17 Apr 2011

Bedanya “pengikut salafushaleh” dengan “salafy gadungan”

Maret 24, 2010 oleh petualangharakah
 
Hasan al Banna dan Upaya Taqrib (Pendekatan) Antar golongan dalam Islam
Hasan al Banna dituduh berupaya menyatukan antara Ahlul Haq, Ahlus Sunnah, dan selain Ahlus Sunnah.57 Tudingan itu bermula dari kedekatan Hasan al Banna dengan pemikiran Jamaluddin al Afghani,58 yaitu Pan-Islamisme. Mereka menuding bahwa ide yang al Banna wariskan adalah upaya mereduksi akidah Islam yang benar (Ahlus Sunnah walJama ‘ah) dan mencampurkannya dengan akidah lain. Itu adalah tudingan yang ajaib, bahkan lebih ajaib dari tujuh keajaiban dunia. Mengapa Pan-lslamisme (persatuan Islam dan negara Islam) dipahami secara kekanak-kanakan? Sebenarnya, Pan-Islamisme adalah kewajiban agama dan memiliki landasan yang kuat di dalam Alquran dan Assunnah.
Sesungguhnya, umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian. Oleh karena itu, beribadahlah kepadaku. (QS al Anbi-ya’: 92)
Berpegang teguhlah kalian kepada tali agama Allah (yakni Islam) semuanya dan janganlah berpecah belah. (QS All Imran: 103)
Sesungguhnya Tangan Allah bersama jamaah. Siapa yang menyempal, ia menyempal menuju neraka. (HR Imam Abu Daud dalam Kitab alFitan wal Malahim, Imam Tirmidzi dalam Kitab alFitan)
Siapa yang ingin bagian tengah surga, hendaklah ia melazimi jamaah karena setan bersama orang yang sendiri, sedangkan bersama dua orang ia lebih jauh. (HR Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah)
Siapa yang memisahkan din dan jamaah, ia telah melepaskan Islam dari lehernya. (HR Imam Tirmidzi)
——————–
57. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy Syihy, Dialog Bersama Ikhwani, him. 20.
58. As Sunnah edisi 05/ Th, HI/1419-1998, him. 24 dan 27. Al Banna dituduh lerpengaruh Syi’ah karena al Afghani berakidah syi’ah babiyah.
Pendekatan bukan Peleburan
Pendekatan yang diupayakan Imam Syahid—seandainya para pencela mau tenang, sabar, dan ikhlas memahaminya—niscaya akan menemukan titik temu dengan garis perjuangan Rasulullah Saw. Tauhidush shufuf yang dilakukan al Banna seyogianya dipahami sebagai strategi perjuangan dalam rangka kerjasama memerangi orang-orang yang memerangi Islam secara umum. Bahkan, memerangi manusia dan seluruh peradabannya, yaitu kolonialisme, imperialisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme dan hedonisme yang pada masa itu dan sekarang sangat merajalela. Penyatuan itu amatlah beda dengan peleburan pemahaman doktrin akidah. Al Banna telah menggariskan bahwa dakwah yang beliau bangun berada dalam barisan Ahlus Sunnah walJama ‘ah.
Rasulullah Saw pernah berkoalisi dengan musyrikin Bani Khuza’ah dengan harapan ada kekuatan tambahan untuk melawan kaum musyrikin yang lebih besar dan berbahaya.59 Setiap penyimpangan yang dimiliki sekte dalam Islam tentu memiliki kadar yang berbeda, bahkan satu sekte memiliki kelompok yang bermacam-macam. Tentunya sikap kita pun tidak dapat menyamaratakan semuanya walau sama-sama menyimpang. Itulah yang kita pelajari dari perjalanan dakwah Rasulullah Saw dan para sahabai-nya yang mulia.
Ketika Persia dan Romawi berperang dan dimenangkan Persia, Rasulullah Saw dan sahabatnya merasa sedih mendengar berita itu. Sebaliknya ketika Romawi mengalami kemenangan, kaum muslimin pun ikut bergembira, Kisah itu dapat kita baca pada awal surat ar Rum. Mengapa kaur muslimin berpihak pada Romawi? Alasannya, Romawi beragama Nasrani sedangkan Persia beragama Majusi (penyembah api). Di antara keduanya Nasranilah yang memiliki logika keberagamaan yang lebih dekat dengan Islam. Fa ‘tabir ya ulul abshar ! Itulah strategi Rasulullah Saw dengan memanfaatkan potensi kebaikan yang ada pada musuh untuk menghadapi musuh yang lebih besar dan berbahaya.
Berkata al Hazimy, “Boleh meminta pertolongan kepada orang-orang musyrik untuk memerangi orang musyrik lainnya selagi mereka bergabung dengan patuh dan tidak memberi andil bagi mereka.” Ibnul Qayyim berkata, “Meminta bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercaya untuk keperluan jihad boleh dilakukan selagi dibutuhkan. Nabi Saw sendiri meminta bantuan kepada Dayyil dan penunjuk jalan dari Bani al Khuza’iy yang kafir. Di situ ada maslahat karena orang yang dimintai bantuan dapat bergaul dengan musuh dan dapat mengetahui kabar tentang mereka.”60
Itu pula yang dilakukan al Banna. Namun, amat disayangkan hal itu tidak mampu ditangkap para pencelanya (atau memang mereka tidak mengerti sama sekali?). Memang tidak sama antara orang yang mengetahui dan tidak, serta amat berbeda antara orang yang ber-jihad dan yang selalu mencari-cari kekurangan para mujahid!
——————–
59. Yusuf al Qaradhawy, Prioritas Gerakan Islam, him. 32.
60 M. bin Said bin Salim al Qahthany, Loyalitas Muslim terhadap Islam, him. 282
Hasan al Banna dan Syi’ah
Tudingan itu terjadi karena dua hal. Pertama, pengaruh pemikiran Jamaluddin al Afghani yang berakidah syi’ah babiyah.63 Kedua, itu adalah upaya taqrib yang beliau lakukan terhadap tokoh syi’ah saat itu.64
Tudingan pertama bahwa beliau terpengaruh syi’ah lantaran dekat dengan pemikiran al Afghani adalah tudingan yang takalluf (dipaksakan). Sesungguhnya, al Banna hanya mengambil ide Pan-Islamisme yang digulirkan al Afghani. Lagi pula, al Afghani lebih layak disebut filsuf dan negarawan dan bukan ulama syariat. Sesungguhnya, ide itu sudah terpikir al Banna sejak muda, jauh sebelum berinteraksi dengan pemikiran al Afghani. Hal itu dapat dilihat dalam Memoarnya. Adapun akidah al Afghani yang syi’ah, tidak ada riwayat yang membenarkan tudingan al Banna terpengaruh akidah al Afghani, kecuali jika para penuduh tetap keras kepala menyeret-nyeret kedekatan al Banna dan Pan-Islamisme. Justru dan berbagai tulisan, al Banna menampakkan akidah Salaf-nya yang tulen.
Tentang tudingan kedua, sesungguhnya penyatuan sunnidan syi’ah tidaklah dimaksudkan peleburan doktrin akidah keduanya seperti yang sudah kami sebutkan. Al Banna hanya mengupayakan tauhidus sufuf (pe-nyatuan barisan) di antara keduanya sebagai upaya rekonsiliasi, sekaligus koalisi untuk membendung arus ateisme, komunisme, sosialisme, kapitalis-me, imperialisme, dan hedonisme yang sedang meradang di pelosok bumi. Hal itu sudah kami jelaskan sebelumnya.
Nyatanya, al Banna bukanlah tokoh satu-satunya yang berupaya demi-kian. Telah ada pemuka-pemuka umat yang berencana demikian, tetapi gagal lantaran pengkhianatan yang dilakukan pembesar-pembesar syi’ah dengan menjelek-jelekkan Ahlus Sunnah. Upaya itu diceritakan Syaikh Mushthafa as Siba’i.65
——————–
65. Mushthafa as Siba’i, AlHadits Sebagai Sumber Hukum, hlm. 23.
Standar Ganda
Standar ganda adalah kenyataan aneh yang harus diterima. Di satu sisi, para penuduh menganggap Hasan al Banna dan tokoh-tokoh jamaah-nya dekat dengan syi’ah, tetapi mereka sendiri bungkam dengan kekuatan kafir yang mencengkeram kuat dan lama di negeri Teluk tempat mereka tinggal. Barangkali ada yang berkata, ‘Itu adalah keinginan penguasa, bukan mereka.’ Kami harus menegaskan, itulah letak keanehannya. Mengapa mereka berteriak ketika seharusnya diam dan terdiam ketika seharusnya berteriak? Kekeliruan yang besar di depan mata dan aktual tidak tampak, sementara kekeliruan yang debatable pada masa lalu dan terkubur dalam buku sejarah amat tampak.
Lebih aneh lagi, sebagian mereka menamakan negeri mereka negeri tauhid66 yang diberkahi Allah Swt. Wallahu a’lam. Negeri yang di dalamnya bercokol pangkalan militer musuh besar Islam yang tentara-tentaranya bebas berkeliaran beserta ke-jahiliyah-an yang mereka bawa. Mereka menginjak-injak tanah haram ketika Perang Teluk berkecamuk. Apakah ada negeri tauhid memberikan wala’ (loyalitas) kepada musuh Islam, AS, bahkan membolehkan meminta pertolongan kepada mereka untuk melawan si Sosialis Saddam Husein? Sungguh AS lebih kafir dibandingkan Saddam! Apakah ada negeri muslim sejati seperti ini dalam kegemilangan sejarah Islam dan kaum muslimin masa lalu? Apakah dibenarkan negeri yang menghormati sistem pemerintahan Islami justru menerapkan sistem kekuasaan warisan (dinasti kerajaan) sebagaimana Kisra yang dibid’ahkan kalangan shigharus shahabah karena pergantian kepemimpinan bukan karena musyawarah Ahlus Syura ‘atau dipilih menurut kehendak dan ridha’ rakyat, melainkan sistem dinasti. Yazid bin Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan mekanisme pergantian khalifah dengan sistem keturunan (dinasti) dan bukan musyawarah. Bahkan ketika (Rajab-Sya’ban, Ramadhan, dan Syawal 1423 H) AS dan Inggris berencana menyerang Irak, pangkalan militer baru telah bertambah di Kuwait seperti yang diberitakan harian al Wathan, 4 November 2002.67
Nah, lalu apa yang membuat mereka sibuk mencela al Banna, padahal upaya tauhidush shufuf-nya belum terjadi, sementara di depan mata mereka telah berkali-kali orang-orang kafir bermesraan dengan para pemimpin negeri tempat mereka tinggal dalam waktu yang lama sampai saat ini. Padahal, kita sama-sama mencintai dan memimpikan kebebasan negeri Islam dan tangan-tangan kotor AS dan bonekanya. Mudah-mudahan Allah Swt membukakan pintu hati kita semua.
——————–
66. Zaid bin Muhammad bin hadi al Madkhaly, Terorisme dalam Tinjauan Islam, him. 132-133.
67. Republika, 5 November 2002, hlm. 8. Di Berita Kota disebutkan telah hadir seribu tentara AS di Kuwait sebagai persiapan untuk menyerang Irak. Kami berharap berita itu tidak dibantah karena dinilai sebagai khabar (berita) dha’if–wartawan media massa belum pernah diuji tsiqah atau dhabth-nya atau sanad-nya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus). Belum ada ulama ‘wartawan’ yang menjelaskannya. Lagi pula sampai saat ini belum ada buku Jarh wa Ta’dil untuk wartawan.
Hasan al Banna dan Tasawwuf
Angin hujatan terhadap Hasan al Banna pun bertiup dari arah tasawwuf. Kedekatan beliau dengan tasawwuf saat remaja, khususnya Thariqah al Hashafiyah, menjadi bahan celaan68 dari sebagian kecil kaum muslimin yang tidak perlu diperhitungkan. Namun, hujatan itu menjadi mentah dan lemah lantaran kaum sufi di Mesir justru menganggap Hasan al Banna dan pengikutnya adalah Wahabi-Salafi yang mengingkari kaum sufi dalam banyak hal seperti pemikiran-pemikiran dan zikir-zikir yang dinilai bid’ah dan sesat.69 Kedekatan beliau rahimahullah dengan Thariqah alHashafiyah telah eliau ceritakan sendiri dalam Memoar-nya. Namun, al Banna hingga akhir ayatnya tidak pernah bergabung secara resmi dengan al Hashafiyah. la sebdar muhibbun (simpatisan). Pada masa-masa selanjutnya, al Banna sudah disibukkan dengan dakwah dan jihad-nya sendiri bersama Ikhwanul Muslimun. la tidak menemukan Islam yang dicarinya dari tasawwuf, yaitu mampu mengadakan perubahan di segala sisi kehidupan. Sementara itu, tdsawwuf hanya menampilkan satu sisi Islam dan melupakan sisi lain. Dalam hal ini, ia berbeda pandangan dengan Syaikh Abdul Wahhab al Hashafy, mursyidThariqah al Hashafy. Meski demikian, ukhuwwah mereka berdua tetap terjalin baik.
——————–
68. Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly, Terorisme dalam Tinjauan Islam, him. 123 dan 161. Lihat DialogBersama Ikhwani, him. 15.
69. Yusuf al Qaradhawy, 70 Tahun Al Ikhwan Al Muslimun, him. 312.
Tentang Tasawwuf
Harus diakui, sikap manusia terhadap tasawwuf tidak sama. Hal itu lerjadi karena perbedaan kadar pengetahuan, interaksi, dan performance para sufi yang membuat pandangan manusia berbeda-beda. Kaum muslimin ada yang menghina tasawwuf dan ahlinya (sufi) secara keseluruhan tanpa kecuali. Tabdi’(tuduhan sebagai ahli bid’ah) selalu diarahkan kepada pengikut tasawwuf. Tidak ada kebaikan sedikit pun pada mereka. Sekali pun ada, kebaikan ahli bid’ah masih lebih buruk dibanding keburukan ahli maksiat. Mereka menganggap agama kaum sufi bukanlah dinullah (agama Allah) melainkan dinussufi (agama kaum sufi). Artinya, kaum sufi memiliki cara beragama sendiri menurut hawa nafsu pendiri thariqah-nya. Pemuka-pemuka tasawwuf dipandang hina, bahkan lebih hina dibanding pengikutnya karena merekalah yang menyebabkan tersebarnya bid’ah tasawwuf.
Kelompok itu menaruh kebencian luar biasa kepada tasawwuf dan sufi. Mereka membuka mata lebar-lebar terhadap segala kekurangan Imwwuf, tetapi menutup mata rapat-rapat terhadap segala kebaikan yang ada padanya.
Sementara itu, di sisi lain. Ada kaum muslimin yang memuji tasawwuf setinggi langit, bahkan lebih. Kaum sufi—kata mereka—adalah manusia paling mulia setelah para Nabi. Merekalah Ahlus Sunnah sebenarnya. Bahkan merekalah para shiddiqin, muqarrabin, dan ahlidzdzkri. Sering kita mendengar mereka menganggap ulama syariat (fuqaha) menimba ilmu dari yang pasti mati (manusia), sedangkan sufi menimba ilmu langsung dari Yang Tidak Pernah Mati (Allah). Memang, kaum sufilah yang sebenarnya malas mencari ilmu, bahkan menghina mata airnya sehingga banyak di antara mereka melecehkan ahli ilmu dan murid-muridnya. Oleh karena itu ibadah mereka pun takalluf (berIebihan/memberatkan) dan aneh karena tidak ada ilmu di dalamnya. Kelompok ini menilai kesalahan kaum sufi adalah kesengajaan agar orang-orang awam tidak menyucikannya. Sungguh, ini adalah apologi yang kerdil dan perangkap setan bagi mereka. Kedua sikap itu sama-sama keliru dan tidak mencerminkan kealiman seorang ulama dan kearifan seorang dai. Seharusnya manusia menahan lisannya dari memaki dan memuji secara berlebihan. Sikap tawazun (seimbang) dan tawasuth (pertengahan) terhadap kekeliruan dan kebaikan manusia adalah sikap yang terbaik tanpa menyalahkan yang benar dan tidak membenarkan yang salah serta tidak membuka yang seharusnya tertutup dan tidak menutup yang seharusnya terbuka. Itulah sikap kita: adil, seimbang, dan tepat.
Sikap Muslim terhadap Tasawwuf
Meletakkan tasawwuf pada tempatnya akan menentukan arah sikap kita terhadapnya. Ada baiknya kita mencermati dahulu perjalanan tasawwuf. Hasan al Banna bercerita, “Ketika kemakmuran pemerintahan Islam telah melebar luas pada permulaan abad pertama, penaklukan berbagai negara pun banyak berlangsung, masyarakat dari berbagai penjuru dunia memberikan perhatiannya kepada kaum muslimin. Segala jenis buah telah tergenggam dan bertumpuk di tangan mereka. Khalifah ketika itu berkata kepada awan dan langit, ‘Barat maupun Timur entah bagian bumi manapun yang mendapat tetesan air hujan-Mu, pasti akan datang kepadaku membawa upeti’.
Suatu hal yang lumrah jika ada umat manusia ketika menerima nikmat dunia, mereka menikmati kelezatan dan anugerah yang ada. Memang ada yang menikmatinya dengan kesahajaan. Ada pula yang menikmatinya dengan berlebihan. Sudah menjadi hal yang lumrah pula perubahan sosial itu terjadi. Dari kesahajaan hidup masa kenabian, kini telah sampai pada masa kemewahan.
Melihat kenyataan itu, bangkitlah dari kalangan ulama yang soleh dan bertakwa serta para da’i yang menghimbau umat manusia untuk kembali kepada kehidupan zuhud terhadap kesenangan duniawi yang fana sekaligus mengingatkan mereka pada berbagai hal yang dapat melupakan dirinya dari nikmat akhirat yang kekal abadi. Sungguh, kampung akhirat itulah kehidupan yang kekal lagi sempurna jika mereka mengetahui.
Satu yang saya ketahui adalah seorang Imam pemberi petuah yang mulia, Hasan al Bashri. Meski akhirnya diikuti pula sekian banyak orang soleh lainnya semisal beliau. Terbentuklah sebuah kelompok di tengh-tengah umat yang dikenal dengan dakwahnya untuk selalu menging Allah Swt dan mengingat akhirat, zuhud di dunia, serta men-tarbiyah diri untuk selalu menaati Allah Swt dan bertakwa kepada-Nya.
Dari fenomena itu lahirlah format keilmuan seperti disiplin ilmu keislaman lainnya. Dibangunlah suatu disiplin ilmu yang mengatur tingkah laku manusia dan melukiskan jalan kehidupannya yang spesifik. Tahapan jalan itu adalah zikir, ibadah, dan ma’rifatullah, sedangkan hasil akhirnya adalah surga Allah dan ridha’Nya.”70
Demikianlah tasawwuf. Pada mulanya, ia adalah suatu yang mulia. la mengisi kekosongan yang dilupakan fuqaha (ahli fiqh), muhaddits (ahli hadis), dan mutakallimin (ahli kalam), yaitu kekosongan ruhiyah (jiwa) dan akhlak. Secara jujur harus diakui, inti ajaran Islam adalah akhlak yang menjadi tujuan diutusnya Rasulullah Saw untuk menyempurnakannya. Penerapan syariat Islam dari lingkup terkecil, individu, sampai terbesar, pergaulan antarbangsa, dan semuanya memiliki dimensi akhlak. Pada hakikatnya, tasawwuf adalah akhlak. Siapa yang bertambah baik akhlaknya, bertambah baik pula tasawwuf-nya. Demikian kata Ibnul Qayyim al Jauziyah.71
Jika demikian adanya, bukan tasawwuf-nya yang layak dikecam, melainkan oknum-oknum yang merusak tasawwuf dan menyebarkan kerusakan yang ada padanya. Jadi, kritiklah sesuai haknya tasawwuf yang lepas dari jalan Islam yang benar. Kekeliruan mereka memiliki bobot yang berbeda, ada yang cukup di-bid’ah-kan, ada pula yang layak untuk dikafirkan.72
Penyimpangan pada tasawwuf pernah dipertontonkan al Hallaj yang terpedaya setan. la berkata, “Ana Allah” (Aku Allah). la berpendapat Allah Swt bereinkarnasi dengan makhluk. Begitu pun Ibnu ‘Arabi dengan filsafat wihdatul wujud. la beranggapan tidak ada Khaliq (pencipta) dan makhluq (ciptaan). Tidak ada Rabb (Tuhan) dan hamba.73 Merekalah contoh musibah dalam dunia Tasawwuf.
Sebaliknya, pujilah sesuai haknya: tasawwuf yang lurus dan jalannya sesuai syariat dengan pemahaman salafush shalih yang tumbuh dan berkembang bersih dari bid’ah, khurafat, takhayul, qubury, zindiq, dan syirk. Itulah tasawwuf yang selamat dan pernah dilalui Al Junaid bin Muhammad, Abu Hafs, Abu Sulaiman ad Darani, dan Sahl bin Abdullah at Tastary74 seperti yang dikatakan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin.
——————–
70 Al Banna, Memoar Hasan alBanna untuk Da ‘wah dan Para Da ‘inya, him. 4344.
71 Yusuf al Qaradhawy, Fiqh Tajdiddan Shahwah fslamiyah, him. 38.
72 Lebih jelasnya lihat Perangkap Syetan karya Ibnu! Jauzi.
73 Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-fatwa KontemporerJilid I, him. 928.
74 Ibid, him. 932-933. Lihat juga Sikap Islam terhadap llham, Mimpi, Kasyf, dan Jampi, him. 93 dengan pengarang yang sama.
Al Junaid bin Muhammad pernah berkata, “Semua jalan tertutup bagi makhluk kecuali yang mengikuti jejak Rasulullah Saw. Siapa yang tidak menghafal Alquran dan Hadis, ia tidak boleh diteladani dalam urusan tasawwuf karena ilmu kami terikat dengan Alquran dan Assunnah.”
Abu Hafs berkata, “Siapa yang tidak menimbang keadaan dan perbuatannya setiap waktu dengan al Kitab dan as Sunnah serta tidak memperhatikan suara hatinya, ia tidak termasuk dalam golongan kami.” Abu Sulaiman ad Darani berkata, “Kadang-kadang, timbul suatu titik dalam hatiku seperti titik-titik yang terdapat pada suatu kaum selama beberapa hari. Saya tidak dapat memutuskannya kecuali dengan dua saksi yang adil, yaitu Alquran dan Assunnah.” Jadi, selayaknya orang-orang yang melibatkan dirinya pada tasawwuf, dahulu maupun sekarang, hendaknya mengikuti jalan yang pernah dilalui generasi awal.
Hasan al Banna dan Peringatan Hari-hari Besar Islam
Perkara Hari Besar Islam telah lama menyibukkan kaum muslimin dari Timur sampai Barat; dari ulama sampai awam. Masalah itu membuat mereka berpecah dan saling membenci sehingga lemahlah barisan umat. Keabsahan peringatan Hari-hari Besar Islam, selain Idul Fithri dan Idul Adha, tidak pemah menemui kata sepakat. Satu pihak mengatakannya sebagai ritual bid’ah dhalalah (bid’ah sesat), sementara pihak lain mengatakan bid’ah hasanah, bahkan sunnah atau wajib. Jadi, perpecahan tidak dapat dielakkan lagi seperti yang pernah terjadi pada masa-masa lampau. Padahal, mereka memahami benar bahwa perpecahan adalah bid’ah yang lebih besar dibanding bid’ah yang mereka ributkan itu.
Masa kini, kaum muslimin umumnya sudah relatif dewasa menghadapi perbedaan furu’iyah seperti itu. Hampir tidak terdengar lagi keributan seputar furu’iyah. Siapa yang kembali memunculkan keributan di tengah umat Islam yang sudah melupakan polemik terhadap masalah tersebut, orang-orang seperti itu layak disebut manusia yang menodai ilmu dan agamanya sendiri. Bagaimana tidak? Orang awam yang masih pada taraf taqlid saja mampu menahan diri dan memahami perkara khilafiyah, apalagi mereka disebut syaikh, ustad, ‘alim, dan faqih lebih mengetahui hal itu dan cara penerapan moralnya. Kekerdilan terjadi ketika tindakan mereka menjadi bodoh dengan tidak mampu bersikap bijak seperti orang awam menghadapi khilafiyah furu’iyah.
Hasan al Banna dan Ikhwanul Muslimun mendapat tuduhan sekaligus celaan yang amat tidak pantas dilontarkan Ahli Kiblat, bahkan orang non-muslim sekali pun. Alasan mereka adalah sikap al Banna yang mengakomodasi peringatan Maulid Nabi dan hari besar Islam lainnya. Isi celaan yang dilontarkan Syaikh Farid bin Ahmad bin Manshur—semoga Allah Swt mengampuninya.
“Jamaah Ikhwan banyak menghidupkan bid’ah. Sa’id Hawwa mengatakan dalam bukunya at Tarbiyah arRuhiyah, ‘Ustad al Banna beranggapan bahwa menghidupkan Hari-hari Besar Islam (selain dua hari raya) adalah termasuk tugas harakah-harakah Islam. Beliau pun menganggap satu hal yang aksiomatik dan pasti jika dikatakan pada zaman modern ini memperingati Hari-hari Besar semacam Maulid Nabi dan sejenisnya dapat diterima secara fiqh dan harus mendapat prioritas tersendiri. Dikisahkan juga dan Mahmud Abdul Halim dalam Ahdats Shana’at Tarikh bahwa ia sering bersama al Banna menghadiri peringatan Maulid Nabi. la (al Banna) sendiri terkadang maju ke pentas untuk membawakan nasyid Maulid Nabi Saw dengan suara lantang dan keras.
Setelah mengutip banyak kisah al Banna itu, Syaikh Farid bin Ahmad berkomentar, “Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bid’ah. Alangkah bodohnya mereka. Alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan oleh anak kecil sekalipun’.”88
Komentar emosional itu tidak sepantasnya terjadi, apalagi dengan menyebutkan bodoh dan lemah akal.89 Seperti yang kami katakan bahwa orang awam telah mengetahui Maulid Nabi adalah khilafiyah dalam masalah furu’ (cabang) fiqh sejak lama. Sebuah keajaiban jika ada seorang syaikh berpolah seakan tidak mengetahui khilafiyah dengan menyerang pihak lain yang menganggap sah Maulid. Sungguh para ulama telah mengatakan, “Siapa yang tidak mengetahui perselisihan dalam fiqh, ia belum mencium aroma fiqh.”
Ada baiknya manusia memperbaiki dirinya dengan meneladani para ulama Rabbani yang menjadi rujukan umat. Sungguh, kami bukanlah penyeru syiar Maulid, tetapi bukan pula pengingkarnya seraya menghakimi dengan mengatakan bid’ah, sesat, haram, batil, keluar dari Ahlus Sunnah. Sikap salaf sejati dalam masalah ini amat jelas. Mereka tidak keras terhadap sesuatu yang seharusnya dilembutkan, mereka pun tidak benci terhadap sesuatu yang seharusnya dikeraskan.
Para salafush shalih lebih sering berkata, “Aku tidak menyukainya”, “tidak disyariatkan”, “lebih baik jangan” daripada berkata haram dan bid’ah. Contoh yang baik di sini adalah sikap etis Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah ketika beliau menerangkan perselisihan dalam masalah qunut subuh (kami tidak bermaksud meng-qiyas-kan masalah Maulid dengan qunutsubuh. Ini hanya upaya pengambilan ‘ibrah yang ada dalam sikap Ibnul Qayyim) dalam bukunya, ZaadulMa’ad.
Beliau berkata, “Pada kesempatan ini, saya hanya bermaksud menyebutkan petunjuk Nabi Saw karena petunjuk beliau merupakan kiblat bagi semua tujuan dan menjadi arahan kitab ini. Dalam kitab ini, saya tidak mengemukakan sesuatu boleh atau tidak boleh, tetapi saya hanya ingin mengemukakan petunjuk Nabi Saw yang beliau pilih untuk dirinya. Itulah petunjuk yang lebih sempurna dan utama. Jika saya katakah bahwa dalam petunjuk Nabi Saw, qunut subu tidak dilakukan terus-menerus dan beliau tidak men-jahr basmalah, bukan berarti saya membenci atau menuduh bid’ah orang yang mempraktikkannya. Namun, petunjuk atau praktik Rasulullah Saw merupakan petunjuk yang paling sempurna dan paling utama.”90
Demikianlah Ibnul Qayyim. Beliau sukses menjadikan dirinya dikuasai ilmu dan hati nurani, bukan hawa nafsu dan emosi. Pernahkah kita berpikir seperti Imam asy Syafi’i yang pernah berkata, “Pendapatku benar, mungkin juga mengandung kesalahan. Pendapat orang lain salah, mungkin juga mengandung kebenaran.” Lihatlah dialog indah melalui surat antara dua Imam besar yang banyak berselisih paham, yaitu Imam Malik dan Imam Laits bin Sa’ad {masih banyak contoh lainnya). Subhanallah! Semua itu bentuk keteladanan yang tidak boleh disia-siakan. Keindahan salaf ridhwanullah ‘alaihim dalam bersilang paham terlalu besar untuk dilupakan hanya untuk memenangkan dalil (ego) pribadi atas dalil orang lain.
——————–
87 Yusuf al Qaradhawy, 70 Tahun AlIkhwan Al Muslimun, him. 313.
88 As Sunnah edisi05/Th. III/1419-1998, him. 26-27.
89 Rasulullah Saw mengajarkan umatnya agar mereka menghormati orang-orang besar dan ulama umat. Rasulullah Saw bersabda, “Bukan umatku orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR Imam Ahmad).
90 Ibnul Qayyim, Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam Berbagai Aspek Kehidupan, him. 225. Lihat pula Fatwa-fatwa Kontemporer jilid I, him. 308-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar