Tetap kecewa dengan hasil Sidang Paripurna dini hari tadi. Yah, meskipun per tanggal 1 April ini BBM tidak dinaikkan, tapi tetap saja hasilnya sangat mencederai hati. Bagaimana tidak, toh kesepakatannya Pemerintah bisa menaikkan harganya kapan saja, seenak jidat mereka. Ini hanya masalah waktu, ibarat BOM, hanya tinggal menghitung dan “Duarrrr”.
Saya cukup terenyuh dengan keputusan tersebut, terasa ada air yang seperti mendidih di ujung mata. Menyesakkan dada. Harapan yang digantungkan kepada mereka yang katanya “wakil rakyat” ternyata pada kenyataannya sama sekali tidak mewakili aspirasi rakyat, malah lebih kepada kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Ah...benar-benar biadab!!!
Hidup yang sekarang saja sudah begitu susah, bagaimana klo kedepannya semua harga pada naik? Saya tidak tega membayangkannya.
Akhir-akhir ini, saya selalu teringat satu wajah ketika terlintas kata kemiskinan di alam fikiran. Wajah itu selalu kutemui hampir tiap pagi ketika berangkat ke kantor. Seorang perempuan tua, dengan ember kecil di tangan dan tongkat yang selalu diletakkan di sisinya yang sedang duduk di sebuah potongan batang pohon di tepi jalan. Wajahnya amat sendu, tatapannya selalu kosong dengan guratan wajah merenung. Ah, ingin kutatap matanya.. tapi, mata itu selalu tertutup. Entahlah, mungkin saja perempuan tua itu buta.
Kondisi ini memaksaku membuat sebuah perbandingan, atau lebih tepatnya memposisikan diri pada posisi orang-orang yang sedikit kurang beruntung dalam hal keuangan. Jika saya yang masih single, tidak memiliki tanggungan keluarga dengan gaji lima juta ke atas saja kadang merasa tidak cukup, lalu bagaimana dengan mereka yang penghasilannya di bawah itu?
Saya sangat tau, berapa banyak orang yang penghasilannya di bawah tiga juta di Indonesia, khususnya di kota Batam ini. Mereka memiliki keluarga yang perlu dipenuhi kebutuhan sehari-harinya, ada anak-anak yang harus disekolahkan dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendidikan di sini itu tidak murah.
Ya Allah, sungguh berat urusan ini bagi saudara-saudaraku yang lain. Jika Pemerintah berdalih bahwa yang menikmati BBM bersubsidi itu adalah kebanyakan orang kaya, betapa pembohongnya Pemerintah itu. Siapakah yang paling banyak menggunakan kendaraan umum? Motor-motor yang antri bagai ular di SPBU, apakah mereka adalah orang kaya? Bukan, yang rela antri itu hanya orang susah.
Sungguh, subtansinya bukanlah pada kenaikan Rp. 1.500/Liter. Tapi bagaimana dengan harga-harga kebutuhan pokok. Bukankah semua itu juga akan melambung tinggi harganya, sementara upah kami para pekerja tidak dinaikkan. Lalu dimana letak keadilan jika kondisinya seperti itu?
Kami yang membayar pajak setiap bulannya, ikhlas tidak ikhlas, kami tetap membayarnya. Sementara di sisi lain pajak tersebut digunakan untuk membiayai gaya hidup glamour Pemerintah. Wah, enak benar. Banyak pejabat yang digaji selangit tapi kerjaannya hanya tidur di ruang rapat. Hati kami sangat sakit, batin kami menjerit. Tapi apa yang dilakukan pemerintah? Tak ada!
Sebenarnya saya tidak suka mengeluh, tapi pemerintah yang memaksa. Karena paksaan ini jugalah sehingga otak saya terpaksa berfikir untuk memberikan sebuah ide gila. “CIPTAKAN STANDARISASI AMBANG BATAS KEKAYAAN SETIAP MANUSIA INDONESIA”. Mungkin dengan begitu, tidak akan ada lagi yang rakus menimbun kekayaan dari harta rampasan di tangan rakyat untuk diwariskan hingga turunan ke-delapan mereka.
Ide ini memang terkesan melanggar hak asasi manusia. Tapi peduli amat dengan hak asasi segelintir manusia-manusia itu. Buka mata, buka hati dan pasang kuping di telinga. Lihatlah dan dengarlah. Yang dilanggar haknya itu hanya seperti satu titik air yang tercelup masuk ke samudera luas, sementara yang terpenuhi haknya adalah yang menyamudera itu jika saja pemerintah berani mengambil sikap.
Semoga, Pemerintah negeri ini mendapat hidayah dan segera bertobat. Biar kedamaian, keadilan dan kesejahteraan bisa diwujudkan di bumi pertiwi ini, bukan hanya sekedar mimpi. Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar