26 Sep 2013

Tentang Aku dan Dia Part II: Bukti Kesungguhan itu Bukan Janji

Lalu apa yang terjadi ketika dua hati telah saling terpaut dan saling menginginkan? Bukankah hati-hati itu harus disatukan dalam bingkai syari’ah yakni Pernikahan?

Ah, menikah itu memang sederhana. Hanya saja tidak sesederhana yang kita bayangkan. Menikah itu bukan hanya tentang penyatuan dua hati, tapi lebih pada penyatuan dua keluarga besar dengan segala perbedaan adat istiadat, karakter dan lain sebagainya.

Dan, menikah itu butuh modal. Bukan hanya modal keinginan, tapi juga modal uang. Sebagaimana yang kami sadari, ada jarak yang begitu mahal yang harus kami tebus.

Secara pribadi, saya tidak pernah menyodorkan satu nama di hadapan orang tua saya. Saya punya cara sendiri untuk hal ini.

Saya sangat minta maaf kepada semua pihak yang merasa perlu memberikan arahan dan mungkin merasa perlu dilibatkan dalam proses ini. Namun, lagi-lagi saya ingin tegaskan. Saya punya cara sendiri yang dimana di sini saya tidak ingin melibatkan banyak orang. Termasuk kedua orang tuaku.

Selama ini, saya sudah terbiasa memutuskan apa yang ingin dan tidak ingin saya lakukan. Saya sangat tidak suka melibatkan orang lain dalam urusan pribadi saya. Bahkan dalam hal ini, tugas orang tua saya hanya berkata YA. Saya suka menyiapkan semuanya sendiri, setelah saya yakin baru saya akan menghadap ke orang tua saya.

*****

Saya akui, bahwa rasa ketertarikan itu mulai muncul kepadanya. Tapi, saya masih realistis memandangnya. Saya bukan tipe perempuan yang mau menerima janji apalagi mau dipacari. Klo saya mau pacaran, ngapain sama orang yang berada di ujung bumi Indonesia???

Maka lahirlah beberapa point kesepakatan kami. Ini bukanlah kontrak nikah, tapi ini adalah MoU sebagai penguat komitment kami atas satu sama lain.

Sebelumnya, saya sudah mempelajari criteria utama menantu idaman orang tua saya. Termasuk masalah urusan adat. Sebagai orang yang berasal dari suku Bugis, tentu cerita Uang Pannaik sudah sangat popular. Untuk itu, dari awal saya sudah mencari tau range rate yang mereka pasang.

Untuk criteria utama, menurut saya dia sudah memenuhi semua itu. Lagian saya dan orang tua punya pemahaman yang sama dengan hal-hal tersebut. Jadi orang tua saya tidak akan menanyakan itu lagi. Mereka percaya dengan pilihan saya.

Yang saya khawatirkan hanya masalah Uang Pannaik. Mengingat dia bukan berasal dari suku Bugis. Dia memang berdarah Sulawesi, tapi saya sepenuhnya menyadari kehidupan keluarganya yang sudah lama tinggal di luar Sulawesi. Saya sendiri sering berdebat dengan orang tua tentang masalah tersebut. Karena itulah saya secara pribadi berusaha menabung, sebagai persiapan jika kelak saya sudah menemukan laki-laki yang cocok namun terkendala di urusan Uang Pannaik, maka saya tidak akan segan membantunya dengan merogoh kocek sendiri.

Untuk urusan ini, dia menyanggupi nilai Uang Pannaik yang saya sebut. So, satu masalah sudah terurai.

Tapi, sebelum sampai pada komunikasi tersebut, hal pertama yang saya ingin dia lakukan adalah memastikan persetujuan semua anggota keluarga besarnya. Jika ada satu saja dari anggota keluarganya yang menolak saya, maka proses dihentikan.

Tanpa menunggu lama, kepastian itu pun dia peroleh dari hasil komunikasinya bersama keluarga besarnya. OK! Meskipun demikian, saya belum merasa puas. Masih ada yang mengganjal di hati. Saya ingin bertemu terlebih dahulu dengan orang tuanya. Saya ingin bersikap fair terhadap semuanya. Saya merasa akan sangat baik jika orang tuanya melihat saya langsung sehingga bisa memberikan penilaian sendiri apakah orang tuanya merasa benar-benar sreg dengan pilihannya atau tidak.

Maka dirancanglah pertemuan itu…

*****

Ramadhan tahun 2012, menjelang hari Lebaran, saya memutuskan bertolak ke Makassar. Sebenarnya ini cukup berat diongkos, berhubung awal tahun saya juga balik ke Makassar. Namun, momen yang pas memang hanya waktu itu karena kebetulan orang tuanya akan merayakan hari Lebaran di Makassar. Daripada saya yang ke Jayapura, lebih baik di Makassar saja bukan.

Tiba di Makassar, saya beristirahat di Kost teman. Setelah melepaskan lelah, saya silaturrahim ke rumah teman yang lain. Tepat jam 3 sore saya ke rumah orang tuanya sebagaimana yang telah kami sepakati. Oh yah, di sini saya datang sendiri tanpa didampingi siapapun.

Alhamdulillah… sambutan orang tuanya begitu baik. Di sini saya bertemu bapak dan adik perempuannya. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Beliau begitu ramah dan banyak ngobrol. Jadi lumayan untuk mencairkan suasana. Begitupun dengan adiknya.

Hanya saja, ada yang membuat saya hampir lari terbirit-birit saat itu. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa dia juga langsung terbang dari Jayapura ke Makassar hari itu. Saya baru mengetahuinya ketika sampai di rumahnya dan langsung diberitahu oleh bapaknya.

Rasanya belum lima menit saya sampai di rumahnya, dia pun juga tiba. Saya benar-benar panic karena merasa tidak siap bertemu dengannya. Ini kali pertama keringat dingin mengucur di tubuhku karena tegang, malu tepatnya. Bahkan untuk tersenyum pun saya merasakan bibirku gemetaran.

Ini adalah pertemuan pertama kami sejak saya meninggalkan kota Makassar awal tahun 2009 lalu. Berada di sana bersamanya dan keluarganya membuat otot-otot saya berasa lemas semua. Keinginan untuk segera kabur sudah terngiang-ngiang di kepala. Beruntung waktu itu saya ada janji Ifthor bersama teman-teman di kampus. Alhamdulillah, saya ada alasan untuk menghilang dari sana sesegera mungkin.

Pertemuan ini tentu saja belum membuat saya puas dan yakin untuk menetapkan diri menuju pernikahan bersamanya. Masih ada satu lagi yang harus dia lakukan. “Datang, dan temui orang tuaku bersama orang tuamu”.

*****

Dua hari setelah Lebaran Idul Fitri, tepatnya 21 Agustus 2012, dia benar-benar datang ke rumah bersama beberapa keluarganya. Awalnya saya dan orang tua berfikir dia hanya akan datang berdua saja dengan bapaknya, ternyata dia datang bersama beberapa anggota keluarga lainnya.

Orang tua saya juga menyambut mereka dengan baik. Alhamdulillah, sepertinya orang tua kami sangat akur dan nyambung.

Sebagai informasi buat pembaca, saya hanya bilang ke orang tua saya klo saya ada teman laki-laki mau datang Silaturrahim ke rumah. Tentu saja orang tua saya mengerti bahwa kedatangan tersebut bukan hanya sekedar silaturrahim biasa, tetapi ada niat lain daripada itu. Namun, dalam pemahaman kami, dia dan keluarganya datang ke rumah hanya dalam rangka saling mengenal satu sama lain.

Tidak disangka, saat itu juga keluarganya langsung melamar. Dueeeeerrrrrrrrrrrrrrrrr!!!

Orang tua saya merasa ditodong saat itu. Ini betul-betul di luar dugaan kami. Keluarga saya tidak siap, sementara keluarga dia meminta untuk segera diberikan jawaban. YA atau TIDAK!!! Mereka tidak mau meninggalkan rumah sebelum mendapat kepastian dari orang tua saya.

Entah apa yang dibicarakan diantara kedua belah pihak orang tua kami. Pembicaraan mereka begitu alot di ruang makan sementara saya memilih tidak terlibat dalam pembicaraan tersebut. Bila saja ada perbedaan yang tidak bisa ditemukan titik temunya dalam komunikasi tersebut, saya sudah pasrah dengan keputusan mereka.

Dalam diskusi tersebut, dia sempat menjelaskan beberapa kesepakatan kami sebelumnya untuk diketahui oleh orang tua kami masing-masing. Di pihak orang tua saya, pada dasarnya semua keputusan ada di tangan saya. Orang tua saya tau karakter saya yang ketika sudah memiliki keputusan sendiri, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka tau posisi mereka, tugas mereka hanya mengatakan YA.

Namun, saya juga tidak ingin egois. Untuk urusan satu ini, saya tetap ingin melibatkan orang tua saya. Untuk kali ini saja, saya memberikan orang tua saya Opsi boleh mengatakan TIDAK.

Pada akhirnya, lahirlah kesepakatan diantara kedua belah pihak tentang berapa nominal Uang Pannaik dan kapan akan datang melamar secara resmi sekaligus membawa Uang Pannaiknya, begitupun dengan waktu pelaksanaan akad/resepsi pernikahan.

Mengenai waktu, kami berdua sudah sepakat tentang itu. Juni 2013 adalah waktu pilihan kami. Mengapa Juni? Karena pada saat itu dia akan genap berusia 27 tahun, sebagaimana target kami akan menikah di usia tersebut. Sementara saya pribadi, ketika membuat peta rencana kehidupan, menikah itu ditargetkan di bulan sya’ban 1434 Hijriah. Saya memimpikan satu waktu yaitu di waktu-waktu pertengahan. Tengah bulan dan tengah tahun. 15 Juni 2013!!! Selain itu, masa cuti saya juga sudah habis jadi harus menunggu sekitar 1 tahun lagi untuk mendapatkan jatah cuti yang lebih banyak lagi.

Saya, dia dan kedua belah pihak keluarga akhirnya sepakat dengan hal tersebut. Insya Allah, 1 bulan sebelum hari – H, keluarganya akan kembali ke rumah untuk melakukan lamaran resmi sekaligus prosesi serah terima Uang Pannaik. Alhamdulillah… *Senang pake jingkrak2 :P

2 komentar: