Seperti deburan ombak yang menghantam karang, seperti petir yang menyambar, seperti bumi yang diguncang gempa, atau mungkin seperti kiamat telah terjadi dalam duniaku. Sakit, kecewa tak terperihkan menyelimuti hati melebihi sakitnya kelukaanku saat mendapati satu per satu dari ke-tiga putraku menghadap Sang Ilahi. Betapa hati ini tidak hancur lebur saat membaca email mas Aqil, tulisan yang hanya pantas ditujukan kepada istri tercinta, namun yang tertulis bukan namaku melainkan nama perempuan lain, perempuan yang sangat kukenal.
Aku membatin, tak sanggup membendung air mata. Kupeluk kedua putri kembarku yang mungil, mereka membasuh air mataku dengan jari-jari kecilnya seakan mereka merasakan kepedihanku saat ini. Kupandangi wajah mereka, semakin aku tak mampu menahan tangis dan kembali kudekap mereka, erat dalam pelukanku.
Malam menunjukkan pukul 10.00 WIB, kudengar motor mas Aqil parkir di teras. “Assalamu’alaikum, ma..buka pintu”. Teriak mas Aqil sambil mengetuk pintu beberapa kali. Kubuka pintu dan kudapati ia pulang bersama Ami. Aku berusaha untuk tetap tenang dan bersikap normal meskipun kurasakan ada bara api membakar di hatiku. “Kami baru selesai meeting, di jalan Ami membeli sedikit oleh-oleh buat anak-anak. Aku antar Ami pulang dulu yah”. Tak ada kata yang keluar dari bibirku, hanya senyum yang kupaksakan tuk menjawab sapaan Ami. Aku masih mematung di depan pintu hingga suara motor mas Aqil hilang ditelan malam.
Ami, perempuan yang begitu sempurna di mataku. Cantik, cerdas dan sukses dalam karir. Dia adalah adik dari sahabat mas Aqil yang juga sekantor dengannya. Aku tak pernah menaruh cemburu atau curiga setiap kali ia main ke rumah bersama mas Aqil. Kami sudah kenal lama dan aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Rumah kami searah, jadi menurutku wajar jika sekali-kali mas Aqil mengantarnya pulang setiap kali mereka harus lembur. Tak jarang memang orang-orang di sekitarku mengingatkanku melihat kedekatan mereka. Tapi aku tetap menaruh kepercayaan yang tinggi pada mas Aqil dan Ami. Aku tidak ingin mengganggu hubungan persahabatan kami dengan kecurigaanku yang menurutku tidak beralasan. Ami bisa mendapatkan laki-laki yang jauh dan lebih dari mas Aqil, fikirku.
Aku berusaha tegar di hadapan mas Aqil, aku tetap menyembunyikan perasaanku. Tapi, aku hanyalah tetap seorang wanita, aku lemah. Tak ada tempat untukku mengadukan kegundahan hatiku. Malam-malamku dipenuhi dengan air mata, aku hanya bisa mengadu pada-Nya. Karena hanya Dia yang aku miliki, hanya Dia yang mampu menenangkanku. Sementara mas Aqil tetap seperti biasa, tak ada perubahan dari sikap dan perhatiannya padaku. Hanya saja dia sering pulang larut.
Suatu hari aku mengundang Ami makan siang di rumah pada saat libur kerja. Dan Ami pun memenuhi undanganku. Saat Ami datang, aku pura-pura menyuruh mas Aqil ke pasar membeli makanan ringan. Tanpa ragu, mas Aqil langsung berangkat. Sejenak aku terdiam menemani Ami di ruang tamu, sesekali kupandangi Ami yang asyik bercanda dengan anak-anak. “Mi, mbak mau nanya, boleh?”. Kataku memulai pembicaraan. “Iya mbak, boleh. Mau nanya apa yah?”. Jawab Ami yang kemudian menunjukkan muka serius padaku. “Mbak cuman mau nanya satu hal, dan aku harap kamu jawab dengan jujur. Apa kamu mencintai mas Aqil?”. “Astaghfirullah mbak, demi Allah. Saya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan mas Aqil. Sungguh, saya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapnya. Saya berani bersumpah mbak, demi Allah saya tidak mencintai mas Aqil”. Kulihat wajah Ami begitu khawatir mencoba meyakinkanku. Aku menghela nafas panjang, menata hatiku yang berkecamuk, menahan amarah dan air mata yang saling berlomba mengusik pertahananku. “Aku pegang kata-kata kamu Mi, Allah menjadi saksi kita. Tapi, jika hal ini benar, maka semuanya aku serahkan pada Allah. Biarlah Allah yang memenuhi sumpahmu dengan kehendak-Nya”.
Hari-hari kulalui dengan sulit setelah pembicaraanku dengan Ami. Mas Aqil lebih sering marah dan semakin sering pulang larut. Pertengkaran demi pertengkaran menjadi hal yang biasa mengawali dan mengakhiri hari kami. Tak ada lagi pelukan dan kecupan mesra membuka pagi, semuanya telah hilang. Mas Aqil berubah menjadi sosok yang tak kukenal.
“Besok aku akan menikahi Ami”. Mas Aqil tiba-tiba mengagetkanku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur. Jantungku seakan berhenti berdetak, mulutku kaku tak mampu berucap. Aku mematung, tak sanggup menoleh pada mas Aqil yang kemudian berlalu dariku. Kembali buliran panas jatuh membasahi pipiku, dadaku sesak tak tertahankan. Rasa perih meyelimuti hatiku. Pandanganku menerawang jauh menatap matahari yang bersinar terang menembus kaca jendela.
Air mataku mulai mengering, rasaku seakan menghambar. Kupandangi kedua putriku yang bermain dengan wajah riang. Tak ada duka di wajah mereka, mereka terlalu kecil untuk mengerti, bahwa 2 jam lagi ayah mereka akan menambah wanita lain dalam hidupnya, bukan hanya kami lagi wanita mas Aqil, tapi ada yang lain, bukan kami. “Kamu mengkhianatiku mas”. Lirihku dalam hati saat memandangi foto pernikahan kami yang terpajang dengan angkuhnya di ruang tamu.
Aku masih berdiri menatap satu per satu foto-foto kami yang menghiasi dinding rumah, kurasakan ada pelukan erat datang dari arah belakangku. Sangat erat hingga membuatku tak mampu bergerak. Aku tau itu adalah tangan kekar mas Aqil. Tangisnya memecah keheningan. “Bukankah sekarang adalah waktumu mengucap Ijab kabul untuk Ami mas???”. Tanyaku datar. “Maafin aku ma, maafin aku”. Jawabnya sembari menciumi kepalaku, lama. “Aku tidak akan pernah menukar kebahagiaan ini dengan apapun di luar sana. Aku janji ma, tidak akan ada lagi Ami atau Ami yang lain dalam kehidupan kita”. Aku berbalik memeluk mas Aqil. Syukurku memenuhi relung hati. Betapa Allah memperkenankan doaku.
Alhamdulillah yaa..
*Cerpen ini terinspirasi untuk mengenang masa perselingkuhan Papaku. Kata Papa, perempuan tersebut menjadi gila 1 jam sebelum akad nikah. Akhirnya Papa memutuskan pulang and it's mean no wedding, and no new woman more in our family.