2 minggu telah berlalu sejak pertemuan itu, 2 minggu pula aku berada dalam sesaknya perasaan menanti. Dicky tak pernah menghubungiku sejak hari itu. Entahlah, aku benar-benar tertekan dengan kondisi ini. Sialnya, mengapa waktu berlalu begitu lambat? Aku tidak pernah menyangka bisa melalui 10 tahun dalam hidupku hanya untuk mengagumi seorang laki-laki, sementara mengapa 2 minggu terasa begitu lama, sangat lama? Sehari saja ke depan sepertinya aku sudah tidak mampu.
Aku benar-benar tidak bisa menikmati waktu liburanku ini. Besok aku akan segera kembali ke Singapur dan hingga detik ini aku belum mendapatkan jawaban Dicky. Hatiku hancur, air mataku selalu tumpah tanpa bisa kucegah disetiap malam-malamku. Sepertinya harapanku memang sudah habis. Baiklah, jika sampai tengah malam nanti aku tetap tidak memperoleh jawab, maka ini kuanggap sudah berakhir.
Malam ini aku mulai mengepack barang-barangku. Besok pagi-pagi sekali aku akan terbang lagi ke tempat yang jauh. Terbang bersama hatiku yang mulai retak dimana-mana.
“Bip..Bip..Bip..” Sebuah suara sms dari HPku mengiterupsi proses packing yang sedari tadi kulakukan. Kulihat tak ada nama pengirim. Dan alangkah terkejutnya aku ketika membaca pesan tersebut.
“Yo... Aku sudah mengambil keputusan. Aku akan belajar menyukaimu, mencintaimu seumur hidupku. –Dicky-”.
Aku menangis haru, “Makasih yah, Dick”. Balasku.
Berat rasanya meninggalkan kota ini, pemilik hatiku ada di sini, tapi aku harus pergi. Aku pergi tanpa bisa bertemu dengannya, dia tinggal di luar kota dan aku tidak bisa menunggunya untuk menemuiku.
Hari-hariku menjadi lebih indah setelahnya. Meskipun hatiku menyimpan kerinduan mendalam yang kadang menyiksa hingga menyesakkan dada, tapi aku selalu menjadi perempuan yang paling bahagia. Bagaimana tidak, kesabaranku selama 10 tahun berbuah manis. Cintaku terbalas.
Dia begitu perhatian padaku, dia selalu menyempatkan menelponku di sela kesibukannya. Meskipun hanya untuk mengucapkan selamat tidur, dia tidak pernah lupa melakukannya. Dia tidak ingin mengganguku di kantor dengan menelponku, tapi dia selalu mengirimkan pesan pendek, entah itu hanya sebuah senyuman bahkan terkadang sms kosong. Saat kutanya kenapa dia melakukan itu, dia hanya mengatakan agar aku tau bahwa dia selalu mengingatku, memikirkanku. Dan kami juga memiliki kesepakatan untuk Skype-an minimal sekali seminggu. Begitu seterusnya, hingga 3 bulan pertama kami menjalin hubungan.
Namun, perlahan-lahan, 3 bulan terakhir ini aku mulai merasa ada yang hilang, sepertinya ada yang berubah. Sms-sms itu mulai berkurang 1 per satu setiap harinya menjadi hanya sekali sehari, sekali 3 hari dan sekarang sudah 1 bulan dia tidak mengirimkan sms-sms itu. Kami tak pernah lagi bertatap muka melalui Skype, meskipun kami sama-sama online, tak ada tegur sapa. Entah mengapa aku begitu egois untuk tidak menyapa terlebih dahulu, menunggu dia yang melakukannya, seperti dulu dimana dia selalu meminta penambahan frekuensinya menjadi 3 kali dalam seminggu. Dan masalah telepon tidak usah dipertanyakan lagi karena kami tidak akan pernah memiliki komunikasi lagi jika bukan aku yang menelpon.
Masalahnya, aku mulai merasa terabaikan. Aku merasa kehilangan banyak dari dirinya. Aku terbiasa mendapatkan perhatiannya yang melimpah, dan sekarang perlahan-lahan perhatian itu berkurang. Ini sangat berat untuk aku lalui. Di saat aku mulai merasa akan gila bila tidak melihat wajahnya dan mendengar suaranya dalam sehari, di saat bersamaan aku malah harus bersabar dengan perubahan ini.
Aku mencoba memunguti satu per satu kepingan memori selama 6 bulan bersamanya. Aku seperti tersentak, terbawa pada kesadaran akalku yang selama ini dibutakan oleh hatiku, sekalipun, Dicky tidak pernah menyebut kata pernikahan. Oh...Tuhan... Apa yang selama ini aku lakukan?
3 bulan pertama dia seperti membawa diriku dalam surga cinta dan 3 bulan terakhir seperti neraka bagiku. Aku mencintainya, sangat mencintainya, aku rela melakukan apa saja untuknya. Beberapa kali aku membiayai semua akomodasi perjalanannya ke Singapur agar kami bisa bertemu. Semua waktu dan energiku seakan-akan telah kukerahkan untuknya. Kami memang terpisah jarak, tapi hanya ragaku yang berada di sini. Hati dan fikiranku selalu ada dan hanya ada buat dia.
Aku mulai memikirkan kata teman-temanku yang selama ini sering kutanggapi dengan sinis, “Siapa yang paling mencintai maka dia yang akan paling banyak memberi dan paling banyak berkorban, terutama korban perasaan”. Aku merasa ada benarnya kata-kata tersebut bahkan hatiku mulai meng-amininya. Sudah banyak yang kukorbankan, namun yang kudapatkan mungkin hanyalah harapan palsu.
Apa yang kuharapkan dari laki-laki yang mengatakan mencintaiku tapi tidak pernah mengajakku menikah? Bukankah ujung dari sebuah pencarian cinta adalah pernikahan? Jika tidak, untuk apa.
Sadarku membawaku pada satu keputusan, jika cinta ini tak berujung dalam pernikahan maka akan kuhentikan cerita ini. Aku sudah tidak kuat lagi berada dalam ketidakpastian. Hidupku tak pernah merasakan penderitaan batin separah ini sebelum cerita ini dimulai. Laki-laki yang kucintai, yang ingin kepersembahkan hidupku untuknya selamanya, sepertinya tidak memikirkan hal yang sama denganku.
Nelangsa jiwaku meratapi bagian hidupku ini. Seharusnya aku sadar dari awal untuk tidak terlalu banyak berharap padanya. Aku yang menginginkannya, bukan dia yang menginginkanku. Aku memang tidak layak menuntut perhatian lebih darinya, bukankah aku yang mengejar-ngejar cintanya selama ini? Bukan, bukan dia yang mengejar cintaku. Aku hanyalah perempuan yang tidak tau bagaimana membuatnya merasakan rasaku, aku tidak tau bagaimana membuatnya mencintaiku, aku tidak tau bagaimana caranya membuatnya peduli padaku. Dan sekarang akupun tidak tau bagaimana perasaanku padanya saat ini. Cinta? Atau benci???
Entah mengapa aku tidak dapat lagi membedakan perasaanku padanya. Hatiku berkata aku mencintainya, namun akal sehatku sudah memutuskan untuk berhenti saja dari perasaan ini. Oh... mungkinkah rasa cinta itu sudah hilang setelah semua kelelahan ini?
Aku sudah tidak menginginkan dirinya lagi sebagaimana dulu aku menginginkannya sepenuh hatiku. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah waktu dan keberanian. Aku butuh waktu untuk membicarakan keputusanku ini pada Dicky dan juga keberanian untuk kembali menjalani hari seperti dulu lagi. Sendiri tanpa seseorang yang peduli dan harus aku pedulikan.
***
Malam ini, niatku sudah bulat untuk mengakhiri cerita ini. Tak ada yang perlu dipertahankan apalagi diperjuangkan. Dia tidak layak untuk kuperjuangkan dan mungkin saja aku memang tidak pernah pantas baginya. Aku sampai lupa, dia seharusnya bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik, lebih cantik dan tentu saja lebih kaya dariku. Dia mempunyai kemampuan untuk itu.
“Hallo Dick..”
“Hallo Yo... Hmmm... Aku baru berniat nelpon kamu, eh ternyata kamu yang duluan nelpon”. Entah itu basa-basi atau memang begitulah yang sebenarnya ingin dia lakukan. Tapi aku sudah tidak peduli lagi penjelasannya.
“Dick, ini akan menjadi pembicaraan kita yang terakhir” Tanpa ampun aku langsung menuju topik yang menjadi tujuan utamaku.
“Maksud kamu apa?” Dicky bertanya tak mengerti. Tentu saja dia tidak akan mengerti.
“Aku lelah Dick, aku pengen berhenti dari semua ini. Hubungan kita tidak akan berhasil. Kufikir yang kurasakan selama 10 tahun ini adalah cinta, tapi ternyata hanya rasa kagum saja”.
“Yo... ada apa? Aku nggak ngerti. Klo ada masalah mari kita bicarakan baik-baik”. Suaranya bergetar menahan emosi. Mencoba menuntut penjelasan dariku.
“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan Dick”. Tangisku pecah seketika.
“Aku nggak ngerti, Yo. Ada apa? Apa.. apa aku telah membuat kesalahan? Katakan Yo, apa salahku?” Bisa kurasakan kebingungan Dicky di sana.
“Maaf Dick. Aku nggak kuat lagi. Maafin aku”. Aku langsung mematikan telepon. Tangisku semakin menjadi, membahana di setiap ruang apartemenku.
Aku tidak tau, apakah ini adalah keputusan yang terbaik. Namun, untuk saat ini, itulah yang menurutku jalan terbaik untuk diriku dan juga Dicky.
Seperti rencanaku sebelumnya, aku akan menghilang dari kehidupan Dicky. Aku mengganti nomor HP-ku, mematikan email dan semua akun media sosial yang kumiliki. Entah ini akan aku anggap sebagai keberuntungan atau kesialanku mencintai laki-laki seperti Dicky. Aku beruntung bahwa dia sama sekali tidak tau menau tentang keluargaku di Makassar. Dia tidak pernah menanyakan alamat rumah orang tuaku. Oh...betapa bodohnya aku. Ternyata dia tidak pernah menanyakan kabar orang tuaku selama ini. Dan meskipun dia beberapa kali ke Singapur untuk menemuiku, kebetulan aku tidak pernah membawanya datang ke apartemenku.
Dia tidak mungkin mencariku, kalaupun dia mencariku, dia tidak mungkin menemukanku. Tapi, untuk apa dia mencariku. Dia kini terbebas dariku dan akupun akhirnya terbebas dari 10 tahun 6 bulan menjadikannya raja di hatiku.
Aku baru sadar, baru hari ini aku bisa merasakan bahagia dengan sebenar-benarnya bahagia sejak aku mengenalnya. Life must go on!!! Cinta yang tidak berujung pada pernikahan sudah sepantasnya dihentikan, dilupakan, kalau perlu dibuang saja ke laut.
Dan kini, saatnya memantaskan diri untuk memperjuangkan laki-laki yang pantas untuk kuperjuangkan. Selamat tinggal kenangan, selamat datang bahagia.
The End...
*Inspired by the true story. Maaf jika nama dan tempat yang disebutkan tidak sesuai real story, ini demi menjaga kerahasiaan ketiga temanku yang mau berbagi kisah. Ternyata menggabungkan kisah kalian menjadikan cerita ini sedih... Hikkksssss...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar