu dariku, membanting pintu kamarku dan tidak lama kemudian kudengar suara motornya meninggalkan rumah.
Aku menangis sejadi-jadinya. Rasa bersalah mulai merasuki hatiku. Selama ini aku memang tidak pernah menggunakan uang yang diberikannya bahkan semua biaya yang dikeluarkan di rumah setiap bulannya selalu aku bayar dengan uangku sendiri setengahnya. Tabunganku selama bekerja cukup untuk membiayai hidupku selama setahun jika aku bisa hemat. Dan selama 2 bulan menikah dengan Rian, aku baru 3 kali ke Mall. Semangat jalan-jalanku sudah terkubur, keinginan shoppingku sudah layu. Aku hidup karena masih bernafas bukan karena adanya impian yang ingin diraih.
Sudah 3 hari dia tidak pulang ke rumah. Kucoba menghubungi kantornya tapi ternyata dia juga tidak masuk kerja. HP-nya tidak pernah aktif, tapi setiap hari aku mengirimkan sms permohonan maafku padanya, berharap dia membacanya dan mau memaafkanku. Jam 10 malam, kudengar suara motornya di teras rumah. Aku bergegas keluar kamar dan membukakan pintu untuknya. Aku langsung memeluknya dan menangis di dalam pelukannya. Lama aku memeluknya hingga kemudian tersadar dan melepasnya. Aku jadi salah tingkah, aku mengambil satu langkah mundur tanpa melihat wajahnya dan berlari ke dalam kamarku. Aku menutup pintu kamarku, kemudian menyandarkan tubuhku di sana. Entah perasaan apa yang menguasai hatiku hingga aku memeluk dia.
“Aku sudah memaafkanmu. Aku juga minta maaf, Ky”. Katanya lembut di balik pintu kamarku setelah sebelumnya dia mengetuk pintu.
***
Ada yang aneh dari sikapnya setelah kejadian itu. Ada sebuah rutinitas wajib yang sepertinya dia tinggalkan beberapa hari ini, dan aku baru menyadarinya sekarang. Aku tidak pernah lagi melihatnya mengepulkan asap rokoknya di atas meja makan. Asbak di depan TV pun tidak pernah lagi terisi penuh oleh puntung rokok di setiap pagi aku ingin membersihkannya. Kupikir, dia mulai tidak merokok di dalam rumah. Tapi di luar, siapa yang tahu...
Malam sudah agak larut. Di luar, kulihat langit begitu cerah. Rasanya aku ingin menyapa bulan dan bintang di malam ini. Kuraih jilbab dan kacamataku dan keluar kamar. Aku mematung menatap kelakukan Rian yang mondar-mandir sambil lompat-lompat di ruang TV. Aku menghampirinya dan bertanya, “Kamu lagi ngapain?” Dia langsung berhenti dan cukup kaget melihatku yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Oh..nggak..ini aku lagi olahraga aja”. Jawabnya mencoba meyakinkanku yang kelihatan keheranan. “Aku berusaha berhenti merokok, tapi sepertinya sulit. Sekarang aku lagi berperang melawan keinginanku tuk merokok, makanya aku mondar-mandir dak karuan seperti ini”.
Aku berjalan mendekatinya, kemudian berdiri di depannya. Baru kali ini kami berdiri begitu dekat, sangat dekat hingga aku dan dia saling mengadu nafas. Dia menatapku dalam, dan kubalas tatapan itu penuh makna. “Kenapa baru sekarang kamu berhenti?”. Tanyaku. “Kenapa kamu tidak pernah memintanya?”. Jawabnya. Seketika tangis kami pecah di kebisuan malam. Kami larut dalam pelukan penuh kerinduan.
***
Akhirnya kami sama-sama sadar, selama ini kami tidak pernah membangun komunikasi yang efektif. Hari dihabiskan hanya dengan saling berdiam diri. Aku sadar dari awal bahwa dialah suamiku dan tidak akan mungkin mengingkarinya, tapi aku lupa satu hal, aku lupa bahwa apapun kekurangannya aku harus ikhlas menerimanya. Jika kekurangan itu tidak baik, maka bersama seharusnya kita bisa membuatnya menjadi baik bukannya mematikan hati untuk melihat sisi baik lainnya.
Dia adalah Rian, suamiku. Laki-laki yang begitu sabar menghadapi pengkhianatanku sebagai istri yang baik. Dia tidak pernah mengeluhkan sikapku kepada kedua orang tuaku. Dia selalu sabar menunggu hatiku terbuka untukknya. Di waktu lain, dia berusaha mengenal diriku dari orang-orang terdekatku hingga akhirnya dia tahu bahwa aku begitu membenci perokok. Dan dia mau berubah untukku, untuk istrinya.
Suamiku, maafkan aku untuk kebodohanku selama beberapa bulan menjadi istrimu yang tidak pernah memikirkan perasaanmu. Sekarang, akan kupenuhi sumpahku. Aku akan mencintaimu seumur hidupku, aku akan mengabdikan hidupku untukmu, karena aku ingin meraih surgaku dari dirimu.
The End...