11 Jan 2013

Cerpen: Sampai Dimana Aku Memperjuangkanmu??? Part 1

Aku seorang perempuan dewasa, 28 tahun dan masih single. Tidak pernah berkencan, tidak merayakan malam tahun baru, tidak menghiraukan hari valentine apalagi berpacaran dengan laki-laki manapun. Aku tidak bodoh meskipun gagal dibilang pintar dan aku juga tidak jelek meskipun tetap saja gagal dibilang cantik. Aku baik, begitu kata teman-temanku. Mungkin karena aku pendiam dan tidak pernah berusaha mencari masalah dengan mereka. Dan terakhir, aku mandiri dari segi finansial dan sosial. Aku bekerja di Perusahaan yang cukup bonafit di Negeri tetangga dengan gaji yang tidak terbilang sedikit untuk ukuran single. Aku tidak bergantung pada orang lain terkait masalah keuangan dan aku juga tidak terikat dalam hubungan keakraban yang biasa kalian sebut sahabat. Tapi, aku punya seabrek teman. Yaa.. Teman. Bukan sahabat. Aku mencintai mereka dan mereka mencintaiku, setidaknya itu yang kufikirkan.



Oh yah.. benar.. Aku memang tidak berpacaran dari dulu hingga detik ini. Bukan karena tidak laku, tapi karena aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri dan karena seseorang. Yaa.. Seseorang! Seseorang yang telah mencuri hatiku sejak 10 tahun lalu. Membuatku tidak bisa melihat laki-laki lain di planet manapun di dunia ini. Aku menyimpan rapih perasaanku padanya di sebuah sudut paling dalam di hatiku. Tak seorangpun akan menyadarinya dan aku pun yakin dia tidak akan pernah menyadarinya. Kami dekat tapi aku tau dia tidak pernah melihatku. Dia tidak pernah melihat aku sebagai perempuan yang masuk dalam daftar perempuan idamannya. Kami berteman, tidak dekat memang, tapi kami bertemu hampir setiap hari, di kampus, dulu.


Teman seangkatan, yang baru kusadari ketertarikanku padanya setelah melihatnya menawarkan bantuan kepadaku setelah aku merasa putus asa karena deadline tugas besar yang semakin mepet sementara aku tidak tau dan malu meminta bantuan teman-teman yang lain. Dia yang hampir tidak pernah menegurku selama 2 tahun awal kebersamaan di kampus dan dia yang tidak pernah hadir difikiranku tiba-tiba datang sebagai dewa penyelamatku.


Sejak saat itu aku memberinya tempat istimewa di hatiku tanpa ia ketahui dan dia memang tidak perlu tau. Setiap hari memandangnya dengan mata hati, itu sudah cukup karena mata yang ada di kepalaku akan tetap memandangnya sebagai teman. Tidak lebih.


Tiba saatnya meninggalkan kampus, mencari dan menemukan mimpi-mimpi masa depan dan aku masih tetap mencintainya dalam diamku. Dia tak tergantikan. Entah sampai kapan. Aku pun tak tau..


Media sosial bisa saja membuatku tidak kehilangan kontak dengannya, tapi aku mengurungkan niatku. 7 tahun aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Aku memang masih menjalin komunikasi dengan teman-teman yang lain tapi aku tidak mungkin menanyakan kabarnya, dan sayangnya tidak ada yang pernah menyebut namanya padaku.


Masih, tetap saja dia tak tergantikan. Entah sampai kapan. Aku pun tak tau..


***

“Yoan...”, Aku setengah kaget mendengar namaku dipanggil oleh suara asing di telingaku dari belakang. Aku berbalik mencari suara itu, tak mampu berucap dan hanya bisa membelalakkan mata. “Hei Yo... Masih ingat aku kan? Dicky, teman kampus kamu dulu. Masa’ lupa sih? Gimana kabar kamu? Udah lama gak ketemu. Wah... kata teman-teman kamu sudah sukses di Negeri Singa sana..Assyyeeekkkk”. Senyumnya merekah dan aku masih mencari cara untuk menguasai diriku, keluar dari luapan rasa haru yang memeluk hatiku.


“Eh..ee,,,eemmm... Iya Dick, te,,tentu saja aku ingat” Jawabku gugup dengan sebuah senyum padanya. “Kamu dari mana? Emmm... Mau kemana?” Tanyaku kemudian sambil melirik ke sekitar menyelidik, mungkin saja dia tidak sendiri. Bersama istrinya mungkin. “Oh...Tuhan, ini sungguh menyakitkan” Jerit hatiku.


“Oh.. Aku abis jalan-jalan aja ke sini. Sendiri sih dan sekarang sudah mau balik lagi ke Makassar” Seolah-olah dia mengerti pertanyaan di dalam hatiku. “Tadi pas antri buat check-in, tidak sengaja aku lihat kamu. Mau negur, tapi aku agak jauh di antrian belakang. Alhamdulillah aku menemukanmu di ruang tunggu ini”. Dia tersenyum membayangkan awal dia melihatku tadi.


Aku pun tersenyum, “Dan akhirnya ketemu. Dak nyangka yah bisa ketemu di sini, di Singapur, di Bandara pula”, aku menunduk memandangi ujung sepatuku. “By the way, aku juga lagi mau ke Makassar kok, naik pesawat apa?” Tanyaku kemudian dengan bersemangat dan untuk pertama kalinya aku memandang tepat ke matanya. Jantungku seperti hendak meledak, tapi aku tidak ingin kalah dengan tatapan matanya.


Dia menunduk, membuka tas selempang kecil yang sedari tadi dia letakkan di atas pangkuannya, “Ini..” dia menunjukkan tiketnya.


“Hahaha...” Aku tak bisa menahan tawa setelah melihat tiketnya. Dia terkejut. Dan aku kembali mengarahkan pandanganku ke dia sambil memperlihatkan tiketku ke da. “ Kita satu pesawat dan berada pada kursi yang berdampingan”


“Hahaha... wow.. kita jodoh yah.. hahaha..”


Aku ikut tertawa lagi, tapi hatiku terkesima dengan kata-kata yang barusan dia katakan di sela tawanya. Hatiku miris. Hatiku menangis namun aku tetap tersenyum menemani surutnya gelak tawanya dan menjadi sebuah senyuman. Hening sejenak. Hingga panggilan dari maskapai penerbangan yang kami tumpangi ke Makassar memecah kebisuan diantara kami. Changi – Hasanuddin Airport, aku akan bersamanya selama beberapa jam ke depan.


Apa yang akan aku lakukan? Bukankah dalam doaku aku selalu meminta kepada Tuhan untuk diberikan kesempatan bertemu dengannya. Dan jika dia masih sendiri, maka aku memperjuangkan perasaaku dan jika dia telah menjadi milik orang lain, aku akan berhenti berharap dan mengeluarkan dia dari hatiku. Dan sekarang, sekarang kesempatan itu ada di depan mataku. Namun, seketika ketakutan mengelilingiku. Takut mengetahui kenyataan bahwa dia tidak sendiri lagi, takut ditolak dan yang lebih menakutkan, aku takut dengan fikiran dan pandangan merendahkan dari dirinya padaku. Tapi ini adalah kesempatanku, jika tidak melakukan apa-apa, mungkin saja aku tidak akan memiliki kesempatan lainnya.


***


Di atas pesawat dia membantuku mengangkat Ranselku ke kabin. Aku memilih duduk di sisi jendela kemudian dia mengambil posisi duduk di sampingku dan masih ada 2 orang lainnya kemudian di sisinya. Kami banyak bercerita tentang kehidupan di kampus dulu, tentang pekerjaan kami sekarang dan tentang keluarga. Dan akhirnya aku mengetahui bahwa dia juga masih single.


Aku bersyukur di dalam hati. Ya.. aku mensyukurinya terlebih lagi ketika dia mengatakan alasan dia jalan-jalan ke Singapur. Dia baru saja patah hati, perempuan yang dicintainya ternyata lebih memilih laki-laki lain. Namun, lagi-lagi aku bingung. Pantaskah aku mengutarakan perasaanku dengan kondisinya seperti itu.


Ternyata dia laki-laki yang banyak berbicara, dia sangat mendominasi percakapan kami. Aku bahagia, bahagia bisa menjadi pendengar yang baik baginya. Tak terasa pesawat sudah mendarat di Bandara Hasanuddin, beberapa menit ke depan kami akan berpisah lagi. Mungkin berpisah untuk selamanya.


Aku banyak termenung saat menuruni pesawat dan sepertinya dia menyadarinya. Setelah kami mengambil barang-barang kami dan menuju pintu keluar gedung Bandara, hatiku sesak, kakiku seakan tak kuat melangkah lagi.


Menyadari aku yang berjalan agak tertinggal dibelakangnya, Dicky kemudian menghampiriku, “Ada apa? Mau aku bantu membawa Ransel kamu ini sampai kamu dapat Taxi?”


“Ah.. Enggak Dick, aku hanya kelelahan saja”. Jawabku dengan wajah menunduk.


“Ooohhh... gitu..” Tanpa permisi dia meraih Ranselku dan membawanya ke areal parkir Taxi.


“Dick... Nggak usah.. Dick!!!” Aku setengah berteriak padanya yang mengikuti langkahnya.


Dia berbalik padaku, “Nggak papa Yo, aku cuman pengen bantu kamu”.


“Dick...” Suaraku memanggil namanya lemah. Ada bulir panas yang jatuh di kedua ujung mataku. Dicky terhenyak kaget demi melihat air mataku.


“Yo... ada apa?” Tanyanya tak mengerti.


“Dick.. Ada yang ingin kusampaikan ke kamu” Jawabku mantap, “tapi tidak di sini”. Aku melihat ke sekitar dan melihat sebuah kursi panjang di sudut yang cukup sepi dari pengunjung. “Kita bicara di sana”. Aku berjalan ke tempat yang aku maksud dan dia mengikuti dari belakang.


Aku menarik nafas panjang dan mulai duduk. Dicky pun ikut duduk. Kembali aku menarik nafas panjang dan perlahan menghembuskannya.


“Dick, ada sesuatu yang ingin kukatakan, sudah lama, sejak dulu tapi aku belum siap waktu itu. Lalu kemudian kita berpisah dan akhirnya kufikir kita tidak mungkin ketemu lagi. Anehnya, sekarang kita benar-benar ketemu”, Aku tersenyum menatap jauh ke depan. Dicky hanya diam menunggu aku melanjutkan.


“Aku nggak tau bagaimana fikiranmu terhadapku setelah ini, tapi aku harus mengatakannya. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari, meskipun aku tidak pernah merasa pantas... tapi aku tetap ingin melakukannya” dia masih terdiam, masih menungguku melanjutkannya lagi.


Aku memiringkan kepalaku ke arahnya, diapun demikian. Kami saling menatap. “Aku suka kamu, Dick” Senyum kecut menghiasi wajahku dan kemudian menghilang saat aku menunduk, aku tak mampu lagi menatap wajahnya.


“Yo...,” Suaranya bergetar menyebut namaku. Kedua tangannya menyentuh pundakku, mencari wajahku yang masih menunduk. “Yo... Berikan aku sedikit waktu untuk memikirkannya”.


Aku mengangkat wajahku, mencari kebenaran dari apa yang barusan aku dengar dari kedua matanya. Tanpa bisa kubendung, air mataku tumpah dalam tangis haru.


***


Aku tau bahwa kesempatanku untuk mendapatkan hatinya sangatlah kecil. Dari 100% yang ada, peluangku mungkin hanya ada, 0,99%. Tapi, aku tidak akan menyerah. Aku hanya bisa tenang sampai aku tau bahwa aku telah gagal 100%. Dan saat itu, baru aku akan menyerah.



*To be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar