17 Apr 2011

Romansa Facebook

Bismillah…
Akhir – akhir ini, topik diskusi saya dengan teman-teman di FB (Facebok; red) sering tidak jauh dari pernikahan dan berbagai hal yang berkaitan dengannya, termasuk di dalamnya adalah proses ta’arruf dan hubungannya dengan kemajuan teknologi informasi seperti email, chating dan facebook. Dari diskusi ini muncullah berbagai kisah nyata dari mereka ataupun dari pengalaman teman-teman mereka. Saya ingin sedikit berbagi cerita tersebut dengan harapan semoga kita semua bisa mengambil hikmah darinya. Sebelumnya saya minta maaf buat para narasumber saya karena belum minta ijin untuk menshare pengalaman kalian di sini. Tapi Insya Allah, nama dan tempat terjadinya peristiwa tersebut akan terjamin aman. :)
Seorang teman, anggaplah Si akhwat A bercerita kepada saya tentang pengalaman pribadinya dimana seorang ikhwan mengajukan keinginannya untuk mengkhitbah dia melalui e-mail setelah perkenalannya melalui FB. Sebelumnya mereka tidak saling kenal, yang mereka tahu bahwa mereka adalah sama-sama aktivis dakwah melihat dari informasi mutual friend dan sedikit info di profile masing-masing. Tak ada komunikasi yang berarti diantara mereka melalui chatting, akunya. Karena setiap kali si ikhwan memulai percakapan dengan ucapan salam, si akhwat hanya meresponnya dengan menjawab salam tersebut dan percakapan pun selesai, tak berlanjut. Begitu terus, sampai beberapa kali. Tak pernah lebih dari ucapan dan jawaban salam. Hingga suatu hari si akhwat kaget bukan kepalang ketika mendapati e-mail dari ikhwan tersebut, bukan karena mendapat e-mail tapi karena maksud dan tujuan dari e-mail itu. Si akhwat ini merasa bahwa keputusan ikhwan tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehatnya karena ia merasa si ikhwan tersebut sama sekali tidak mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Informasi yang ada di FB atau dari status-status kata hikmah yang menghiasi wall-nya bukanlah sepenuhnya menggambarkan karakternya. Saya tidak tahu bagemana kelanjutan dari cerita ini, apa sudah berakhir atau malah berlanjut ke jenjang berikutnya. Wallahu’alam..
Cerita kedua, sebutlah si Akhwat B. Dia juga mendapatkan e-mail serupa dari seorang ikhwan. Tapi mereka sudah mempunyai interaksi yang cukup lama di dunia nyata. Mereka teman sekelas ketika masih sama-sama duduk di bangku SMA. Situs jejaring social FB kembali mempertemukan mereka setelah sekian tahun tidak bertemu. Sebagai teman lama, pastinya banyak cerita yang mulai terurai dari jari masing – masing di atas keyboard. Sesekali mereka bercerita tentang mimpi-mimpi dan keinginan di masa depan atau aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan selama sekian tahun tak bertemu. Dari perbincangan itu, si akhwat merasa bahwa rasa keingintahuan ikhwan tersebut terhadap islam cukup tinggi, hanif-lah, katanya, sehingga itu membuat si akhwat ini semakin bersemangat tuk memfardiyahinya, katanya. Dari diskusilah itulah yang akhirnya memunculkan e-mail dari ikhwan tersebut akan niatnya terhadap si akhwat. Lagi-lagi saya tidak tahu akhir dari cerita ini karena loose contact. Terakhir si akhwat B ini bilang klo dia masih mempertimbangkannya dalam istikharohnya dan akan melanjutkan ke Murobbiyahnya jika memang jawaban istikharohnya adalah, Ya. Dan dia juga sudah meminta si ikhwan tersebut untuk mengenal dunia tarbiyah dan si ikhwan tersebut juga menyetujuinya. Hanya itu yang saya tahu, selebihnya, wallahu’alam..
Cerita ketiga, sebut saja si akhwat C. Sebelumnya dia sudah melakukan ta’arruf melalui mediasi oleh seorang temannya dan Morobbiyahnya. Hanya saja, di tengah perjalanan terjadi sedikit kendala yang membuat proses tersebut sempat mandeg. Hingga akhirnya si ikhwan berinisiatif melakukan komunikasi melalui e-mail. Dari komunikasi tersebut mereka benar-benar melakukan proses ta’arruf dengan sangat rinci dan jelas melalui media tersebut. Ada beberapa ketidakcocokan diantara mereka dan hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dikompromikan oleh masing-masing pihak. Proses pun berhenti, karena si ikhwan mengaku mundur. Namun, sangat disayangkan. Benih-benih cinta telah ditanam syetan dalam hati-hati mereka. Kecewa tak terbantahkan. Kulihat air mata mengalir deras dari saudariku ini. Astaghfirullah….
Cerita keempat, dari akhwat D. Seorang ikhwan telah memintanya untuk menjadi istrinya, juga melalui e-mail. Si ikhwan mengaku baru melihat akhwat D hanya sekali. Yah, dan lagi-lagi mereka memang mempunyai hubungan pertemanan melalui FB. Lebih setahun mereka berteman di FB, dengan beberapa komunikasi melalui comment-comment di status masing-masing di wall FB dan juga sedikit percakapan di chat room. Si ikhwan bersedia datang ke wali / orang tua akhwat tersebut jika sekiranya khitbahnya tersebut di amini oleh sang akhwat. Proses ini juga tak berlanjut karena ada sedikit perbedaan pandangan dalam pemahaman keagamaan dan sedikit rasa sangsi dari akhwat tersebut karena cara yang dilakukan oleh si ikhwan dengan melamar melalui e-mail yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip sebuah proses ta’arruf yang difahaminya.
Masih banyak cerita yang saya dapatkan dari teman, tapi cukuplah empat saja. Takutnya kepanjangan.  Trus, ngebosanin. Hehehe. Dari 4 cerita yang saya suguhkan di atas, saya sangat tertarik dengan kisah ketiga dan keempat. Dimana dari cerita ketiga, kita bisa mendapatkan hikmah bahwa dalam proses ta’arruf, jika ingin benar-benar menjaga kemurnian hati dan ikhlas dengan dua kemungkinan yang pasti terjadi, ya atau tidak maka seharusnya mereka melakukan mediasi yang lebih syar’ie dan mempunyai fungsi hidup. Hidup dalam menjaga, mengontrol dan mengawasi hati dari kedua belah pihak. Sehingga, ketika proses tersebut tidak berujung dalam ikatan pernikahan, maka tak perlu lagi ada perasaan kecewa, tak perlu saling melukai perasaan, apalagi ada air mata yang menetes karena adanya kasih tak sampai.
Untuk cerita kedua, saya sangat salut dengan akhwat tersebut, tapi disamping itu sedikit menyesalkan sikap terbukanya yang telah menyulut api komunikasi yang berujung pada ketidakmampuan hati menahan rasa terhadap lawan jenis. Tapi saya tetap salut dengan sikap tegasnya yang menyerahkan pilihannya pada istikharoh serta tetap berpegang pada nilai-nilai prinsipnya untuk mendapatkan pendamping hidup yang mempunyai ghiroh terhadap dakwah.
Cerita pertama dan keempat cukup mempunyai hubungan yang erat. Bedanya, pada cerita pertama mereka belum pernah ketemu dan untuk cerita terakhir mereka sudah pernah bertemu. Ada sedikit yang mengganjal dalam fikiranku untuk kedua cerita tersebut. Bagaimana mungkin seseorang bisa dengan yakinnya mengambil keputusan memilih seseorang yang belum ia kenal akhlaknya, latar belakang keluarganya dan pola fikirnya untuk menjadi pasangan hidupnya. Bukankah kehidupan rumah tangga itu bukan untuk dijalani sehari atau 2 hari saja? Dan juga bukan hanya di pertanggungjawabkan di dunia saja. Akan tetapi, lebih dari itu. Kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang akan kita jalani sepanjang nafas membersamai kita di dunia ini dan hal ini yang paling menentukan sukses tidaknya kita di dunia dan akhirat kita kelak.
Bukannya mau berdzu’uson, tapi saya lebih berfikir bahwa mereka yang mengambil keputusan seperti ini adalah mereka para pemuja fisik atau tampilan luarnya saja. Fisik di sini bukan hanya cantik atau tidaknya, tetapi juga dari tulisan-tulisan yang ada, melihat interaksi yang ada hanya lewat FB. Jika bukan karena fisik, lalu dari mana datangnya keyakinan itu? “Dia seorang akhwat, maka cukuplah itu sebagai alasanku memilihnya”, mungkin mereka akan menjawabnya seperti itu. Hmmmm…maka kukatakan padamu, “terlalu sempit pemikiranmu akhi…”.
Akhwat yang berjilbab panjang dan lebar belum tentu lebih baik dari yang biasa-biasa saja. Banyaknya ilmu agama pun juga tak bisa dijadikan tolak ukur baik tidaknya seseorang. Lihat tuh sih Ulil atau si ibu Musda, cerdas dan berwawasan luas tapi jadi atek-antek syetan dengan faham Liberal dan Pluralisnya. Apalagi dengan hanya melihat tulisan-tulisan yang menghiasi wall. Bisa saja itu bukan buah fikirannya, akan tetapi sebuah kutipan dari orang bijak. Ada juga yang sering mengutip ayat Al-Qur’an dan hadits, tapi cobalah antum tanya, “udah baca tafsirnya belum?”. Karena ukuran agama adalah dari akhlak. Iman itu adanya di dalam hati dan tentu saja yang paling mengetahuinya adalah Allah. Jadi, jangan terkeco dengan profile yang ada di FB. Coba chatting secara random dengan teman-teman dia di FB, kemungkinan besar kita bisa tahu apa dia laki-laki penggoda atau perempuan yang suka digoda. Hehehe…Peace!!!
Nah, disinilah manfaat daripada ta’arruf. Bukan hanya sebagai formalitas saja, akan tetapi benar-benar digunakan untuk saling mengenal, mencari informasi akhlak, kondisi keluarga, saling menimbang sekufu atau tidak dalam pemikiran keagamaan dan lain sebagainya. Jadi tidak hanya pertimbangan fisik, tapi karakter dan akhlaknya juga sudah termasuk. Bisa saja orang tersebut berpenampilan menarik, tapi akhlaknya kurang menarik, boleh saja seseorang tidak sedap dipandang mata tapi akhlaknya begitu mempesona. Ketika kekurangan dan kelebihan sudah teridentifikasi, maka akal akan bekerja, tidak hanya nafsu. Karena permasalahan sesungguhnya bukanlah pada akhwat/ikhwan “yang asli” atau “tidak asli”. Namun ini semua terkait dengan pemahaman kita bahwa hanya Allah sajalah yang mengetahui kadar keimanan seseorang, terlepas dari penampilannya. Meskipun, jilbab adalah juga cermin keimanan.
Untuk mengetahui akhlak dari akhwat / ikhwan tersebut, pastinya kita akan menanyakannya kepada orang-orang terdekatnya yang menurut kita cukup mengenalnya dengan baik. Amirul Mukminin, Umar Bin Khattab telah memberikan kita tips bagaimana mengidentifikasi dan mendapatkan informasi yang falid tentang seseorang yang kita mintai informasi. 1). Informan tersebut sudah pernah melakukan mabit (nginap) bersama. Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana ia mengisi malam-malamnya. Termasuk kita bisa tahu, dia ngorok atau tidak. Jangan sampai kita termasuk orang yang phobia terhadap ngorok. Kan bisa berabe tuh klo taunya pas habis nikah. 2). Si informan sudah pernah melakukan perjalanan jauh bersama. Kita bisa mendapatkan informasi, apakah dia loyal atau tidak dan bisa atau tidaknya ia bertahan dan sabar dalam keterbatasan pada saat melakukan perjalanan jauh. 3). Si Informan pernah melakukan transaksi atau berurusan mengenai keuangan. Dia amanah atau tidak. Klo pinjam duit, dibalikin sesuai janjinya tidak? Atau jangan-jangan dia hobby pinjam duit. Hayooo..mau gak??? 4). Si informan pernah melihatnya marah. Karena, ketika seseorang marah maka akhlaknya akan terlihat, baik ataukah buruk. Atau jangan-jangan pake acara lempar piring, atau bisa saja omongannya seperti orang muntah.

Hal di atas mungkin kelihatan simple, tapi sungguh efeknya akan sangat besar untuk kehidupan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk senantiasa meluruskan niatnya dan selalu memperbaharui niat-niat tersebut, jangan sampai ternodai oleh bisikan syetan yang tidak pernah lelah menyesatkan langkah dan hati kita. Na’udzubillah… Dan dari sini diperlukan sosialisasi dini ke orang tua masing-masing. Biar fungsi wali benar-benar tercermin di orang tua kita, bukan hanya pada Murobbi/Murobbiyah kita. Menurut pengalaman pribadi saya, mengetahui karakter orang tua sangatlah penting. Bapak saya hobby membaca, maka saya dekati beliau dengan buku. Tanpa perlu bercerita panjang lebar, beliau sudah bisa mengambil kesimpulan bagaimana cara pandang dan pemikiran saya. Begitupun dengan Ibu saya, beliau lebih bisa faham dengan visualisasi maka kunampakkan komunitasku di hadapannya. Tanpa perlu beradu urat leher, cukup melihat prosesi yang dijalani keluarga-keluarga saya yang di jama’ah PKS dan Salafi, beliau sudah bisa menebak keinginanku. “Jadi, klo kamu nikah nanti, prosesnya seperti mereka yah?”, Tanya mamaku. “Ya”, jawabku. Beliau pun terdiam dan saya tahu, diamnya beliau adalah tanda setujunya dan beliau juga tahu, diamku berarti sedang marah. Hehehe.. Jadi komunikasi dengan ortu itu sangat penting jauh sebelum mengambil keputusan seperti ini, jangan sampai kita menyakiti hati ortu kita hanya untuk seseorang yang belum pasti layak untuk diperjuangkan.
Dan jangan lupa istikharoh. Terkadang apa yang kita inginkan tidak berwujud menjadi sebuah takdir, tapi yakinlah bahwa suatu saat itu akan menjadi kesyukuran yang teramat  bahwa Allah telah menyediakan hal yang lebih indah dari apa yang sebelumnya menjadi keinginan kita. Sungguh, tak ada yang lebih baik dari apa yang telah ditetapkan Allah untuk menjadi pilihan kita, mungkin kebaikan itu bukan pada orang yang kita pilih melainkan pada jalan yang kita pilih. Atau mungkin saja kebaikan itu akan kita dapatkan dari keikhlasan dalam menerima ketentuan-Nya. Karena itu mari kita gunakan teknologi informasi ini sebagai ajang mempererat silaturahmi, tempat menebar manfaat bukan menebar “pesona”. Dan dengung-dengungkan selalu di hati kita akan hadits tentang niat…niat..dan niat…

Wallahu’alam…
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar