Menunggu hari besar Nasional tak pernah terasa bagiku, mungkin juga bagi kalian. Who cares??? Tapi, menunggu hari yang dinantikan oleh setiap makhluk yang berupa manusia ternyata cukup mengganggu hati. Agustus 2012 – Juni 2013 bukanlah waktu yang banyak untuk dihabiskan dengan status single. Toh, saya sudah menjalaninya selama 26 tahun sebelumnya. Tak ada gundah gelisah, yang ada hanya kebebasan berbahagia ala diri sendiri. Namun, dalam kurun waktu yang tidak cukup setahun itu, rasanya beraaaaaat banget di awal. Tapi… semakin hari, semakin sedikit bilangan hari menuju hari – H, rasa beratnya malah tidak berkurang.
Berat di awal karena merasa masih lama, berat di akhir karena merasa sebentar lagi. Aneh… memang aneh yang disebut perasaan itu. Untung saja kita punya akal, coba semuanya mesti pake perasaan, bisa setreeesss deh..
Waktu dan jarak betul-betul menguji komitmen kami atas apa yang telah kami putuskan. Bisikan-bisikan yang melemahkan komitmen datang silih berganti. Ini berat, melelahkan dan benar-benar menguras hati.
Keraguan kadang muncul, apalagi ketika diperhadapkan dengan adanya pilihan yang lebih bagus dari aspek financial. Saya benar-benar merasa diuji dibagian dimana calon suami berada kekurangan suami.
Oh yah, saya belum ceritakan apa pekerjaan dia ketika baru menyampaikan niatnya. Okay, biar saya ceritakan, agar kalian mengerti mengapa ini menjadi bagian ujian terbesar untuk saya.
Dia memang Sarjana, sama dengan saya. Tapi dia bukanlah Pegawai Perusahaan Swasta, atau pegawai BUMN apalagi PNS. Saat itu dia hanya mempunyai usaha Rental Playstation, penghasilan dari usaha tersebut hanya cukup buat keperluan sehari-hari. Tapi, dia sedang berusaha mewujudkan impiannya untuk membuka ladang bisnis baru, yakni membeli hasil pertanian dari para petani kemudian menjualnya kembali. Hey.. itu butuh modal besar sementara di sisi lain dia ingin segera menikah.
Jujur, saya tersentuh dengan impiannya tersebut. Dia memang tidak datang dengan sebuah kunci mobil dan kunci rumah, tapi dia membawa janji tentang impian yang sempurna. Sempurna jika dipandang dalam skala jangka panjang, tapi tentu saja tidak menggairahkan untuk jangka pendek.
Kenapa saya berkata demikian?
Sebagai pegawai swasta, seberapapun gaji kita/ bulan, pada akhirnya visi hidup kita adalah menabung untuk kelak membangun usaha sendiri dengan perkiraan di usia 40 tahun akan pensiun dan memulai berbisnis. Jujur, saya tidak tertarik dengan ide tersebut. Dalam pengkalkulasian saya berdasarkan data empiris di lapangan, dia ini lebih potensial dan prospektif. Kenapa, karena mental dan jiwa wirausahanya telah tertempa di masa muda. Jika saya mengharapkan laki-laki yang baru akan memulai terjun ke dunia bisnis di usia 40 tahun, rasanya tidak prospektif banget. Orang yang terbiasa hanya duduk enak di kantor kemudian mendapatkan gaji yang lumayan tiba-tiba harus memulai dari nol sebuah pekerjaan yang banyak menyita waktu dan dengan tingkat resiko kerugian besar dan keuntungan kecil untuk pemula, tentu saja mentalnya tidak kuat dengan segala resiko tersebut.
Saya merasa tidak masalah mendampingi laki-laki yang belum sukses dimata dunia dibandingkan dengan laki-laki yang sudah mendapatkan segalanya. Saya ingin menjadi bagian dari cerita sukses suamiku kelak. Saya ingin menjadi salah satu motivasi terbesarnya untuk selalu bangkit dari keterpurukan. Dan saya ingin menjadi lebih bermanfaat dan dibutuhkan oleh suami dibandingkan dengan apapun di dunia ini.
Tapi, siapa bilang saya tidak menginginkan laki-laki yang sudah mapan sebelum menikah? Hanya perempuan bodoh yang menolaknya jika mempunyai kesempatan untuk mendapatkan laki-laki seperti itu apalagi jika agamanya pun bagus.
Namun, lagi-lagi ada hal yang menjadi dasar pertimbangan yang tidak bisa saya hindarkan. Jika laki-laki tersebut sudah mapan sebelum menikah, ini bisa memungkinkan rasa kebutuhan terbesar dia terhadap istri lebih cenderung kepada kebutuhan biologis. Tentu saja, tidak semua laki-laki seperti itu, tapi bagaimana jika ternyata suamiku adalah laki-laki seperti itu? Sungguh, saya tidak mau.
Pikiran ekstrim lainnya adalah saya sangat tidak mau jika kelak ada salah satu keluarganya yang nyeletuk mengentengkan keberadaan saya sebagai istri. “Kamu itu siapa, kamu hanyalah perempuan yang tiba-tiba datang dalam kehidupan suamimu yang sudah mapan, aman dan tentram. Kamu tidak akan mendapatkan semua ini jika bukan karena kami”. *Duggghhhhh mama…
Maaf jika saya terkesan parno, tapi begitulah saya. Kadang-kadang saya suka memikirkan sesuatu yang diluar pikiran orang lain. Sampai-sampai adekku sering protes, katanya saya itu entah terlalu cerdas atau malah terlalu parno karena pikiran-pikiran saya yang kadang diluar jangkauan pikirannya.
*****
Sebelumnya, saya ingin bertanya kepada readers yg sudah menikah. Ketika kalian sudah memutuskan dan menetapkan hati pada seseorang, apakah kalian juga mengalami dimana kalian tiba-tiba punya banyak fans? Maksudnya, tiba-tiba saja ada 2 atau lebih laki-laki yang datang menawarkan hubungan serius.
Ketika mendadak ada beberapa yang mengajak untuk menikah, kadang-kadang saya galau. Gimana yah, saya sudah terlanjur meng-iyakan si Dia. Tapi kan sebenarnya saya sebenarnya masih bisa membatalkan niat dengan si Dia. Dan bla..bla..bla.. lainnya dengan berbagai cerita yang dirancang otak jahat yang dipengaruhi oleh syaitan yang terkutuk.
Bagaimana ada seorang Ibu teman yang langsung datang menanyakan kesediaan saya untuk menjadi istri anak lelakinya. Hmmm… ini benar-benar diluar dugaan saya apalagi teman saya tersebut boleh dibilang cukup potensial untuk dijadikan suami. Hehehe..
Begitupun dengan dia yang jauh di sana. Kadang-kadang dia merasa bersalah karena akan membuat saya meninggalkan semua yang saya punya di Batam.
Atau bagaimana ketika ada yang bilang ke dia, “kamu itu terlalu jauh mencari cinta. Padahal klo kamu mau, di Jayapura ini tidak sedikit perempuan yang bisa kamu dapatkan. Yang lebih cantik dan yang lebih sukses tentu saja”.
Belum lagi ketika ada yang mengingatkan dia tentang perempuan yang sempat dijodohkan dengannya. Kalau dia mau, dia bisa saja mendapatkan perempuan tersebut. Yaa… dia juga benar-benar ditempatkan pada ujian-ujian yang diluar nalarnya.
*****
Alhamdulillah, segalanya bisa dilalui dengan sabar dan tetap menjaga komitmen yang sudah kami buat. Meskipun rasanya cukup berat, tapi tuntutannya memang harus seperti itu. Saya sangat bersyukur bahwa dia telah datang dengan membawa niat baiknya bersama keluarganya untuk datang menemui orang tua saya. Saya sangat menghargai usaha yang telah dia lakukan.
Berapa jarak yang sudah dia tempuh untuk datang ke rumah, berapa uang yang telah dia keluarkan untuk itu semua dan bagaimana besar usahanya meyakinkan keluarganya untuk menjadikan saya senagai istrinya. Pengorbanannya tersebut sudah sangat cukup untuk mengikat hati dan kaki saya untuk tidak pergi darinya. Karena jujur saja, mempunyai perasaan khusus kepada seseorang yang belum halal ternyata sangatlah berat. Saya tidak tau bagaimana dengan kalian, tapi bagi saya yang baru merasakan bagaimana membiarkan seseorang mengambil perasaan yang seharusnya hanya untuk suami, ini sungguh terasa berat.
*****
Eh, belum pada bosan kan membaca kisah kami? Masih banyak nih yang mau saya ceritakan pas hari serah terima Uang Pannaik, trus pertemuan kami pada saat akan ke KUA untuk kuliah pra-nikah and terakhir hari dimana kami jadi Raja dan Ratu sehari. Hehehe
So, nantikan aja cerita selanjutnya. Mungkin besok atau mungkin dilain hari. :P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar