CERPEN:
Aku kini terhempas dalam ruang hampa, kosong dan gersang melingkupi seluruh hati. Apa yang kuperjuangkan selama ini hilang begitu saja. Seperti buih yang tersapu ombak, seperti debu yang terhempas angin. Aku kalah...
Penantian panjang, mengubur perasaan dalam diam. Kebekuan yang menyapa bibirku, ketidakberdayaan tubuhku menanggung perasaanku kala berada di dekatnya, membuatku menjadi sosok yang begitu kuat dalam kesabaran berdiam diri. Sesekali mencuri pandang dalam ketidaksadarannya akan hadirnya diriku. Aku memang tidak pernah ada baginya. Selamanya seperti itu. Dan seharusnya aku sadar dari awal, dia tidak pernah menganggapku ada.
Aku memang bodoh. Bodoh karena telah membiarkan harapku bertumbuh begitu besar padanya. Laki-laki pengecut sejati yang pernah kutemui di dunia ini. Dia tak layak membuatku menangis, dia tak layak mendapat tempat yang tinggi di hatiku, dia tak layak...tak layak mendapatkan cintaku.
Kini, tatapku kosong menjelajah menembus tembok di kamarku. Meratapi diri dalam ruangan kecil ini. Aku termangu di satu sudut hatiku, menyudut di ruangan 3x4 meter ini. Mendekap kedua kaki. Membenamkan wajahku di ujung-ujung lutut. Kugigit bibir bawahku, menahan tangis, sesak mengisi rongga dada. Aku sakit...
***
Siluet senja memerah di ufuk barat. Di suatu tempat, tenang membelai jiwaku. Deru ombak mendendangkan lagu pada semilir angin. Langit biru memeluk pantai, aku hanyut.
“Sungguh indah yang menciptakan birunya langit... Kau menikmatinya?” Suara itu seketika membuyarkan perjalanan jiwaku yang membelah lautan luas di hadapanku. Aku tau pemiliknya. Rico, lelaki yang sudah lama kukenal. Cukup lama. Lelaki yang bisa memalingkan duniaku, setidaknya aku sadar, dialah lelaki pertama yang membuat degupan jantungku berjalan kencang. Tak bisa kukendalikan. Entah mengapa perasaan itu harus jatuh padanya. Lelaki pongah dengan materi yang didapatkan dari kegeniusan otaknya. Lelaki yang selalu bangga dengan kemampuannya menaklukkan setiap wanita yang diinginkannya. Dan aku pun takluk, tanpa dia inginkan, mungkin...
“mmm...yah. Subhanallah. Aku sangat menikmatinya”. Masih dengan kerasnya usahaku mengendalikan perasaan yang membuat tubuhku seakan bergetar berada duduk di sisinya, kini. “dia menyapaku”. Hatiku berbisik.
“Kau selalu sendiri, Rima. Mengapa tak pernah mencoba membaur bersama kami, menikmati hidup, tertawa lepas, dan...” Dia menghela nafas panjang, “dan mencoba membuka diri untuk seseorang. Pacar mungkin”. Sedikit ragu dia menyelesaikan kalimat akhirnya, membalikkan wajahnya menatapku. Aku pun memalingkan wajahku padanya, saling beradu pandang. Dueeerrrrrr... Darahku berdesir menjalari setiap urat-urat dalam tubuhku.
“hahaha... kau seperti orang yang baru mengenalku saja Ric, aku tidak mungkin pacaran. Kau tau itu”. Kucoba menguasai diriku. Melempar pandangan ke laut lepas, berdiri dan mengambil beberapa langkah ke depan. Merasakan belaian lembut angin yang memainkan ujung-ujung jilbab hijau daunku.
“Sampai kapan? Sampai pangeran berkuda putih datang menjemputmu?” Aku membalikkan tubuhku, memandangi sejenak wajahnya yang menatap serius padaku.
“Sampai orang yang kucintai datang meminangku”. Jawabku tegas.
“Siapa dia?” Dia menghampiriku, hingga kami berdiri begitu dekat. Bersisian.
“Kau tidak perlu tau”. Aku bergegas berlalu darinya, meninggalkannya yang masih beberapa kali memanggil namaku. Meninggalkan pikirannya yang dipenuhi rasa ingin tau. Oh, andai bisa kuungkapkan padamu Ric, kaulah orangnya. Kaulah yang selalu bermain di pikiranku. Kaulah nama yang selalu kusebut dalam doaku, kaulah lelaki yang selalu hadir dalam mimpiku. Kaulah yang selalu kurindukan. Hanya kau, tak ada yang lain.
***
Hidup selalu memberikan berjuta warna. Entah itu bahagia atau kesedihan. Semuanya sudah satu paket. Ada yang datang dalam hidup dan ada yang pergi. Ada yang meninggalkan kesan begitu berarti dan ada juga yang hilang tak membekas.
Aku dan Rico dipertemukan sekitar 4 tahun yang lalu. Waktu itu kami sama-sama melakukan interview kerja di Perusahaan yang sama untuk posisi yang sama pula. Kebetulan posisi tersebut memang sedang membutuhkan 2 orang. Dari beberapa orang yang melamar, akhirnya kami berdua dinyatakan layak untuk mendapatkan posisi tersebut. Sebagai orang baru, akhirnya kami selalu melakukan beberapa hal berdua. Ke kantin berdua, ke musholla berdua, ke area project berdua bahkan dia sering menawariku ikut bersamanya ketika berangkat dan pulang kerja. Dia salah satu manusia yang ditakdirkan lahir dengan orang tua kaya. Jadi tidak heran jika dia sudah membawa mobil pribadi meskipun statusnya masih fresh graduate.
Kadang dia mengajakku nonton film, tapi untuk hal yang satu ini aku selalu menolak. Bagiku, bersama dengannya di kantor di sepanjang hari sudah cukup, tak perlu di lanjutkan di kehidupan di luar kantor. Banyak cerita yang mengalir, banyak diskusi yang tercipta sehingga kami sudah cukup saling memahami prinsip hidup masing-masing.
Waktu berlalu begitu cepatnya. Otaknya yang encer dan pembawaan yang supel membuat karirnya melesat jauh meninggalkanku. Aku yang pendiam, cukup tertutup dan dengan otak pas-pasan merangkak, berjalan bak kura-kura membangun diri dalam karir.
Kami mulai jauh, Rico menjadi primadona perempuan-perempuan di kantor, tidak hanya di kantor, di luar pun dia mempunyai banyak kenalan perempuan. Sesekali dia masih mengajakku berangkat bareng ketika ada acara kantor, namun lebih banyak yang kutolak daripada yang kupenuhi.
Aku memang semakin tertinggal dari Rico, namun tidak dengan hatiku. Kemanapun Rico pergi, hatiku seakan selalu ikut bersamanya. Aku selalu bermain dalam bayang masa-masa pertama kali mengenal Rico. Perhatiannya, kebaikannya, ketulusannya, dan mata sayupnya. Aku tak bisa melupakannya.
***
Waktu berjalan lambat, untuk sekedar tidak mengatakan berhenti. Sejak pembicaraan di pantai itu, aku lebih banyak menarik diri dari kehidupan Rico. Namun entah mengapa sikap Rico berubah padaku. Kurasakan dia berusaha membangun komunikasi denganku, mengurai benang-benang kenangan lalu, menyambung yang terputus.
Hatiku diterangi secercah harapan. Seperti bintang gemintang yang berpijar terang di langit hitam. Mungkin inilah waktu yang tepat untukku. Menguatkan hati, menata perasaanku padanya. Aku mulai lelah dengan perasaan ini. Ingin segera kuakhiri. Apapun hasilnya, seharusnya aku ikhlas. Tak pantas aku membiarkan diriku berdiri di atas harapan tak pasti. Seperti berjalan di jalan tak berujung. Untuk apa???
Aku teringat dengan kata-kata Rico yang selalu diucapkannya dulu, “jika ingin mendapatkan sesuatu, maka lakukanlah sesuatu. Jika ingin mengetahui perasaan orang lain, maka bertanyalah. Bagaimana mungkin kau tau perasaan orang lain jika kau tidak pernah menanyakannya”. Yah, sudah saatnya aku belajar meraih cinta, bukan menantinya lagi...
Menunggu menjadi sesuatu yang benar-benar membosankan untuk dilalui dalam ketidakpastian. Akhirnya kuputuskan untuk mencari jawaban pasti untuk setiap kegelisahan yang menggerogoti jiwaku selama ini. Kutuliskan email untuk Rico, kata-kata telah pecah berkeping-keping dalam tulisan. Menguraikan kata demi kata tentang rasaku padanya. Sungguh, aku tak kuat lagi menahan perasaanku.
Malang bagiku. Rico memang tak lebih dari laki-laki pengecut. Dia memang tidak pantas kuperjuangkan. Untuk apa memperjuangkan laki-laki yang tidak memiliki keberanian mendapatkan cintanya. Bukankah dia yang dulu selalu mengatakan untuk melakukan sesuatu jika menginginkan sesuatu??? Bukankah dia dulu yang bilang untuk bertanya??? Ah..Rico. Betapa pengecutnya dirimu...
“Maafin aku Rima. Aku benar-benar tidak pernah tau perasaanmu padaku. Kufikir aku tidak pernah layak memiliki perempuan sebaik dirimu. Sekali lagi aku minta maaf. Beberapa waktu lalu, tak sengaja kubaca email di komputermu yang kau tinggal. Kulihat sebuah email dari Adrian. Dia melamarmu. Siapalah aku dibandingkan Adrian, Ri? Kalian begitu cocok, kalian akan menjadi pasangan sempurna. Hatiku hancur Ri, karena akupun telah lama menyimpan rasa untukmu. Tapi sekaran,g semuanya sudah terlambat. Hari ini aku akan melangsungkan akad nikah bersama perempuan pilihan orang tuaku. Maafin aku, Rima”.
***
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar