Dan ketika kau berkata bahwa di kotamu sedang hujan, seketika itu juga kotaku bergemuruh memberi tanda. Perlahan benang-benang air itu menghampar turun dari langit. Dan kau bilang, “di sini gerimis tebal-tebal”. Maaf, aku tidak sempat bilang bahwa di sini pun tidak gerimis lagi. Hujan kini menderas sederas-derasnya. Aku takjub memandanginya, menunggunya menjadi gerimis kemudian kuputuskan membelah jalan. Sejenak kulayangkan khayalku, mencoba melukiskan kotamu yang berselimut hujan. Ah, pikirku payah. Aku tak mampu menjamah kotamu meskipun dalam khayalku. Dan sepertinya aku akan lebih suka jika seandainya saja, saat ini kau menceritakan tentang sisa-sisa jejak hujan itu. Sudahkah ia menjadi embun? Bagaimana aroma tanah dan rerumputan di kotamu? Atau jangan-jangan kaupun sepertiku di sini. Berjalan menembus hujan dengan guratan fikiran yang sama.
Aku, kau dan hujan...
Aku, kau dan hujan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar