Banyak yang bertanya, bagaimana proses pertemuan saya dengan suami hingga akhirnya menikah. Okay, pada dasarnya proses yang kami jalani sederhana dan ceritanya tentu saja hampir sama dengan kebanyakan pasangan suami istri lainnya. Tapi, demi menghapus sedikit dahaga kalian tentang true story pernikahan kami, dengan senang hati saya membaginya.
Saya akan menceritakan bagaimana keputusan YES or NO diambil, bagaimana suami membuktikan kesungguhannya dengan mendatangi orang tua saya, dari proses lamaran resmi hingga sampai ke hari pertama dia menyentuh tanganku…
Klopun tidak bisa memberikan inspirasi buat orang lain, minimal ini akan saya simpan sebagai pengingat akan apa-apa yang telah kami lalui untuk melangkah ke tahap pernikahan. Dan lagi, nantinya saya tidak perlu bercerita banyak ke anak cucu kami kelak, toh mereka bisa membacanya di sini.
*****
Saya dan suami kuliah di tempat dan jurusan yang sama. Tapi berbeda angkatan. Suami satu angkatan di bawah saya. Saya angkatan 2003 sementara suami 2004. Selama 4 tahun di kampus, tidak pernah ada yang istimewa dari semua interaksi yang kami lakukan. Saya pribadi hanya bisa mengingat satu diantara sekian banyak interaksi kami yakni ketika saya meminjam motor dia dan dia buru-buru minta motornya dibalikin.
Kenapa saya hanya mengingat satu hal itu saja? Itu dikarenakan sempat terucap ‘sumpah’ di dalam hati bahwa saya tidak akan pernah mau menikah sama laki-laki pelit seperti dia. Kualat??? Ah, gak juga. Karena setelah itu saya buru-buru beristighfar atas dzu’uson saya ke dia. Bisa saja waktu itu dia memang punya keperluan mendesak, bukan?
Setelah saya menamatkan kuliah, saya kemudian Hijrah ke Batam. Teknologi memang telah membuat jarak seolah tidak ada. Kami memang berteman di Facebook, nomor HP pun kami masih punya. Tapi, 3 tahun setelah meninggalkan kampus, jangankan bertemu, rasanya tidak sekalipun kami melakukan komunikasi via telephone ataupun sms. Di Facebook pun sangat jarang bertegur sapa. Bisa dihitung jari interaksinya. Kebetulan dia pendiam. Saya juga bukan tipe orang yang mau berusaha beramah-ramah atau basa-basi sama orang lain.
Saat di kampus, kami sama-sama aktif di kegiatan Dakwah Kampus. Saya baru mengenal dia ketika dia masuk menjadi salah satu kandidat pemegang estafet kepemimpinan Dakwah Kampus di Jurusan kami, Teknik Perkapalan Unhas. Setelah itu, entah berapa banyak interaksi kami dalam berbagai syura’. Namun, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya sudah tidak ingat.
Saya merasa cukup akrab dengan semua ikhwan-ikhwan Perkapalan yang sempat satu kepengurusan, namun dengan dia, kami benar-benar tidak ada akrab-akrabnya.
*****
Berbeda dengan versi pertemuan kami dari sudut pandang suami. Dia pertama kali melihat saya ketika dia masih berstatus Mahasiswa Baru. Sebagaimana tradisi di jagad Pendidikan Indonesia, yang namanya siswa/mahasiswa baru tentu saja dibuat tidak berdaya di hadapan senior-seniornya. Tapi, saya bukanlah termasuk senior yang ikut andil menambah ketidakberdayaannya waktu itu.
Saat itu sedang ada pengumpulan Mahasiswa baru di depan Jurusan. Saya berada di sekitar tempat tersebut bersama teman-teman saya yang lain, tepat di depan ruangan salah seorang Dosen kami. Saat matanya pertama kali menangkap saya, dia memandang saya begitu lama hingga akhirnya kami bertemu pandang. *Assyyeeekkkk…
Apakah cerita berlanjut??? Tidak!!!
Setelah kejadian bertemu pandang tersebut, dia kembali ke kehidupan dan rutinitas dunia kampus. Sebagai junior, dia telah memperingatkan diri bahwa saya adalah senior dia, jadi jikapun ada percikan perasaan asing di hatinya, semua itu harus dibunuh.
Sebagai laki-laki normal, tentu dia akan mengejar perempuan yang dianggap cinta dan jodohnya kelak. Dan tentu saja, pikiran realistisnya waktu itu bukanlah saya, melainkan salah seorang perempuan lain yang hingga pada suatu saat perempuan itu pergi entah kemana bersama perasaannya yang tersimpan rapih untuk sang perempuan tersebut. Dengan harapan, suatu saat dia akan menemukan kembali perempuan tersebut. Hanya masalah waktu, dia akan menemukannya kembali.
Hari demi hari terlalui dan pada akhirnya kami dipertemukan dalam kepengurusan Dakwah Kampus. Saat itulah kembali muncul perasaan asing yang dulu. Entah apa yang difikirkannya, dengan mudahnya dia berhasil mengorek informasi tentang saya dari seorang ikhwan yang juga berteman dekat dengan saya. Namun, tidak ada yang menaruh curiga dengan motifnya tersebut.
Hanya di situ…
Dia tidak pernah mengganggu saya dengan sms atau telephone ala ikhwan ambigu. Tak ada usaha untuk menarik perhatian saya, atau mungkin saja saya yang tidak bisa melihatnya dikarenakan pada saat itu saya memang masih membutakan diri dengan hal-hal yang beraroma perasaan asing terhadap lawan jenis.
*****
November 2011, dia kemudian memberanikan diri mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan saya istrinya. Butuh proses yang panjang baginya untuk mengambil keputusan tersebut. Dia masih punya CLBK alias Cinta Lama yang Belum Kelar *hehehe. Sementara, jalan untuk menemukannya semakin terang benderang. Namun ada yang tidak boleh kita nafikan dalam hidup, yaitu bagaimana kita selalu melibatkan Allah dalam setiap keputusan yang kita ambil.
Istikharah pertama atas nama cinta meyakinkannya untuk berhenti… Berhenti atas perasaan yang dijaganya selama bertahun-tahun untuk kemudian mencari tempat melabuhkan perasaannya ke hati yang lain.
Setelah memutuskan untuk berhenti memperjuangkan CLBKnya, keinginan untuk menemukan sang belahan jiwa semakin besar. Yang namanya laki-laki, mencoba beberapa peruntungan sepertinya hal yang biasa. Sebelum memutuskan untuk berhenti mengejar CLBKnya dan kemudian membidik saya, sebenarnya dia sempat dijodoh-jodohkan dengan salah satu anak gadis keluarganya. Dia pun mengikuti nasehat keluarganya untuk mendekati perempuan tersebut. Namun, disebabkan oleh beberapa hal, dia kembali memutuskan mengundurkan diri dari usaha menjadikan perempuan tersebut sebagai jodohnya.
Ketika berada dalam masa-masa galau itu, dia kemudian tercerahkan oleh salah satu petuah ajaib dalam novel “Sunset Bersama Rossi” karya Tere Liye yg beliau kutip dari perkataan Mark Twain, “Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do…”
Dari situlah dia kemudian mengumpulkan keberanian untuk memastikan perasaannya kepada saya. Dia pasrah dengan apapun hasilnya, mengingat peluang itu sepertinya kecil. Ada jarak yang membentang, Papua – Batam. Ada kultur kampus yang membatasi, senior – junior. Dan ada ketidakpercayaan diri dengan profesi masing-masing. Tapi, setidaknya dia sudah berusaha, bukan?
Namun, apakah perasaan cinta itu hanya cukup dengan diungkapkan saja? Tidak bukan? Bukankah Cinta itu membutuhkan komitmen dan bukankah tidak ada yang bisa mengekalkan cinta selain pernikahan…
Tapi, menikah itu juga butuh pemantasan diri atas satu sama lain. Menikah itu membutuhkan kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuan mempertanggungjawabkan apa - apa yang telah menjadi tanggungjawabnya.
*****
Tak ada perjuangan yang mudah dilalui, tak ada perjuangan yang tidak meminta pengorbanan. Akan ada saja alasan yang menggerus niat-niat baik kita. Pasti akan kita temui hal-hal yang mementalkan semangat kita. Di sinilah masalahnya.
Di satu sisi, dia merasa belum mampu secara financial dan di sisi lain saya juga belum bisa/siap menikah dalam kurun waktu 1,5 tahun ke depan dikarenakan beberapa hal urusan keluarga yang harus saya selesaikan. Akhirnya, proses ini sempat kandas karena kami tidak memiliki titik temu di sini dan dia merasa saya telah menolaknya dengan halus.
*****
Sajujurnya, saya cukup shock mendapati pengakuannya tersebut. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa selama ini dia menyimpan sebuah perasaan yang sudah cukup lama kepada saya. Dan saya benar-benar tidak menyadarinya. Dia benar-benar pandai menyembunyikan perasaannya.
Kemudian, saya mulai berfikir, menimbang dengan seksama, berusaha mengkalkulasikan plus minus jika saya memilihnya, karena saya sangat sadar, bahwa hanya di saat hati kita belum terpautlah yang membuat kita bisa berfikir jernih dengan logika berfikir yang tidak dipengaruhi oleh perasaan. Di samping itu, saya juga membuka komunikasi dengan orang tua bagaimana jika saya mulai punya keinginan untuk menikah. Di rumah, saya cukup tertutup. Saya tidak pernah membagi perasaan saya tentang kapan dan dengan siapa saya akan menikah kelak.
Setelah melakukan beberapa kali istikharah dan juga melihat hasil kalkulasi-kalkulasi dari prospek jangka panjang mimpi-mimpi hidupnya, serta mendapatkan pencerahan dari orang tua, dari situlah saya baru mendapatkan keyakinan untuk mengambil langkah pasti menuju pernikahan dan juga memutuskan akan memilih dia sebagai Imam saya kelak.
Dan tibalah saatnya keputusan hati itu untuk segera dikabarkan kepadanya…
Sebagai bocoran buat kalian, dalam setiap doa saya ketika yang berhubungan dengan “JODOH”, saya tidak bilang, “Yaa Allah, berikanlah saya jodoh……Bla..bla..bla”. Saya hanya selalu meminta kepada Allah, “Yaa Allah, jika suatu saat Kau telah mengirimkan jodoh itu untukku, maka berilah aku sebuah isyarat hati agar hatiku condong kepadanya. Jika yang datang adalah bukan yang tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz, maka palingkanlah hatiku darinya. Sungguh Engkau Maha Membolak-balikkan hati”.
Saya juga sering meminta kepada Allah, klo bisa saya dilibatkan dalam proses ta’arruf sekali saja seumur hidup, agar saya tidak perlu jatuh cinta berkali-kali pada orang yang berbeda. Alhamdulillah, semoga ini selamanya… Aamiin yaa Rabb.
*****
Mengetahui semua kenyataan perjalanan kisah perasaannya… awalnya saya merasa cukup terganggu. Saya pribadi tidak pernah sekalipun melakukan aktifitas pacaran pun tidak pernah memelihara perasaan kagum secara spesifik kepada siapapun selama ini. Tapi tentu saja saya harus sadar bahwa menemukan laki-laki yang tidak pernah pacaran selama hidupnya sama saja saya mencari jarum di tumpukan jerami.
Karena itu, saya hanya punya satu pertanyaan. ”Setelah tarbiyah, pernahkah dia pacaran lagi?”
Dia menjawab, “tidak”. Pada dasarnya, jawaban itu sudah cukup bagi saya.
Untuk kehidupan di masa jahiliyahnya, saya merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Toh, setiap kita mempunyai masa lalu. Saya hanya tidak bisa mentolerir jika pasca dia tertempa Tarbiyah tapi masih tidak bisa menjaga diri dengan aktif pacaran atau menebar pesona dan janji-janji ke beberapa anak gadis orang lain.
Dan mengenai perasaannya terhadap “seseorang” itu, rasanya saya juga tidak perlu membuatnya menjadi masalah. Toh… tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Yang ada hanya 2 kali pertemuan dalam masa kebersamaan mereka yang singkat sebelum perempuan itu menghilang dari hidupnya. Itupun terjadi ketika dia masih baru bersentuhan dengan dunia Tarbiyah.
Juga tentang perempuan pilihan keluarganya itu, saya memilih untuk tidak membahasnya apalagi ingin mengetahuinya secara rinci. Saya akan berusaha mengikhlaskan semua masa lalunya. Toh, saya juga tidak sesuci Maryam yang tak tersentuh. Saya memang tidak pernah memiliki hubungan resmi yang bergelar pacaran, tapi bukan berarti saya tidak pernah memberikan sedikit waktu untuk beberapa orang laki-laki yang pernah dekat dengan saya.
Yang terpenting adalah niat baik dan tekadnya yang kuat untuk menatap masa depan bersama saya. Hanya dengan saya, saya, bukan yang lain.
*Note:
- Proses kami tidak melalui perantara Murabbi/Murabbiyah kami. Tapi dibantu oleh salah seorang senior kami di kampus dulu.
Penasarannya terjawab :)
BalasHapusngapalin doanya kak Kiki juga hehe..
Owww... Jd Dian penasaran jg toh.. hehehe..
HapusWah... boleh juga diapalin, klo mau direvisi jg boleh kok...