“Lebih baik duniaku kebalik daripada harus pake Jilbab”. Perkataan yang seharusnya tidak perlu keluar dari mulutku. Kala itu saya baru resmi mengenakan pakaian putih abu-abu. Di sebuah perjalanan pulang dari kursus bahasa Inggris dengan menggunakan motor bututku. Tepat di depan sebuah Gereja saya mengucapkannya, saksinya adalah teman karibku yang seorang Kristen taat. Entah apa yang difikirkan temanku saat itu. Kata-kata tersebut mengalir cepat dan penuh rasa sombong. Seingatku, perkataan itu keluar sebagai akumulasi kejengkelan atau rasa kecewa saya terhadap kebanyakan orang yang memakai Jilbab tapi kelakuannya jauh dari yang seharusnya. Tapi alasan yang paling pas adalah bahwa diriku memang awam terhadap pengetahuan agama. Meskipun saya tahu bahwa hukum mengenakan Jilbab adalah wajib, tapi tetap saja pemahamanku tentang hal yang wajib dalam agama itu hanya sebatas pada apa-apa yang disebutkan dalam Rukun Islam. Itupun dengan pemahaman ala diriku sendiri atau guru agamaku. Semoga Allah berkenan memaafkan perkataanku saat itu… Amin.
Dibesarkan dalam didikan 1 orang Bapak dan 1 orang Ibu yang mempunyai karakter 1800 berbeda satu sama lain. Sebagian besar waktu di luar sekolah saya habiskan di rumah. Resiko punya ortu yang over protectif, dari ujung kaki hingga ujung rambut sudah diatur sama Ibu. Begitupun dengan pilihan sekolah. Orang tuaku cukup resistance terhadap gerakan keagamaan, tentu saja kami tidak akan pernah diijinkan sekolah di Pesantren atau apapun pendidikan formal yang berbau agama. Tapi bukan berarti kami anak-anaknya tidak mempunyai kewajiban tuk belajar agama. Yang mengajarkan saya ngaji, sholat dan membaca adalah Ibu. Bacaan-bacaan sholat sudah saya hafal dari kelas 1 SD, untuk anak-anak seusiaku di kampungku di waktu itu merupakan hal yang luar biasa. Saya sudah bisa membaca sebelum sekolah, berhitung pun demikian. Semua ilmu itu saya dapatkan dari kedua orang tuaku. Boleh dibilang ketika masih SD saya tidak pernah tau apa yang saya butuhkan lagi selain dari apa yang sudah disediakan orang tuaku. Saya tidak banyak bergaul dengan tetangga atau dengan keluarga dekatku. Orang tuaku galak sih, mana ada yang berani gangguin anak Ibuku. Hehehe.. Dengan terkenalnya Ibuku yang galak sampe seantero kampung, gak ada yang berani dekatin kami. Kecuali dia mau cari mati di tangan Ibuku. Serem kali yah? Alhamdulillah, saya bisa terbebas dari kata, tetanggaku idolaku atau seperti teman-teman sebayaku yang kebanyakan pacaran sama saudara sepupu atau sama tetangga kampung.
Hingga di akhir CAWU 3 saat kelas 1 SMU, saya mengenal seorang Mahasiswa yang kebetulan aktivis HMI. Kami sempat diskusi beberapa kali tentang agama Islam pastinya. Dia bayak memberi saya pertanyaan yang saya tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan standar, bagi yang sering bersinggungan dengan aktivis HMI mungkin sudah bisa menebak seputar jalannya diskusi ini. Dari jaman bahoela sampe sekarang selalu tentang konsep Ketuhanan. Saya bingung dengan segala pertanyaanya, dan di sinilah titik balik bagi saya untuk memulai proses pencarian. Awalnya saya diskusi dengan Bapak saya, lumayan cukup mendapat pencerahan tapi banyak hal yang susah saya fahami. Bapak seorang ahli tarekat, bapak termasuk orang yang gila baca. Dia banyak mengkonsumsi buku-buku H. Bey Arifin dan Imam Al-Ghazali. Dan pastinya dia mempunyai Al-Qur’an terjemahan yang saat ini kulihat semakin lusuh karena keseringan dibaca. Bapak belajar tarekat secara otodidak, dia tidak berguru kepada siapapun atau mempunyai kelompok tarekat seperti keluarga kami yang lain. Tapi dari hasil survey-ku, banyak yang memuji pengetahuan yang dimiliki bapakku tentang ilmu tarekat. Hmmm.. Wallahu’alam.
Di sekolah pun saya juga banyak diskusi sama guru-guru. Saya mulai membaca buku-buku Bapakku yang sebagian besar isinya tidak bisa dicerna otakku. Alhamdulillah, Ibu punya adek ipar yang mempunyai adik seorang akhwat (waktu itu saya belum tau istilah akhwat, ikhwan, dakwah fardiyah apalagi yang namanya aktivis dakwah). Tanteku ini berjilbab panjang, awalnya saya aneh dan kadang tidak PeDe klo mesti nganterin dia kemana-mana. Bisa hancur reputasiku sebagai preman kampung klo teman-temanku melihatku berjalan dengan Buk ustadzah.. Dia sempat tinggal di rumah beberapa bulan karena waktu itu dia ngajar di sebuah SD di kampungku. Hampir tiap malam kami lewati dengan diskusi ringan, dan tak lupa dia sering mensupply majalah An-Nida dan El-Fatah untuku. Beberapa teman SMPku dulu juga sudah jadi ADS (Aktivis Dakwah Sekolah), kami berlainan SMA tapi mereka juga sering mensupply majalah untukku. Pimpinan Yayasan tempatku kursus Bahasa Inggris tak kalah gencarnya, setiap hari jum’at kami diberi materi tentang Agama Islam selama 1 jam. Ganteng-ganteng bok yang ngasih materi, jadi bikin betah lihat mereka berdiri di depan kelas. Ini toh yang kemudian setelah di kampus di kenal dengan IKHWAN.
Tak pernah kusadari klo saya ini sudah lama jadi target fardiyah dari sekian banyak Aktivis Dakwah yang pernah kutemui selama usia sekolah. Yang ada dalam fikiranku adalah bahwa mereka memang seharusnya berada di waktu itu dan saya memang ditakdirkan mengenal beberapa orang baik dalam setiap waktu yang kulalui. Alhamdulillah, sejak diskusi dengan aktivis HMI tersebut saya sudah tidak pernah lagi meninggalkan sholat Fardhu. He..preman kok sholat? Gak mungkin, lagi-lagi saya sering sholat secara sembunyi-sembunyi. Demi…menjaga nama baik.
Seiring berjalannya waktu muncul dalam hati niat tuk berjilbab. Lama kelamaan perasaan itu semakin kuat dan sulit tuk kubendung. Meskipun alasannya belum murni karena Allah, ada beberapa alasan lain yang semakin memompa semangatku. Saya merasa tertantang, klo yang gak baik saja saya PeDe melakukannya mengapa saya tidak bisa melakukannya untuk hal yang baik-baik. Itu alasan pertama, yang kedua, saya selalu berfikir. Bila saya berada di posisi mereka yang berjilbab, apakah saya juga akan sama dengan mereka atau saya bisa lebih baik dari mereka atau malah lebih buruk lagi??? Tapi… tidak mungkin, saya tidak mungkin mengenakan Jilbab. Saya pasti ditertawakan oleh teman-temanku. Lalu bagaimana dengan sumpah yang sudah pernah kuucapkan, rasanya pantang tuk menjilat air ludah yang sudah pernah kubuang. Akhirnya niat itu kuurungkan, dengan penuh keyakinan kujanjikan pada diriku, kuliah nanti saya akan berjilbab. Insya Allah.. Saya sangat sadar bahwa saya butuh lingkungan baru dimana tidak ada yang tahu bagaimana saya yang sebelumnya untuk mewujudkan impianku, berhijab.
Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus di sebuah Universitas terbesar dan tervaforit di Indonesia Bagian Tengah dan Timur, Universitas Hasanuddin melalui jalur JPPB. Di Unhas, saya keterima masuk Fakultas Teknik program studi Teknik Kelautan. Sebuah jurusan yang tidak pernah hadir dalam lintasan cita-citaku. Mimpi pun tidak, apalagi menjadi cita-cita. Dari kecil hingga SMA yang ada dalam fikiranku jadi Pengacara, Dokter atau Guru yang pada akhir SMA saya kehilangan arah. Semua cita-cita itu tak lagi kuinginkan. Akhirnya kupilih Teknik Kelautan, jangan Tanya kenapa, saya pun tidak tahu. Ketika dinyatakan lulus, sempat ingin mundur dan mencari jurusan yang kira-kira saya merasa cocok. Tapi seorang Sahabatku berkata, “Kamu ambil saja, jangan mundur. Mungkin itu yang terbaik dari Allah buat kamu”. Setelah kufikir-fikir, bener juga kata temanku ini.
Dan berangkatlah saya menuju sebuah kota impian bagi setiap anak daerah sepertiku ke Makassar. Membawa sejuta mimpi untuk kuwujudkan. Tak mudah melalui bulan pertama sebagai anak rantau. Ini kali pertama saya pisah dari orang tua. Saya tinggal bersama kakak yang 1 tahun lebih dulu kuliah di Makassar, kakak saya kuliah di salah satu Universitas Swasta di kota ini. Kepergian saya merupakan hal yang sangat berat buat orang tua. Selain karena rasa sayangnya, mereka menghawatirkan saya, bagaimana saya bisa hidup jadi anak kost. Mengingat dari 4 bersaudara yang semuanya perempuan, saya yang paling tomboy, paling nakal, paling tidak bisa ngurus diri sendiri, paling malas, paling menjengkelkan klo di rumah, paling cantik dan paling pintar…hehehe… Sontak kondisi rumah berubah 1800, tak ada lagi yang bisa membuat seisi rumah jengkel. Tak ada lagi yang harus membuat Ibuku nongkrong di teras sampai saya pulang ke rumah karena kelayapan kemana-mana. Tak ada lagi tukang kebun mereka, tak ada lagi tukang ojek mereka. Begitupun saya, 1 minggu kulalui dengan penuh kebahagian. Tak ada lagi suara Ibuku yang sering berkicau sepanjang waktu karena marah-marah. Saya mau ngapain bebas, gak ada yang bakal marahin scara Ibuku gak tau apa yang kulakukan. Seperti burung yang lepas dari sangkarnya saja. Tapi itu hanya sementara, lama-lama jadi kangen mendengar suara Ibuku yang suka ngomel-ngomel. Kangen juga mendapatkan cubitan di paha dan pukulan dengan menggunakan kayu atau mendapat lemparan barang yang ada di tangan Ibuku ketika marah terhadapku. Hiksss… Untungnya gak ada yang laporin Ibuku ke Komnasham, bisa dikenakan hukum berlipat-lipat nih. Meskipun disiksa kaya’ anak tiri, tapi saya tetap tidak bisa menahan rindu. 3 bulan pertama kulalui dengan 2 minggu sekali menempuh perjalanan 8 jam demi melihat wajah orang tuaku. Seiring berjalannya waktu, Banyaknya tugas kuliah membuatku hanya bisa sekali pulang dalam 1 bulan.
Pendaftaran ulang Mahasiswa Baru untuk JPPB pun dibuka. Kembali kuingat niatku yang dulu sempat mengambang. Pernah suatu hari sebelum tamat SMA saya mengajukan niatku ke Ibuku untuk mengenakan Jilbab. Jawabannya, tidak boleh. Alasan orang tuaku cukup kuat. Dia takut saya hanya akan menodai Jilbab itu sendiri. Ibuku tidak menyukai mereka yang berjilbab hanya karena takut panas atau hanya ingin dibilang agamanya bagus. Klo mau berjilbab, harus benar-benar karena Allah. Lagi-lagi saya salut sama orang tuaku. Ibuku, meskipun sholatnya suka bolong-bolong tapi tidak pernah lupa mengingatkan anaknya untuk memelihara sholatnya, klo ga sholat pasti dapat hadiah pukulan. Bapakku juga sama, sholat tetap bolong-bolong meskipun pengetahuan agamanya luas aplikasinya tak ada. Tapi hanya untuk urusan sholat aja mereka kurang, selebihnya..Subhanallah. Mereka adalah orang terhebat yang pernah kutemui di dunia ini. Dan Alhamdulillah, belakangan saya tahu bahwa mereka sudah tidak pernah lagi meninggalkan 1 waktu pun sholatnya. Bahkan saya selalu iri, hampir tiap malam mereka bangun sholat lail sementara saya sekali saja dalam seminggu itu sudah hebat.
Bingung, saya sama sekali tidak memiliki baju berlengan panjang. Jilbab pun tak ada. Beruntung saya sempat curi-curi jilbab Ibuku 2 potong yang kubawa ke Makassar. Kakakku tidak berjilbab, jadi sulit tuk mendapatkan pakaian tertutup. Tapi, ketika niat itu sudah memenuhi kalbu. Maka tak ada yang sulit. Saya melihat beberapa baju kemeja kakak yang berlengan panjang, Alhamdulillah.. Akhirnya dengan ucapan Basmalah, kumulai mengenakan Jilbab. Jilbab berwarna hijau muda, baju kemeja berwarna putih dan celana jeans biru. 5 Agusus 2003, Itulah jilbab pertamaku. Allohu Akbar!!!
Rasa haru menggelayuti hatiku, menitikkan beberapa bulir air mata dan sesungging senyum kuberikan khusus untuk jiwaku. Matahari pagi bersinar dengan cerahnya seakan ingin menunjukkan wajah-wajah cerahnya menemani keceriaan hariku. Kususuri perjalanan dengan langkah bahagia, akan kujemput takdirku dan akan kujemput Hidayah-Nya di kampus Merah Hitam, Teknik Unhas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar