Suara kernek Bus membangunkanku dari tidur panjang selama berjam-jam perjalanan. “Neng, Padang Sappa”. “Oh..Iya bang, makasih”. Jawabku yang masih mengumpulkan setengah nyawa. Kulangkahkan kaki menuruni Bus sambil menarik Ranselku yang beberapa hari ini setia menemaniku. Sejenak kulayangkan pandangan ke setiap arah di sekitarku, terakhir kuarahkan pandangan ke langit, mengucap syukur dalam hati. Kususuri jalan menuju rumah nenekku yang letaknya tidak begitu jauh dari jalan raya. Saya masih sangat hafal daerah ini meskipun telah banyak bangunan baru yang kini mengisi tempat-tempat yang dulunya dipenuhi oleh pepohonan. Rumah-rumah yang dulunya kelihatan tua serasa meremaja dengan sentuhan renovasi yang apik. Angin bertiup lembut menyapa mengiringi senja yang memerah diufuk barat. “Ekky…….” Langkahku terhenti seketika mendengar seseorang memanggil namaku. Kupandangi sosok yang berdiri 10 meter di depanku dalam-dalam. Kuraba ingatanku, mengacak-acak setiap memori yang tak pernah lagi muncul bertahun-tahun lamanya. Ya…Aku ingat wajah itu…
Di tempat ini, tepat 10 tahun yang lalu dia memintaku tuk menunggunya. Saat itu dia akan pindah ke luar kota, meninggalkan kekacauan yang sempat melanda kota kami. Kami masih kelas 2 SMA kala itu. Setelah kenaikan kelas semua siswa yang masuk 5 besar di kelas masing-masing disatukan dalam satu kelas unggulan. Sebelumnya kami sudah saling kenal sejak kelas 1 SMA. Saya tidak ingat bagaimana caranya kami berkenalan. Semuanya berjalan begitu saja hingga melahirkan begitu banyak diskusi-diskusi diantara kami. Kami sering mengerjakan tugas sekolah bersama, dia selalu menunjukkan PRnya kepadaku. Mungkin dia tahu klo saya tidak begitu rajin mengerjakan tugas. Kata teman-teman satu kelasnya dulu, dia tak suka menunjukkan tugas kepada siapapun. Tapi hal ini tak berlaku untukku, dia begitu sabar menunjukkan setiap tugasnya dan selalu memberikan penjelasan. “Biar kamu faham”, begitu yang selalu dia bilang.
Saya sangat senang mempunyai teman seperti dia. Dia berwawasan luas, pengetahuan agamanya pun sangat banyak. Dia selalu bisa memberikan jawaban yang mudah kufahami untuk setiap pertanyaanku tentang Islam dan saya puas dengan jawaban-jawabannya. Seakan-akan dia mampu menghilangkan dahagaku akan pengetahuan agama yang kuanut kala itu.
Dia selalu memintaku tuk pulang bersamanya. Mengantarku sampai ke rumah nenekku yang kebetulan rumah dia dekat dari rumah nenekku. Dia akan berdiri mematung menungguku sampai saya menghilang dari penglihatannya setiap saya akan pulang ke rumah.
2 bulan yang begitu singkat untuk dilalui bersama. “Besok saya akan pindah”. Tiba-tiba dia memecah keheningan ketika kami makan siang di kantin sekolah. Saya hanya tersenyum kepadanya sambil melanjutkan makan. Setelah makan, saya membantunya mengurus setiap surat-surat kelengkapan yang harus dia siapkan untuk memasuki sekolah barunya. Sebelum pulang dia menemui beberapa guru dan kepala sekolah. Entah apa yang ada dalam fikiranku saat itu, saya hanya ingin pulang sesegera mungkin. Saya pamit padanya, “Saya pulang duluan yah”. Dia mengangguk kemudian berkata, “Tunggu aku di depan rumah nenek kamu yah”. Saya tak kuat melihat tatapan matanya, kubalik badanku dan meninggalkannya di ruang kepsek.
Sejak saat itu, kami loose contact. Kulewati hari-hariku seperti biasa bersama teman- teman Gank-ku. Tak ada lagi dirinya yang mengajakku bercerita tentang banyak hal, tak ada lagi diskusi tentang agama. Waktu berjalan mengikuti perintah Tuhannya, bergerak maju ke masa depan. Setiap lewat depan rumahnya atau libur sekolah tiba, saya selalu menoleh ke rumahnya berharap melihat dia ada di sana. Tapi, harapan itu tidak pernah menjadi nyata.
Tibalah waktu untuk melepas seragam sekolah dan berganti status menjadi mahasiswa. Alhamdulillah, saya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Makassar melalui program JPPB, Universitas Hasanuddin (UNHAS). Hari ke-2 untuk pendaftaran ulang. Tiba-tiba kurasakan ada pukulan tinju ringan di pundakku, “Ekky, keterima di jurusan apa? Gak nyangka yah kita bisa ketemu lagi. Siapa saja teman SMA kita dulu yang masuk UNHAS? Kamu bareng siapa ke sini?”. Dia bertanya tanpa jeda dan tidak memberiku kesempatan tuk menjawabnya. Saya memberinya senyum sembari bertanya dalam hati, apa ini nyata? Ekspresiku biasa-biasa saja, tak ada kegembiraan yang meluap atau haru di sana. Saya menjawab pertanyaannya satu persatu dengan apa adanya. Kulihat di sampul Mapnya, Managemen Kehutanan. Kami tidak se-Fakultas.
Segera setelah kami menyelesaikan administrasi di bagian kemahasiswaan, dia langsung mengajakku jalan-jalan mengitari kota Makassar. Tanpa fikir panjang, saya pun meng-iyakan ajakannya. Anehnya, dia meminta saya yang memboncengnya. Saya pun tidak keberatan, saat SMA dulu saya memang sering membonceng teman cowok yang kebetulan tidak bisa mengendarai sepeda motor dan dia tahu itu. Saya merebut helm dari tangannya, dia mundur ke jock belakang dan berangkatlah kami menyusuri jalan-jalan di kota Makassar. “Inilah kota Makassar yang selalu kita impikan dulu menjadi tempat kita menimbah ilmu. Di sini kamu mesti hati-hati bawa motor, bedakan dengan daerah kita. Ada rambu-rambu lalu lintas yang wajib dipatuhi. Ada banyak jalan besar, bukan hanya satu. Peluang kesasarnya lebih tinggi jadi perhatikan nama jalannya dan gedung-gedung yang bisa kamu ingat namanya untuk kamu tahu kalo-kalo nanti kamu kesasar di sini. Ke pantai Losari yuk, di ujung sana kamu belok kiri”. Hmmm.. masih seperti yang dulu. Klo cerewetnya kumat, bisa-bisa dia yang mendominasi pembicaraan dan saya hanya kebagian mengatakan “iya” atau “tidak”. Kami hanya melihat-lihat di atas motor, kami terus melanjutkan perjalanan hingga sore tiba dan saya meminta dia mengantarku pulang ke kost.
Sampai di kost, saya pamit dan ngucapin terima kasih ke dia untuk perjalanan dan cerita-cerita yang banyak di hari ini. Dia menatapku lama, memintaku masuk rumah terlebih dahulu kemudian dia pergi. Lagi-lagi kami loose contact sejak hari itu. Entah kenapa tak ada salah satu diantara kami yang berinisiatif meminta nomor telepon. Sayup-sayup kurasakan waktu berjalan dengan cepatnya mengantarkan kami pada rutinitas perkuliahan dan kegiatan-kegiatan kampus lainnya.
Kembali takdir mempertemukan kami 2 tahun kemudian. Saat itu pendaftaran masuk Perguruan Tinggi Negeri untuk angkatan2005. Kami bertemu di perjalanan menuju gedung registrasi UNHAS. Sekilas mata kami bertemu kemudian saling membuang pandangan. Dia berbalik dan memanggilku, “Assalamu’laikum Ky”. “Wa’alaikum salam... Lama ga ketemu. Kamu dari mana saja selama ini? Kok kita ga pernah ketemu? Kamu ngapain di sini?” Kali ini saya yang lebih banyak bertanya. “Saya mencoba mendaftar lagi, berharap kali ini saya bisa lolos di Fakultas Kedokteran”. Masih dengan wajah agak menunduk, sesekali dia memalingkan wajahnya ke arahku kemudian menunduk lagi atau mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.
Subhanallah, kami dipertemukan dalam kondisi yang benar-benar sudah sangat berbeda dari yang dulu. Saya sangat sadar dengan perubahannya dan saya yakin begitupun dengan dirinya ketika melihatku kini. Dia sekarang menjadi seorang ikhwan dan saya adalah seorang akhwat. Saya tidak begitu kaget dengan kondisi dia sekarang karena setahuku dulu keluarga dia memang sangat taat dalam beragama, seingatku keluarganya banyak yang bergabung di salah satu Organisasi Massa yang cukup besar di Indonesia. Saya hanya menebak waktu itu, mungkin dia sudah jadi aktivis dakwah dari Ormas tersebut. Dan sekarang, saya yang dulu dia kenal sangat tomboy dan tidak mengenakan jilbab, berdiri di hadapannya kini dengan pakaian dan jilbab yang menutupi tubuhku. Saya tidak ingin menebak apa yang ada di dalam fikiran dia saat itu.
“Hmmmm… kenalin, Ari teman SMP aku”. Saya memecah keheningan sesaat dengan mengenalkan seorang teman yang memang saat itu juga ingin mencoba peruntungan untuk mengikuti SPMB lagi, Ari memintaku menemaninya agar bisa lebih memudahkan dia mencari letak gedung-gedung yang harus dia datangi selama proses pendaftaran berlangsung. Kulihat ada sorot aneh dari tatapan matanya, lagi-lagi saya tidak ingin menebak isi kepala dia dengan adanya saya bersama seorang teman laki-laki.
Tak ada pembicaraan panjang diantara kami, saya langsung pamit dan meninggalkannya yang masih mematung di posisi awal dia menyapaku. Berlalu seperti hembusan angin yang menyeruakkan aroma pepohonan rindang di sekitar kampus. Sempat terlintas dalam benakku tuk menoleh namun egoku sudah menguasai. Dia selalu begitu, dia tak pernah menahanku dan tak pernah mengungkapkan isi hatinya. Padahal saya sangat yakin dengan sorot mata itu, mata yang selalu memandangku dengan penuh arti. Sejak dulu, sampe sekarang. Tatapan itu masih sama. Kembali kutata hatiku, kuingatkan diriku dan kucoba tuk memberikan pengertian pada hatiku. Tak pernah ada hubungan khusus diantara kami. Tak pernah ada kata cinta yang terucap. Mungkin pernah ada rasa untuk dia, mungkin dia pernah mengambil sedikit tempat dihatiku… Tapi bukankah semua itu sudah berlalu? Ini hanyalah perasaan sesaat, ini bukanlah perasaan cinta. Dari dulu, sekarang dan untuk selamanya.
Kujalani hari-hariku di kampus seperti umumnya mahasiswa yang lain. Saya sangat bersyukur bisa berkuliah di UNHAS. Kutemukan banyak hal indah di sana, persahabatan, ilmu, pengalaman hidup dan banyak lagi. Dan yang paling berkesan bahwa saya adalah seorang Aktivis Dakwah Kampus. Setiap waktu yang kupunya kuhabiskan dengan kuliah dan agenda-agenda Dakwah yang saya emban. Tak pernah lagi saya biarkan hati dan fikiranku terpaut pada satu makhluk yang bernama laki-laki. Setiap hatiku mulai mengagumi, kubiarkan ia bertumbuh dalam perasaan simpati. Hanya sebatas itu, tak boleh lebih. Sampai kini, satu tempat di hatiku masih kubiarkan kosong untuk satu nama. Tempat itu hanya akan diisi oleh orang yang mengucap Ijab Kabul di hadapan para penduduk langit dan bumi untukku. Siapapun dia, meskipun dia adalah orang sangat kuhindari atau dia adalah orang yang pernah kuharapkan.
Setelah menyelesaikan kuliah, saya putuskan tuk mengadu nasib di pulau Jawa. 3 tahun berada di perantauan membawaku kini kembali ke kampung halaman untuk menggenapkan separuh dari agamaku. Saya akan menikah dengan seorang yang Insya Allah Sholeh dan cerdas. Dia adalah teman sekolahku dulu, dokter lagi, imbuh Ibuku. Saya tidak pernah ingin tahu siapa nama dan asal usul laki-laki yang telah memintaku tuk menjadi istrinya pada kedua orangtuaku. Yang saya tahu saat itu, orang tuaku menerima pinangan tersebut.
“Ekky”. Kembali suara itu memanggil namaku, membuyarkan semua memori yang sempat kuputar ulang. “Ray…” Satu kata itu terucap dari bibirku, dengan nada kaget sambil menunjuk ke arahnya...
(Terinspirasi dari pengalaman pribadi, tapi namanya jg cerpen.. tetap ada unsur fiktifnya. hehehe).
This is my first Cerpen!!!
^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar